Kopi TIMES

Korupsi dan Kejahatan Struktural

Senin, 17 Desember 2018 - 22:56 | 676.96k
Ainul Yakin, dosen Universitas Nurul Jadid, Paiton Probolinggo (Foto: TIMES Indonesia)
Ainul Yakin, dosen Universitas Nurul Jadid, Paiton Probolinggo (Foto: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTABELAKANGAN ini, operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK terhadap koruptor makin marak terjadi. Sasarannya mulai dari pejabat daerah hingga pusat, maulai dari nominal ratusan juta sampai jumlah miliaran. Hal ini kenyataan korupsi di Indonesia.

Tindakan korupsi seakan menjadi rutinitas di kalangan pejabat kita. Mereka yang tersandung tindak pidana korupsi dengan percaya diri  melenggang kesana-kemari seakan tidak berdosa.

Budaya korupsi yang sudah menjadi kebiasaan dan praktik kekuasaan seakan menjadi kebutuhan pokok yang sulit dihilangkan.

Para pejabat kerah putih ini seakan tidak berdosa dengan tindakannya yang korup. Mereka memperkaya diri, mendahulukan kepentingannya sendiri dan kelompoknya dari pada kepentingan rakyat.

Sejak awal paracalon petinggi Negara ini sudah terbiasa melakukan kecurangan, misalnya kasus pembelian suara, penggelembunagn suara dan cara-cara curang lainnya. Bahkan sudah menjadi rahasia umum, untuk menjadi calon pejabat tinggi, DRP, Bupati, Wali Kota dan Gubernur hingga Presiden mereka rela membayar mahar kepada partai yang mengusungnya dengan biaya yang tidak sedikit.

Setelah mereka terpilih jadi pejabat, tidak heran jika diantara mereka banyak yang tersendung kasus korupsi. Motifnya beragam, ada yang memperkaya diri, kelompok, mengembalikan modal saat pencalonan, memperkuat jaringan dan lain sebagainya, yang pasti  banyak dirugikan adalah negara, terutama rakyat kebanyakan.

Kejahatan Struktural

Tindakan korupsi di negeri kita tidak hanya sekedar kriminal biasa tapi sudah menjadi kejahatan luar biasa dan kejahatan struktural.  Dikatakan kriminal luar biasa karena akibat yang ditimbulkan  sangat luas dan menimbulkan kerugian Negara dan masyarakat.

Bahkan korupsi sudah menjadi kejatahan struktural. Karena ia bekerja secara sistematis di level birokrasi. Sebuah kejahatan yang menibulkan keresahan dan masalah sosial. Kejahatan tersebut diproduksi  secara berulang-ualang dan terpola.

Kejatahan tersebut sudah cukup mengakar di tengah-tengah masyarakat. Begitu mengakarnya kejahatan korupsi sampai membentuk struktur kejahatan, yaitu faktor negatif yang terpatri dalam berbagai institusi masyarakat yang bekerja melawan kesejahteraan bersama (B Sesboüé, 1988:27).  Karena sistematisnya, kajahatan korupsi sudah seperti mafia.

Kejatahan struktural merupakan sebuah kejahatan yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan menggunakan sistem, hukum, ekonomi, atau tata kebiasaan yang ada di masyarakat dengan memanfaatkan kekuasaan. Oleh karena itu, kejahatan ini sulit untuk dikenali dalangnya.

Kejahatan struktural yang terjadi menimbulkan ketimpangan-ketimpangan pada sumber daya, pendidikan, pendapatan, kepandaian, keadilan, serta wewenang untuk mengambil keputusan.

Munculnya organisasi model mafia menunjukkan gejala krisis institusional negara di mana ketidakadilan lebih dominan daripada keadilan; korupsi merajalela sampai mengaburkan batas antara yang boleh dan dilarang, yang legal dan ilegal, pelanggaran dan norma (L Ayissi, 2008:58).

Jadi, korupsi telah menjadi kejahatan yang amat mengakar dan menjadi kebiasaan buruk bangsa yang menghambat orang untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Kejahatan struktural bisa dipahami melalui dua definisi, yakni sebagai kejahatan moral yang melawan hukum, yang merupakan akibat dari kejahatan pribadi maupun kolektif yang menghasilkan struktur-struktur yang mengkondisikan tindakan dan perilaku indivisu/kolektif kea rah kejahatan.

Kejahatan juga bisa dimengerti keseluruhan factor negative yang terdapat dalam institusi-institusi masyarakat secara internal, serta berfungsi melawan keadilan dan kesejahteraan bersama. Jadi ketika kita berbicara korupsi sebagai kejahatan struktural, maka persoalannya tidak cukup hanya berkutat pada kehendak baik, hati nurani, dan kebebasan pelaku.

Dalam situasi yang demikian, sekitar subyek dan agen, sumber daya, institusi menjadi hal yang diperhitungkan. Korupsi sebagai kejahatan struktural  sudah menjadi praktik yang berpola akibat dari tindakan tersebut yang dilakukan secara berulang-ulang.

Oleh karenanya, keutamaan pribadi, kehendak baik, tidak mudah untuk menghancurkan kejahatan struktural tersebut. Sebab ia berupa struktur yang memiliki jalinan dengan unsure yang lain yang sama-sama saling menguatkan.

Ia seperti system yang tidak mungkin dikendalikan oleh individu, justru sebaliknya, individu akan dikendalikan oleh struktur yang melingkupinya. Makanya tidak heran jika ada orang baik yang terjebak dan terjerat dengan tindak pidana korupsi.

Bahkan individu yang awalnya baik justru menjadi bagian yang melanggengkan kejahatan korupsi. Apalagi individu yang menjadi bagian dari struktur tersebut sudah memiliki niat untuk melakukan kejahatan korupsi maka semakin sulit untuk menghilangkan kejahatan tersebut.

Sebab kedudukan pelaku di dalam konstelasi sosial politis sangat bepengaruh terhadap terciptanya, pelanggengan struktur-struktur kejahatan (Haryanmoko, 2003).

Selain itu, kejahatan korupsi yang dilakukan oleh individu pada akhirnya menciptakan, melanggengkan dan membuat struktur kejahatan struktural semakin sulit dihancurkan. Sehingga struktur kejahatan korupsi bukan malah makin sedikit tapi sebaliknya menjadi semakin tersebar, merajalela dan menjadi awal mula bentuk kejahatan-kejatahan lain.

Korupsi sudah menjadi sebuah keterampilan yang menjadi tindakan praktis yang tidak selalu harus disadari. Tindakan praktis menjadi kemampuan yang kelihatannya alami dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Korupsi menjadi tindakan praktis yang tak menumbuhkan rasa salah.

Jaringan korupsi terbentuk mengikuti pola sistem isolasi sesuai model pembagian kerja. Maka, koordinasi tetap efektif dan kerahasiaan terjaga. Strategi ini memungkinkan untuk memutus rantai sehingga jaringan tidak mudah terbongkar.

Kejahatan ini menyentuh sendi-sendi kekuasaan sampai sistem peradilan, aparat penegak hukum dan DPR. Negara yang secara institusional sarat korupsi, mengondisikan munculnya bentuk-bentuk kriminalitas lain.

Akibatnya, muncul peradilan jalanan, paramiliter untuk melindungi kepentingan kelompok atau memaksakan aspirasi kepada pihak lain. Korupsi mengomunikasikan praktik pelaksanaan kekuasaan.

Perilaku korup yang dipakai tampak dalam cara membuat laporan, cara berinteraksi dengan atasan atau instansi lain, dalam kontrak, cara membuat anggaran, mendapat jabatan, penempatan anak buah, penerimaan anggota baru, syarat agar urusan bisa beres.

Praktik ini sulit ditolak karena cukup telah mengakar dan sengaja dibuat untuk tidak meninggalkan jejak, tetapi bisa dirasakan bahwa ada yang tidak sehat. Di balik praktik korupsi, tersembunyi kode rahasia.

Kerahasiaan ini hanya akan tersingkap bila terjadi krisis hubungan di antara pelaku dalam struktur kekuasaan tersebut. Lalu akan muncul tuduhan atau laporan. Apa yang dipertaruhkan dalam  korupsi ialah pembentukan mental bangsa, mental melawan hukum, egoisme, tak peduli kesejahteraan bersama, tidak peka terhadap ketimpangan sosial dan rendahnya solidaritas.

Untuk bisa membawa perubahan, setidaknya ada tiga bentuk interaksi sosial yang harus diperhitungkan, yaitu interaksi komunikasi, kekuasaan, dan moralitas (A Giddens, 1993:129). Perubahan modalitas ketiga interaksi itu (kerangka penafsiran, fasilitas, dan norma) menentukan perubahan praktik korupsi.

Memberantas korupsi dengan mengubah ketiga modalitas, hanya bisa berhasil bila dijalankan secara bersamaan melalui pendidikan, tindakan hukum yang tegas, dan public policy yang ketat.

Selain itu, untuk mengubah kondisi-kondisi struktur kejahatan terserbut, perlu banyak orang yang bersikap kritis, mengambil jarak terhadap apa yang mereka lakukan. Tentu, jika semakin banyak perlawanan maka struktur kejahatan pun, termasuk kejahatan korupsi  akan mengalami perubahan. (*)

* Penulis, Ainul Yakin, dosen Universitas Nurul Jadid, Paiton Probolinggo.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES