Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Guru di Era Peradaban Milenial

Selasa, 04 Desember 2018 - 10:15 | 163.00k
Abdul Halim Fathani. Dosen Pendidikan Matematika, Universitas Islam Malang. (Grafis: TIMES Indonesia)
Abdul Halim Fathani. Dosen Pendidikan Matematika, Universitas Islam Malang. (Grafis: TIMES Indonesia)
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – SAAT ini, untuk menemukan sosok guru bukanlah perkara yang sulit. Hal ini bisa ditelusuri dari lulusan SMA atau sederajat yang meneruskan pendidikan tingginya di program studi kependidikan sudah tidak sedikit lagi. Kebijakan pemerintah telah mengubah sedikit pergeseran, yakni dengan menerapkan program, siapapun yang ingin menjadi guru harus mengikuti program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Faktanya, masih banyak mahasiswa yang belajar di program studi kependidikan di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan).

PPG adalah program pendidikan tinggi setelah program sarjana yang diselenggarakan bagi lulusan S1 Kependidikan dan S1/D-IV Non Kependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi guru. Landasan hukum pelaksanaan PPG mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No.8 Tahun 2009 tentang Program PPG Prajabatan dan Permendiknas Nomor 9 Tahun 2010 tentang Program PPG bagi Guru dalam Jabatan.

Tekad Pemerintah

Kebijakan keharusan mengikuti PPG ini merupakan ikhtiar pemerintah melalui perguruan tinggi untuk meningkatkan mutu pendidikan dari aspek sumber daya manusia (baca: guru). Mutu guru mutlak harus terjamin dengan baik, hal ini selaras dengan guru sebagai profesi. Sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (pasal 1) dijelaskan bahwa “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”.

Guru menempati posisi penting dalam mengawal proses pendidikan yang bermutu. Guru harus memiliki kualifikasi yang memadai untuk melaksanakan tugasnya, termasuk mengajar bidang studi yang menjadi tanggung jawabnya. Siapa saja yang menyandang profesi sebagai tenaga pendidikan harus secara kontinu meningkatkan profesionalismenya.

Dalam laman https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id (02/10/18), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy, menegaskan bahwa pemerintah akan berupaya mengangkat kembali posisi guru sebagai profesi terhormat. Selain terus berupaya memenuhi hak dan memperbaiki kesejahteraan para guru, pemerintah juga mendorong agar guru semakin berdaya sesuai dengan profesinya. 

Menurut Mendikbud Muhadjir Effendy, untuk mendudukkan agar guru kembali sebagai profesi terhormat, maka ada tiga hal yang harus dikuasai guru. Pertama, kompetensi inti (keahlian), mencakup kecakapan pedagodis dan kepribadian (karakter) pendidik. Kedua, adalah kesadaran dan tanggung jawab sosial. Guru harus senantiasa mengabdikan dirinya untuk kepentingan keahliannya, dan mempersembahkan keahliannya untuk kepentingan masyarakat. Dan, yang ketiga, adalah adanya semangat kesejawatan dan kebanggaan terhadap korpsnya.

Komitmen Individu (Guru)

Di sisi lain, menurut hemat penulis, untuk menjaga guru agar tetap sebagai profesi terhormat, guru perlu memiliki komitmen untuk mampu beradaptasi dan merespons terhadap perubahan dan perkembangan zaman yang begitu cepat ini. Seorang guru harus menyadari bahwa peserta didik yang sedang belajar di sekolah itu merupakan generasi milenial. Artinya, siswa memiliki beberapa karakter yang tidak sama dengan gurunya. Lembaga pendidikan (baca: sekolah) sudah semestinya harus bisa menjembatani kesenjangan antara guru dan siswa, yang merupakan dua generasi yang saling bertolak belakang ini.

Sistem pendidikan termasuk di dalamnya adalah para guru harus mampu berpacu untuk mengimbangi laju cepatnya perubahan. Agar pendidikan tetap bisa bertahan di atas derasnya gelombang perkembangan teknologi informasi, guru harus mampu beradaptasi dengan dunia baru di era milenial ini. Guru tidak seharusnya tetap ngotot menyelenggarakan pembelajaran seperti pembelajaran pada zamannya. Justru sebaliknya, guru harus mampu melaksanakan pembelajaran dengan menjadikan gaya pembelajaran siswa generasi milenial sebagai sebuah kekuatan. Pembelajaran bagi siswa, sudah tidak akan menarik, apabila guru masih berkutat menyampaikan materi, yang hal tersebut sudah bisa dilakukan siswa secara mandiri.

Lalu, apa yang seharusnya diberikan guru kepada siswa? Dalam buku “Mendidik Generasi Z & A”, karya J. Sumardianta & Wahyu Kris AW (2018), dijelaskan bahwa menurut Tyovan Ari Widagdo, pakar software engineering, telah mengidentifikasilima keterampilan masa depan yang harus diajarkan para guru kepada para siswa, agar mampu beradaptasi dengan peradaban milenial. Ialah dengan mengembangkan kreativitas siswa, mengembangkan kecerdasan emosional siswa, membangun kolaborasi, melatih menyelesaikan masalah yang komplek, dan melatih keterampilan fleksibilitas kognitif siswa. Lima keterampilan inilah yang harus diajarkan guru kepada siswa-siswinya agar bisa menyesuaikan diri dengan peradaban milenial.

Selaras dengan itu, Deklarasi Forum Ekonomi Dunia (WEF) juga dapat dijadikan sebagai salah satu referensi dalam membekali para siswa milenial. Ada 10 (sepuluh) keterampilan terpenting yang menentukan kesuksesan hidup dan perlu dimiliki para siswa, yaitu kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang kompleks, berpikir kritis, kreatif, mengelola sumber daya manusia, berkoordinasi dengan sesama, kecerdasan emosional, justifikasi, dan pengambilan keputusan, berorientasi pada pemberian layanan, negosiasi, dan berpikir fleksibel.

Meskipun zaman yang terus berubah secara cepat, namun guru harus tetap tegak untuk berdiri dan mengawal keberlangsungan pembelajaran di kelas. Tanpa kehadiran guru, tidak mungkin pendidikan dapat terlaksana secara optimal. Memang, siswa bisa mencari sendiri materi-materi pelajaran melalui pelbagai laman di internet. Tetapi, mempelajari materi itu saja belumlah cukup. Masih perlu ada “validasi” dari para guru, perlu sosok manusia (guru) yang patut dijadikan tauladan dalam kehidupan siswa. Karena itu, kehadiran guru tidak dapat dinafikan. Guru mutlak diperlukan kehadirannya dalam mengawal siswa generasi milenial ini untuk menyiapkan kehidupannya lebih baik.

Agar guru tetap bisa bertahan, maka guru harus memiliki komitmen untuk terus dan terus belajar. Sebagai ujung tombak pendidikan demi masa depan para siswa generasi milenial, guru tidak boleh berhenti belajar. Guru yang memiliki keinginan berhenti belajar lebih baik berhenti pula dalam mengajar. Guru sejati adalah inisiator ulung yang mampu membaca apa yang dibutuhkan siswanya di masa datang. Guru sejati adalah sosok pembelajar sejati. Luar biasa. Terima kasih guru!

Di akhir tulisan ini, marilah kita meneladani cara Rasulullah sebagai Sang Pendidik. Pendekatan, strategi, dan metode pembelajaran yang digunakan dalam membangun peradaban di zaman jahiliyah terbukti mampu menembus masa yang jauh ke depan, bahkan sampai akhir zaman. Dengan cara itulah, kita mampu membangun generasi unggul, sehingga tidak lagi mengalami krisis sosok pemimpin yang unggul di masa datang. (*)

* Penulis, Abdul Halim Fathani, Dosen Pendidikan Matematika, Universitas Islam Malang

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES