Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Globalisasi dan Tantangan Identitas Nasional Di Era Transkultural

Rabu, 19 Desember 2018 - 02:45 | 2.60m
Muhammad Fahmi Hidayatullah, Dosen Unisma Malang. (Grafis: TIMES Indonesia)
Muhammad Fahmi Hidayatullah, Dosen Unisma Malang. (Grafis: TIMES Indonesia)
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANGDINAMIKA  kehidupan menuntut manusia untuk bersikap dan bertindak pada dua pillihan yakni perubahan atau stagnan. Pilihan perubahan karena suatu tuntutan yang mengharuskan seseorang mengikuti ritme arus yang sedang berjalan walaupun sebenarnya pilihan ini sangat baik namun perlu dipertimbangkan. 

Sedangkan pilihan stagnan sebenarnya pilihan yang jauh lebih baik karena dapat membendung dinamika perkembangan lintas budaya yang dikenal dengan trans-kultural sehingga tidak cenderung ikut arus. Namun yang perlu peninjauan ulang bagaimana dengan posisi stagnan namun berimbang dengan arus perubahan yang sedang berkembang. 

Kedua pilihan diatas tidaklah terlepas dari arus globalisasi yang begitu mencekik serta berdampak pada pola kehidupan manusia. Dalam teori sosiologi pendidikan Emile Durkheim, keberagaman bentuk kehidupan manusia dihasilkan dari proses interaksi sosial individu dan masyarakat yang dikenal dengan istilah interaksionisme simbolik. Adapun hubungan individu dan masyarakat dalam ilmu sosiologi dibagi dalam tiga konsep diantaranya: organisme (perkembangan sosial masyarakat ditentukan hukum alam), kolektivisme (masyarakat mempengaruhi kepentingan individu) dan individualisme (individu mempengaruhi kepentingan masyarakat). Dalam (AsiaDHRAA Secretariat: 1998, 17), ketiga konsep tersebut yang mengalami dinamika di era global.

Secara dramastis, masyarakat berbagai penjuru dunia sedang di transformasikan oleh globalisasai (George Ritzer, 2004: 587). Globalisasi memiliki grand effect terjadinya perubahan sosial yang dapat menggerakkan seseorang atau sekolompok orang atau satu negara yang saling membutuhkan serta menghubungkan. Alasannya karena globalisasi mampu mempengaruhi kehidupan manusia dalam berbagai bidang atau aspek kehidupan (Martin Wolf, 2007:10).

Salah satu faktor penyebab globalisasi tidak terlepas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Disamping faktor penyebab tentunya ada dampak yakni mempermudah budaya asing untuk masuk ke dalam suatu negara. Namun tidak semua budaya asing yang masuk ditafsirkan dengan dampak negatif suatu negara. Budaya asing yang masuk akan membawa dampak positif jika suatu negara mampu bertahan dengan landasan dasar kehidupannya. 

Budaya secara bahasa didefinisikan habit yang artinya kebiasaan. Secara istilah budaya adalah identitas yang menjadi ciri khas suatu bangsa. Oleh karena itu, bangsa yang beradab adalah bangsa yang menjaga, menghormati serta melestarikan kebudayaannya. Ketiga tindakan tersebut sebagai upaya membendung pengaruh lintas budaya yang melintas bebas di negara kita.

Harapan besarnya pada generasi muda yang dapat bertanggung jawab menjaga warisan bangsa. Dukungan berbagai pihak utamanya pemerintah menjadi harapan besar pemuda dalam memaksimalkan tanggung jawabnya terhadap budaya sebagai salah satu identitas bangsa.

Pada dasarnya tidaklah mudah menentukan konsepsi kriteria budaya bangsa Indonesia. Keberadaan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa dan pancasila sebagai ideologinya, tidaklah cukup memperbincangkan kebudayaan Indonesia. Maknanya sangatlah luas namun bukan berarti menerima dengan mudah semua lintas budaya luar yang masuk ke negara Indonesia.

Pancasila menguatkan pemahaman bangsa dalam memperlakukan kearifan lokal serta merespon kearifan non lokal. Walaupun pada tataran implementatif masih jauh dari harapan karena kurangnya pemahaman terhadap semboyan yang dibalik semboyan tersebut ada dinding dasar yang tidak dapat diterjang dan harus dipatuhi yakni pancasila. Wajar sekali jika fenomena ketidakpuasan atau ketidakmampuan memahami nilai-nilai yang terdapat dalam pancasila sebagai ideologi. Hal ini merupakan proses menuju bangsa yang maju karena selalu berdialektika dalam berfikir dan bertindak. 

Budaya dan globalisai memang tidak dapat dipisahkan, karena keduanya selalu keterkaitan. Selain itu, arus budaya globalisasi yang tak terbendung, ditentang bahkan ditolak karena telah mengakar mendalam pada pola fikir masyarakat sosial. Tantangan terbesarnya terbentuknya masyarakat konsumtif baik dari segi style atau gaya hidup.

Oleh karenaanya yang seharusnya dilakukan bagimana cara untuk memanfaatkan kehadiran globalisasi dengan kemampuan pola fikir masyarakat yang mampu mempengaruhinya. Bukan justru sebaliknya dimanfaatkan oleh hadrinya globalisasi. 

Suatu kebanggan tersendiri bagi negara yang dapat mempertahankan kebudayannya. Salah satunya adalah negara Indonesia yang memilki keanekaragaman suku dan budaya sebagai aset kekayaan negara. Namun disisi lain, keanekaragaman tersebut mengundang tantangan besar. Tantangannya adalah kemampuan bangsa mempertahankan budaya lokal agar tetap berdiri tegak dan berkelanjutan serta tidak diklaim negara orang.

Karena tidak sedikit negara berkembang yang terhegemoni oleh negara maju utamanya dalam aspek budaya yang mampu mempengaruhinya. Inilah era yang disebut dengan trans-kultural. Bagaimana negara bertahan dengan identitasnya namun mampu berkembang, ataukah negara bertransformasi yang sedikit demi sedikit menghilangkan identitasnya.

Era trans-kultural di dalam konteks globalisasi khususnya pada komunitas Islam Indonesia, identitas menjadi persoalan yang semakin menguat pada dinamika masyarakat Islam. Potret terjadinya perubahan dalam sendi kehidupan sosial masyarakat muslim dilatar belakangi oleh era trans-kultural dalam konteks global yang dianggap bias tentang kebudayaan barat sebagai aktor dari proses hegemoni.

Tidak sedikit contoh yang dapat disaksikan bersama, diantaranya: pertama, melemahnya identitas keislaman (liberal) seperti cara hubungan laki-laki dan perempuan, cara makan, cara berpakaian dalam hidup berbangsa dan bernegara. Kedua, krisis identitas seperti pedang bermata dua (radikal), di dalam meneguhkan identitas sosialnya namun di luar kontraproduktif bagi eksistensi komunitas Islam sendiri. Contoh kongrtinya yakni aksi terorisme dengan stigma Islam agama anti globalisasi (Badrus Shaleh, 20008: 61).  

Berdasarkan kedua contoh diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tantangan era trans-kultural menjadi akut jika terdapat motif liberalisasi dan radikalisasi. Kedua motif yang dibalut dengan berbagai cara utamanya melalui budaya, sangat mudah untuk merongrong identitas bangsa Indonesia. Oleh karena itu, bangsa Indonesia perlu menyikapi secara bijaksana demi tegaknya prinsip Bhineka Tunggal Ika (satu tujuan dalam keanekaragaman).

Salah satu wujud sukap arif adalah upaya menemukan solusi dan strategi dalam menghadapi suatu era dimana budaya dapat melalulalang melintas bebas dalam suatu negara. Tujuannya untuk membendung adanya upaya terselebung yang mempengaruhi bangsa agar mengalami dekandansi identitas atau budaya. (*)

* Penulis, Muhammad Fahmi HidayatullahDosen Unisma Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES