Kopi TIMES

Pernikahan Usia Anak-Anak, kekerasan Terhadap Anak?

Senin, 19 November 2018 - 23:45 | 74.73k
Mahirotul Alawiyah. (Grafis: TIMES Indonesia)
Mahirotul Alawiyah. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANGBEBERAPA waktu lalu, cuitan UNICEF Indonesia di twitter tentang pernikahan anak sempat membuat saya tersadar. Bahwa di Indonesia, khususnya di pedesaan merupakan hal yang lumrah terjadi pernikahan dini atau usia anak.

Adapun cuitannya yaitu “Pernikahan anak merupakan salah satu bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap anak” Adapun faktor-faktor penyebab pernikah usia anak menurut UNICEF Indonesia adalah “penerimaan terhadap norma budaya dan sosial, ketidak setaraan Gender, kurangnya akses terhadap pendidikan dan kesempatan ekonomi, kurangnya akses dan informasi terhadap kesehatan reproduksi.”

Perihal usia anak ini jika berdasarkan pada pasal 1 ayat (1) UU No. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, “ anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Pernikahan usia anak dalam hal ini berarti pernikahan seseorang yang belum berusia 18 tahun. Sedangkan di Indonesia pernikahan di bawah 18 tahun sudah marak terjadi dan merupakan hal yang wajar.

Masyarakat banyak yang kurang faham bahwa hal ini jika ditelusuri lebih dalam, pernikahan di bawah usia 18 tahun masuk pada pelanggaran terhadap UU perlindungan anak. Selain itu, masyarakat juga minim sekali pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Karena seorang anak perempuan yang hamil di usia dini lima kali lebih beresiko dari pada wanita yang berusia 20 tahun ke atas.

Namun berbeda lagi pengertian usia anak dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam UU perkawinan, perkawinan diizinkan pada laki-laki berusia 19 tahun dan perempuan usia 16 tahun. Akan tetapi, dilanjutkan dalam ayat 2 “dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”

Maksud dalam ayat 2 di atas adalah jika seorang anak sudah terlanjur hamil di luar nikah. Maka pihak orang tua wajib meminta dispensasi kepada pengadilan untuk menikahkan anaknya yang di bawah umur. Berdasarkan syari’ah islam, seorang yang sedang hamil harus melahirkan terlebih dahulu jika akan dinikahkan.

Menurut saya, pernikahan dalam jenis ini adalah upaya terakhir dalam menanggulangi kenakalan anak yang hamil di luar nikah. Akan tetapi perkawinan usia anak akan menjadi kekerasan dan diskriminasi terhadap anak, jika anak dipaksa menikah sedangkan anak tersebut tidak hamil di luar nikah dan masih mengenyam pendidikan.

Perihal UU mana yang akan diambil mengenai usia anak dalam pernikahan, saya kembalikan pada perspektif pribadi. Yang terpenting mengutakamakan prinsip terbaik bagi anak. UU No. 35 tahun 2014 mengutamakan prinsip terbaik bagi anak karena yang terbaik bagi orang tua belum tentu terbaik bagi anak. Saya tidak mengatakan pemerintah dalam tulisan saya kali ini, karena pemerintah sudah mengupayakan banyak cara dalam melindungi anak, salah satunya revisi terhadap UU perlindungan anak tahun 2014 yang dipandang lebih adil dalam memperlakukan anak dari pada UU No. 23 tahun 2002. Selain itu, pemerintah saja juga tidak cukup dalam melindungi anak, masyarakat dan para orang tua yang berada di lingkup terdekat dalam pembentukan pribadi anak memiliki kewajiban dalam melindungi anak dan mencegah terjadinya kenakalan anak. (*)

Oleh: Mahirotul Alawiyah

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES