Kopi TIMES

Sensasi Deg Deg Ser saat Mengunjungi Pulau Penawar Rindu dengan Boat Pancung

Senin, 17 Desember 2018 - 06:20 | 177.59k
Boat Pancung di Pulau Penawar Rindu. (FOTO: Istimewa)
Boat Pancung di Pulau Penawar Rindu. (FOTO: Istimewa)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Saat menaiki Boat Pancung, bisa jadi jantung terasa berdetak lebih cepat, merasa kuatir atau "deg-degan", terlebih lagi bagi mereka yang baru pertama kali menaikinya.

Lebih lagi saat Boat Pancung yang kita tumpangi terombang ambing saat melaju kencang dan berpapasan dengan kapal lainnya entah itu kapal feri dari Singapura, Malaysia atau berbagai jenis kapal dengan berbagai ukuran tonasenya, yang sama sama melaju dan lalu lalang sepanjang jalur perjalanan. 

Meski cuma lima belas menit namun terasa sekali sensasinya, dimana kita akan melihat berbagai jenis, bentuk, warna dan ukuran kapal serta indahnya pemandangan lautan berlatar belakang gedung-gedung tinggi pencakar langit negeri tetangga Singapura.

Boat Pancung yang kami tumpangi mengarungi lautan, membelah perairan antara Selat Malaka dan Selat Singapura hingga sampailah dan bersandar di pelabuhan Penawar Rindu Belakang Padang. 

Berbeda dengan kondisi di Pelabuhan Sekupang tadi baik di parkiran maupun di jalan keluar masuk menuju pelabuhan ini selain deretan sepeda motor, tidak terlihat keberadaan satu buah mobilpun. Hal tersebut juga tidak ditemui di jalan yang mengelilingi pulau seluas 29,702 km2 ini. 

Angkutan umum yang ada hanyalah becak kayuh yang nampak berjejer menanti calon penumpang dipinggir jalan keluar masuk areal pelabuhan, juga keberadaan beberapa ojek motor di posnya. 

Menurut keterangan Gavin (19), warga Batam yang menemani perjalanan kami kali ini, pengunjung pulau Penawar Rindu biasanya memilih menggunakan becak.

Tarif yang di tawarkan bervariasi, jadi tergantung keahlian calon penumpang menawarnya. Tarifnya berkisar antara Rp 50 ribu  sampai Rp 70 ribu sekali angkut wisatawan mengelilingi pulau yang setidaknya menghabiskan waktu rata-rata 30 menitan ini. 

Kami sendiri mengelilingi pulau menggunakan sepeda motor pinjaman milik saudara. Jalanan yang ada dipulau ini berkisar 4,5 meteran lebarnya, sebagian besar berupa cor semen dan beberapa tiik memakai paving blok (conblok).

Selama mengelilingi Belakang Padang terlihat keberadaan beberapa kampung, ada kampung Bugis, kampung Melayu hingga kampung Jawa, yang di tandai adanya gapura di setiap perbatasan kampung tersebut.

Menurut salah satu penduduk setempat Nonik (35), wilayah kecamatan Belakang Padang mencakup kurang lebih 108 pulau yang terdiri dari 43 pulau berpenghuni dan 65 pulau tidak berpenghuni.

Di pulau ini hanya terdapat tiga buah mobil yag terdiri satu buah mobil ambulance, satu mobil jenazah dan satu buah mobil sampah.

Nasib baik, kami juga berkesempatan naik motor tiga kali mengelilingi serta menengok beberapa destinasi wisata yang ada di pulau ini. Selama perjalanan bisa dikatakan tidak pas-pasan sama sekali dengan salah satu mobil yang ada. Namun sempat melihat keberadaan mobil Jenazah terparkir di komplek pemakaman, mobil ambulans di Puskesmas serta melihat keberadaan pikap sampah yang sepertinya sudah rusak di belakang kantor kecamatan Belakang Padang.

Rozak (35) yang merupakan pemerhati wisata di pulau tersebut menjelaskan, sejarah penduduk asli Pulau Penawar Rindu adalah orang-orang Melayu yang dikenal dengan sebutan orang Selat atau orang laut.

Penduduk asli ini sudah menempati wilayah Belakang Padang sejak zaman kerajaan Tumasik (Singapura) dipenghujung tahun 1300 atau awal abad ke-14.

Bahkan kabarnya lainnya menyebutkan pulau ini telah didiami orang sejak tahun 231 Masehi dan saat itu pulau ini lebih dikenal dengan nama Pulau Lanun atau Pulau Bajak Laut karena sebagian besar penduduk yang tinggal di pulau ini adalah para bajak laut yang merompak kapal-kapal yang sedang melintas di sekitar perairan Selat Malaka.

Dulu, kisaran akhir tahun 60 an masyarakat di pulau ini menggunakan dolar Singapura sebagai alat transaksi jual beli mereka, dan  pemerintah Singapura saat itu tidak mempermasalahkan warga dari pulau ini, cukup berbekal KTP dan naik perahu kecil bisa keluar masuk ke Singapura.

Pada awalnya dijuluki sebagai pulau Penawar Rindu, karena sudah banyak yang mengatakan karena sekali singgah, maka kita akan kembali berbalik ke sana. Namun ada pula yang meriwatkan dari mulut ke mulut, jika seseorang berkunjung ke pulau ini sebuah kerinduan atau keinginannya dapat terwujud. 

Usai berkeliling dan mampir kedai kopi Aeng, ke pantai pasir putih, juga pantai / cafe haji Sulaiman,sore harinya kami kembali lagi ke pulau Batam untuk mempersiapkan rencana kegiatan dan perjalanan esuk harinya. (bersambung)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES