Peristiwa Nasional

Peneliti SMRC Paparkan Sisi Negatif Perda Syariah

Jumat, 16 November 2018 - 23:16 | 139.77k
Peneliti SMRC Luthfi Assyaukanie (satu dari kanan). (Foto: Rahmi Yati Abrar/TIMES Indonesia)
Peneliti SMRC Luthfi Assyaukanie (satu dari kanan). (Foto: Rahmi Yati Abrar/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Luthfi Assyaukanie memaparkan beberapa sisi negatif dari penerapan Peraturan Daerah (Perda) berbasis agama atau Perda Syariah.

Menurut dia, Perda agama tersebut sebetulnya diperbolehkan di Aceh saja, karena urusan agama itu di luar UU otonomi daerah.

"Jadi agama itu mestinya menjadi urusan pemerintahan pusat. Jadi Kabupaten dan Provinsi sesuai dengan otonomi daerah tidak diperkenankan mengatur urusan agama," kata Luthfi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (16/11/2018).

Sebetulnya lanjut dia, Perda itu sudah ada sejak lama. Penelitiannya menunjukkan justru tahun 2000-2010 menjadi masa keemasan di banyak sekali Kabupaten dan Kota di Indonesia. "Seperti di Bulukumba, di Sulawesi, itu gencar sekali mau mengampanyekan Perda syariah," tukasnya.

Namun sambung Luthfi, Perda syariah sekarang sudah mengalami penurunan. Salah satu sebabnya menurut dia adalah karena tidak efektif. Pertama, selain memunculkan banyak persoalan, soal diskriminasi intoleransi dan sebagainya juga tidak menjawab masalah yang muncul.

"Kalau ada daerah yang pakai Perda syariah ini tergantung masyarakat. Harusnya masyarakat juga mengkritisi itu karena sudah terbukti di banyak sekali daerah bahwa Perda itu jelas merugikan masyarakat sendiri terutama kaum perempuan, karena korban pertama dari Perda berbasis agama adalah perempuan," paparnya.

Luthfi yang juga Cendekiawan Muslim dari Universitas Paramadina itu lantas mencontohkan, di Banten ada aturan di mana perempuan tidak boleh keluar di atas jam 10 malam. Padahal perempuan ada yang bekerja di atas jam 10 malam. "Ditangkap polisi, dianggap melanggar Perda, jelas merugikan perempuan," ujar dia.

Selain itu, Perda syariah itu juga dinilai menjadi intoleran dan diskriminatif. Misalnya, ada kekuatan Islam, agama lain ingin mendirikan tempat ibadah. "Itu pasti akan sulit sekali sebuah daerah aturan berbasis agama," imbuhnya.

Menurut pandangan dia, pemerintah pusat perlu mengkoordinasikan Perda syariah yang muncul. Harus ada semacam judicial review untuk Perda-perda, bukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) tapi di kalangan daerah.

"Nah di sinilah diperlukan koordinasi dengan masyarakat, aktivis, menguji apakah Perda Syariah semacam itu masih relevan, bermanfaat buat masyarakat," tandas peneliti SMRC tersebut. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES