Kopi TIMES

Kerasukan Abu Jahal

Kamis, 06 Desember 2018 - 08:27 | 91.75k
Ach Dhofir Zuhry, pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah dan Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Al-Farabi, buku terbarunya: Peradaban Sarung dan Kondom Gergaji. (Grafis: TIMES Indonesia)
Ach Dhofir Zuhry, pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah dan Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Al-Farabi, buku terbarunya: Peradaban Sarung dan Kondom Gergaji. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANG – Jika ada yang beragama dan menyembah-nyembah agama dengan mempersetankan agama lain, maka ia sedang kesurupan Abu Jahal. Bila ada yang hanya memiliki secuil dari cuilan-cuilan ilmu tapi merasa tahu segala hal dan mempersetankan setiap kebenaran di luar dirinya, maka ia sedang kerasukan Abu Lahab. Apabila ada yang berpolitik dan menganggap partai politiknya yang paling suci dan pemegang kunci surga, maka sekali lagi, ia sedang kerasukan Abu Jahal, Abu Lahab dan Osama bin Laden sekaligus. 

Merekalah para penganut mazhab sotoyisme, yakni kaum cuti nalar dan tuna pustaka, bani otak cingkrang dan defisit ilmu, namun merasa paling benar sendiri di muka bumi. Ciri-ciri mereka? Ya, ciri-ciri orang kesurupan, gemar teriak-teriak di jalanan dengan pengeras suara pula, melotot dan meninju-ninju ke udara, menuding-menuding dan menunjuk-menunjuk ke segala arah, sebentar-sebentar takbir disertai caci-umpatan. Gerombolan kesurupan ini adalah pasukan nasi bungkus (panasbung), tapi justru menyebut diri mereka mu

jahid, pembela agama dan Nabi. Para begundal berbaju Abu Jahal itu gemar bawa pentungan, dan memang bakat terbesar mereka adalah razia dan sweeping, bukan berpolitik dan apalagi menjadi ilmuwan.

Pertanyaan kampungan yang bisa kita sodorkan: apa muasal dari itu semua? Hanya satu, yakni berhenti belajar karena merasa paling benar. Konsekuensinya? Selain diri dan kelompoknya pasti salah dan auto-neraka. Padahal, mereka adalah buih di lautan politik agama, mereka adalah masyarakat daun kering yang gampang dibakar, setelah itu hangus dan menjadi abu politik agama.

Sayyid Aristoteles pernah memberi wejangan bahwa sejatinya setiap orang menghasrati pengetahuan. Tak ada yang mau bodoh dan apalagi dibodoh-bodohi oleh apa-siapapun. Itu artinya, dalam segala bidang, semua tindakan harus dilandasi ilmu, setiap perbuatan harus berlandaskan pengetahuan, tanpa terkecuali dalam berpolitik, beragama, berbudaya dan bahkan bernegara. Semuanya harus dalam jagad ilmu, di bawah arasy pengetahuan. Menolak fakta ini, berarti melecehkan anugerah istimewa dari Tuhan bernama akal.

Sehebat apapun yang Anda gagas dan Anda inginkan, tidak akan pernah mengalahkan yang Anda lakukan. Jangan lupa, tindakan adalah pikiran yang bergerak, bukan tergeletak dan lalu mengendap di almari ide-ide. Berpikir dan dan bertindak adalah satu kesatuan. Kesalahan kita adalah karena hanya bertindak tanpa berpikir dan sebaiknya cuma berpikir tanpa pernah bertindak.

Memang, langkah-langkah yang Anda tempuh, kadang ditolak bukan oleh orang lain, tetapi bahkan oleh diri Anda sendiri. Apa sebab? Setiap memutuskan untuk melakukan hal ”baru”, diri Anda yang ”lama” pasti memberontak. 

Begitu pula ketika memutuskan untuk belajar. Pasti "diri yang lama" alias kebiasan lama, kemalasan akut dan kecerobohan yang telah menahun pasti menolak hal-hal baru dalam diri. Memang, bukan belajar yang sulit, tetapi memutuskan untuk belajar. Begitu pula bekerja, menikah, melayani sesama, merajut kebinnekaan, menghargai yang berbeda, memuliakan yang lain dan liyan, yang sulit adalah mengambil keputusan!

Komitmen untuk terus istiqamah terhadap keputusan adalah jalan terjal berliku, penuh onak berduri, ia nyaris tak terkendali meski lama-lama akan tertungkus lumus menjadi kebiasaan. Dan, seterusnya menjadi watak kita—habit is the second nature. 

Kabar baiknya, justru karena urgensi ilmu, ayat yang turun pertama kali kepada sang Nabi adalah perintah membaca (iqra') bahkan kanjeng Rasul Saw mewajibkan umatnya belajar sepanjang hayat (minal-mahdi ilal-lahdi). Inilah long-lived education.

Islam adalah agama yang menjunjung tinggi pengetahuan, seharusnya umatnya pun demikian. Tak pantas, kaum muslimin menjadi masyarakat yang tidak ilmiah dan terbelakang dalam saintek. Celakanya, tak sedikit yang membeda-bedakan ini ilmu agama itu ilmu umum, ini ilmu Islam itu ilmu kafir, ini politik Islam itu sistem thaghut. Mari kita sudahi kesalahkaprahan warisan Kompeni ini dengan membuka hati, merentangkan pikiran dan terus belajar!

Dalam Ihya Ulumiddin (the Revival of Religious Sciences), hujjatul Islam imam Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua, yakni yang wajib dipelajari secara personal (fardhu 'ain) dan yang wajib dipelajari secara kolektif (fardhu kifayah). Jadi, tidak ada demarkasi antara ilmu umum dan agama, karena semua wajib dipelajari. Bahkan, jika agama-agama kita anggap ilmu, dan memang seharusnya demikian, maka semua agama wajib kita pelajari, bukan malah kejang-kejang melihat salib, pingsan melihat patung dan alergi kemenyan kearifan lokal.

Sekali lagi, Islam adalah agama yang menjunjung tinggi pengetahuan. Contoh konyol, kalau Anda salat jum'at tapi pakai niat puasa, maka Anda tidak sembahyang tapi olah raga. Jika Anda sedekah gunting dan sisir untuk para jomblo menahun sebanyak lima kontainer semata karena ingin dipuji calon mertua teman, maka Anda sedang mubazir buang-buang harta. Apabila Anda haji tiap bulan, umroh tiap minggu, salat malam hingga kepala bertanduk, pakai gamis polkadot rangkap lima, serban melilit sebesar parabola, plus jenggot impor lima helai sampai lutut, tapi Anda melakukan itu semua tanpa ilmu, salah aturan pakai, sia-sialah yang hebat-hebat itu tanpa ilmu. Bisa-bisa, Anda malah kerasukan Abu Jahal dan kesurupan Osama bin Laden.

Kita renung-insyafi sekali lagi, semua prasyarat sebelum ibadah, juga muamalat adalah wajib aqil-baligh. Apa itu?

'Aqil adalah mendayagunakan mekanisme intelektual dengan benar, dengan itu manusia akan sampai pada konteks-konteks kebenaran (bāligh). Bahkan, agama ini adalah rasionalitas (ad-dīnu 'aqlun), barangsiapa yang tidak menggunakan akal-sehatnya, maka dia tidak beragama (lā dīna li man lā 'aqla lahū). 

Wal hasil, sadar bahwa diri ini masih bodoh adalah ilmu tingkat tinggi, dan berkomitmen untuk terus belajar adalah dengan cara rendah hati pada ilmu dan ahli ilmu. Sebab, ujar-ujar lama berbunyi, di atas langit masih ada langit (wa fauqa kulli dzi 'ilmin 'aliim), begitu pula kebodohan, di bawah orang bodoh, banyak yang lebih bebal dan jahil murakkab. Maka, jangan heran jika banyak orang-orang bodoh diikuti oleh lebih banyak lagi orang-orang dungu. Begitu kita berhenti belajar, mulailah kita bodoh. Ia bisa menyelinap dalam ego dan nafsu, menyusup dalam keakuan yang serba sok tahu.

Perlu kita renungi sabda Nabi Saw: Izdad 'aqlan tazdad min Rabbika qurban (tingkatkan kapasitas akalmu, niscaya meningkat pula intensitas kedekatan dengan Tuhanmu). O ya, kopi mana?

Semoga bahagia dan mulia.

Oleh: Ach Dhofir Zuhry*

*Penulis adalah pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah dan Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Al-Farabi, buku terbarunya: Peradaban Sarung dan Kondom Gergaji.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES