Kopi TIMES

Abal-Abal itu Pilihan, Bukan Takdir

Selasa, 04 Desember 2018 - 12:02 | 137.86k
Imam Wahyudi (Grafis: TIMES Indonesia)
Imam Wahyudi (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Namanya Kanti. Tahun 2008-2010 dia adalah grandong-er sejati. “Grandong segrandong-grandongnya”. 

Begitu dia sering menyebutnya. Di Jawa Timur, grandong adalah istilah untuk menyebut seseorang atau sekelompok orang yang kegiatannya mengintimidasi, memalak dan memeras kepala desa, guru-guru, pegawai pemda atau kelompok masyarakat lain dengan ancaman pemberitaan. Korban yang “nurut” atau patuh, akan aman. 

Jika “mbalelo” atau melawan, mereka akan dibombardir dengan pemberitaan buruk. Singkat kata, grandong adalah wartawan abal-abal. Media mereka juga pers abal-abal.

Debut Kanti sebagai grandong terjadi pada 2008, setelah bisnis kayu-nya di Jember gulung tikar dan membuatnya dililit utang. 

Karena sumpek dan galau diuber-uber kreditur, dia kabur ke Kediri, sekitar 260 kilometer di sebelah barat Jember. Di kota itu dia bertemu dengan seorang “wartawan” dari media M yang berjanji akan mengajarinya menjadi wartawan dengan bayaran Rp 1 juta. 

Kanti terpikat. Namun, setelah dua minggu mengantongi kartu pers media M, Kanti dipecat dengan alasan tidak mampu membuat berita. Padahal, menurut Kanti, dia rela membayar agar diajari menulis berita. Dia ingin belajar menjadi wartawan. 

Kanti kemudian pindah ke media SN. Kali ini dengan membayar Rp 500 ribu. Belum genap 3 bulan, dia pun dipecat dengan alasan yang sama, tidak mampu mengoperasikan laptop dan menulis berita.

Selama sekitar 3 bulan lebih mengantongi kartu “pers”, memang tidak membuat Kanti bisa menulis berita. Namun, dia mendapatkan cukup ilmu untuk menjadi grandong. 
Berbekal konten media-media lain yang diunduh melalui internet dan kemudian di lay out oleh tenaga tata letak (lay outer) lepas, dia pergi ke percetakan dan mencetak medianya. 

Surat kabar 12 halaman dengan nama Suara Kediri itu dicetak setiap tanggal 1 dan 15 dengan mencantumkan nama Kanti sebagai pemimpin redaksi. Sepanjang 2008-2009, surat kabar itu diedarkannya sendiri ke desa-desa. 
Konsumennya adalah para kepala desa dan kepala sekolah. Satu eksemplar dijual Rp50.000 hingga Rp 100.000. Laku. Karena transaksinya melalui intimidasi.

Kanti juga rajin mendatangi acara-acara seremoni instansi dan konperensi pers, untuk berburu uang “amplop”. Di acara seperti itu, dia selalu mengajak istrinya. 

Dengan terjun berdua, mereka mendapat jatah dua amplop. Setelah uangnya diambil, amplop-amplop bekas tersebut disimpan dalam lipatan buku agar tetap rapi jali. 

Setelah terkumpul cukup banyak, amplop-amplop itu dikemas dalam plastik dan dijual kepada orang-orang yang membutuhkan tempat uang sumbangan saat menghadiri undangan resepsi pernikahan atau khitanan (kondangan). 
Menurut Kanti, di bisnis kayu dia belajar bahwa semua bagian mesti bisa jadi uang. Serpihan pun bisa dijual. Makanya, tidak seperti kebanyakan grandong lain, dia selalu berhati-hati dalam memperlakukan amplop. Tidak asal main robek, menguras isi dan kemudian membuang amplopnya.

Tahun 2009 dia mulai merekrut wartawan. Kontennya, tidak lagi mengandalkan internet. Wartawannya datang dan pergi. Pada 2010, saat Kanti mengubah nama medianya menjadi Suara Media Nasional, sudah ada 20 an wartawan yang tercatat bekerja atau pernah bekerja di perusahan “pers”-nya

Titik Balik 

Akhir 2010, Kanti menghubungi Dewan Pers dan meminta agar Suara Media Nasional, dimasukkan ke dalam Buku Data Perusahaan Pers terbitan Dewan Pers. Permintaan itu ditolak. 

Dari beberapa kali komunikasi melalui telepon dengan staf sekretariat Dewan Pers, Kanti kemudian paham bahwa praktik yang dijalaninya selama ini, adalah praktif wartawan abal-abal. Bukan praktik jurnalistik. 
Perusahaannya juga tidak bisa dikategorikan sebagai media Pers, tapi media abal-abal. 

Kanti terlecut.Dia ingin medianya menjadi dan terdaftar sebagai perusahaan pers yang sebenarnya. Bukan pers abal-abal.

Semula, nama CV Suara Media Group di penerbitannya adalah CV abal-abal. CV dengan nama itu, tidak ada. 

Kanti baru mengurus legalitasnya akhir 2011. Untuk mengikuti ketentuan UU 40/1999 tentang Pers yang mengharuskan perusahaan pers berbadan hukum Indonesia, 
Kanti kemudian mengubah status legal perusahaannya dari badan usaha CV menjadi badan hukum PT dengan nama Suara Media Nasional. 

Kanti juga mendaftarkan beberapa wartawannya untuk mengikuti Uji Kompetensi Wartawan. Periodisasi terbitan koran yang semula 2 mingguan, sejak 2013 diubah jadi Mingguan. Setiap hari Senin. 

Kanti juga selalu memonitor kegiatan pelatihan yang diselenggarakan Dewan Pers di Jawa Timur dan hampir tak pernah absen mengikutinya. 

Diundang ataupun tidak. Dia mengakui, itu cara cepat dan murah untuk belajar dan melakukan penyesuaian. Dengan terus belajar, dia tahu apa saja yang mesti disesuaikan dan dipenuhi. Dia sangat ingin surat kabarnya masuk ke jajaran media pers profesional. Meskipun awalnya abal-abal.

Perbaikan-perbaikan yang dilakukannya cepat berbuah. Humas dari beberapa Pemda di Jawa Timur, tertarik dan merasa aman untuk berlangganan dan memasang iklan di surat kabar milik Kanti. 

Untuk memperluas pasar, Kanti membuat kerjasama barter dengan maskapai penerbangan. Dengan cara itu, setiap minggu surat kabar edisi terbarunya bisa diperoleh oleh para perantau dari Jawa Timur yang tinggal di berbagai kota di Sumatera dan Kalimantan. 

Pemasaran ke luar Jawa itu dihentikannya sejak 3 tahun lalu karena Kanti tidak mampu mengontrol wartawan yang bertugas di daerah-daerah itu. Dia mendapat laporan, beberapa kontributornya di luar Jawa telah “nggrandong”.

Kanti juga merilis media online dengan alamat www.suaramedianasional.co.id. Dia merekrut mantan wartawan dari salah satu media terkemuka di Jawa Timur untuk menggawangi dan menjadi pemimpin redaksi media online-nya. Namanya Kundari. 

Saya pernah bertemu dengannya dalam sebuah pelatihan mengenai Pers dan Pemilu di Surabaya. Kundari menjadi moderator dalam sesi yang saya bawakan.

Beberapa pekan lalu, saya melakukan verifikasi faktual dengan mendatangi kantor Suara Media Nasional di Kediri. Saya datang dua kali. Setelah verifikasi, Kanti bertanya kepada saya tentang hal-hal yang masih perlu diperbaikinya. 

Saya memberinya masukan cukup banyak terkait konten di surat kabar mingguannya. Saya menilai, sebagian besar konten surat kabar mingguan Suara Media Nasional adalah konten harian yang disajikan mingguan. Kanti dan tim perlu memperkuat diferensiasi antara konten di surat kabar mingguan Suara Media Nasional dengan konten di suaramedianasional.co.id serta surat kabar-surat kabar harian di Jawa Timur.

Konten di surat kabar mingguan mestinya lebih mendalam dan komprehensif dibandingkan dengan konten di surat kabar harian. Kanti terlihat sangat antusias menerima masukan ini dan saya berharap dia bisa segera melakukan perbaikan-perbaikan untuk kemajuan perusahaan pers-nya.

Kamis pagi, 29 November 2018, saya mendapatkan posting WA dari mbak Uci, salah satu staf sekretariat Dewan Pers. Isinya tentang 50 Karya Terbaik Anugerah Jurnalistik Kominfo 2018. Di kategori Liputan Media Online, tercantum nama Kundari Pri Susanti, suaramedianasional.co.id dan karya berjudul Ping, Aplikasi Penyedia Informasi Hasil Terobosan Kominfo Ngawi, sebagai pemenang nomor 4. Pemenang nomor 1-3 masing-masing adalah cnnindonesia.com, kompas.com dan republika.co.id. 

Sementara pemenang nomor 5-10 seluruhnya juga media-media online arus utama, yakni detik.com, batampos.co.id, tempo.co dan sindonews.com. 

Di kepala saya segera terbayang wajah Kanti saat datang ke Dewan Pers untuk meminta buku-buku tentang pers, dan saat dia hadir dan tekun menyimak acara-acara pelatihan yang diselenggarakan Dewan Pers di Jawa Timur. Jujur saya terharu dan juga bangga. 

Saya segera menelpon dan menyampaikan ucapan selamat kepadanya. Saya juga mulai menuliskan artikel ini untuk menuangkan perasaan dan keyakinan saya, bahwa menjadi wartawan atau media abal-abal bukanlah takdir. Itu adalah pilihan yang bisa dihindari oleh setiap orang, jika mereka mau.

(tulisan ini saya buat atas izin yang bersangkutan melalui WA phone pada hari Senin, 3 Des 2018 pk 10:03 dan 11:12)

Naskah asli bisa disimak di: 
https://www.reporterview.com/2018/12/abal-abal-itu-pilihan-bukan-takdir.html

Penulis: Imam Wahyudi, Ketua Komisi Pendidikan, pelatihan & Pengembangan Profesi Dewan Pers.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES