Kopi TIMES

Ngaji Sejarah: Tanah Air Puisi

Sabtu, 10 November 2018 - 22:51 | 113.93k
Ach Dhofir Zuhry (Grafis: TIMES Indonesia)
Ach Dhofir Zuhry (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Di tengah kesibukan mengajar dan berpikir, beberapa bulan belakangan, saya cenderung agak berkeringat menjelang pagi lantaran berusaha mencari makna Indonesia, bukan dari gejolak Medsos yang palsu dan menipu, juga bukan dari gelegak diskusi, dari (tata) buku klasik, apalagi kontemporer. 

Saya terus mencari makna itu pada mantra-mantra sunyi, pada karmina dan pantun-pantun sepi, pada gurindam-gurindam yang mungkin mengeram di balik temaram, pada seloka-seloka irisan malam, pada sajak-sajak rohani, pada talibun-talibun empun, tiba-tiba senyap dan lantas menguap makna-makna Indoensia itu bersama serbuk-serbuk kopi, bersama kantuk yang mulai menepi. Tapi, di manakah makna? Makna itu ada pada arwah para pahlawan yang telah rela menyabung nyawa demi kemerdekaan tanah air dan tumpah darahnya.

Nah, peringatan Hari Pahlawan kali ini bertepatan dengan awal bulan Maulid, istimewa tanpa tapi. Baru saja kita rayakan Hari Santri Nasional, Resolusi Jihad, Sumpah Pemuda, dan kini Hari Pahlawan sekaligus Maulid Nabi. Semua itu puisi tanpa tapi, keindahan tak terperi, semua itu debar jantung nyala api, bagi kemanusian dan keindonesiaan yang mulia kehilangan kewarasan dan orientasi.

Dalam hemat saya (yang tidak terlalu hemat), Indonesia sebagai bangsa dan Negara atau negara-bangsa lahir dari puisi dan lantas berdaulat karena puisi. Mana puisinya? Sumpah Pemuda. 

Ya, Sumpah Pemuda adalah satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ikrar puitik dan puisi ikrar ini sangat layak dianggap sebagai kristalisasi semangat dan endapan gelora untuk menegaskan cita-cita berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Keputusan Kongres Pemuda yang diselenggarakan pada 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta) ini mensyiarkan sebuah syair perihal cita-cita akan "tanah air Indonesia", "bangsa Indonesia", dan "bahasa Indonesia". 

Padahal, kita tahu, "bangsa Indonesia" belum ada, ia murni imajinasi dalam puisi Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia juga belum lahir, sebab lingua franca adalah bahasa Melayu, setelah bahasa Kawi dan Jawa Kuna mulai koyak-moyak  dan bahkan boyak dirusak oleh Penjajah.

Dengan sendirinya, puisi Sumpah Pemuda yang disepuh doa para wali, ditempa oleh keringat para pejuang dan resi, ditajamkan  darah juang para pemuda menjadi asas dan getar bagi setiap "perkumpulan kebangsaan Indonesia" dan dipancar-siarkan dalam berbagai surat kabar dan dibacakan di muka rapat perkumpulan-perkumpulan.

Pada awal abad kedua puluh, suku-suku asli negara Hindia Belanda—sekarang Indonesia—mulai merasa memiliki satu semangat nasionalisme, yang akhirnya dirumuskan dalam Sumpah Pemuda pada tahun 1928. 

Memang, gagasan nasionalisme ini impor dari pemikiran Joseph Ernest Renan (1823-1892), seorang filsuf, sastrawan, filolog, dan sejarawan Prancis terkemuka. Pernyataannya dalam QU'EST-CE QU'UNE NATION? (1882), bahwa suatu bangsa bukan semata berdasarkan pada masa lampau bersama, tetapi juga pada hasrat hidup bersama: 

"Ce qui constitue une nation, ce n'est pas de parler la même langue, ou d'appartenir à un groupe ethnographique commun, c'est d'avoir fait ensemble de grandes choses dans le passé et de vouloir en faire encore dans l'avenir" (Apa yang membentuk satu bangsa bukan karena bertutur dalam bahasa yang sama, atau menjadi bagian dari kelompok etnografis yang sama, tetapi pernah berbuat hal-hal besar pada masa lampau dan ingin berbuat labih besar lagi di masa yang akan datang). Presiden Soekarno sering mengacu pada gagasan Renan ini untuk menjelaskan pandangannya tentang bangsa Indonesia.

Rasa persatuan dan kesatuan ini juga dicerminkan dalam media baru. Majalah-majalah terbitan kelompok pemuda Jong Java (1915) dan Jong Sumatranen Bond(1917) mengajukan negara modern yang bebas dari sistem feodalisme tradisional. 

Pandangan nasionalis juga diajukan dengan publikasi untuk dewasa, termasuk Pandji Poestaka (mulai 1930) dan Timboel (1932). Publikasi ini tidak bertahan lama dan hanya memuat karya sastra ala kadarnya. Ada pula usaha untuk mendirikan majalah sastra berbahasa Melayu, yakni Malaya yang diterbitkan pada 1921, tapi jauh panggang dari pada api.

Pada gilirannya, Sutan Takdir Alisjahbana (STA), yang menjadi redaktur "Memadjoekan Sastera" (bagian sastra dalam koran Pandji Poestaka) berkenalan Armijn Pane saat penulis keturunan Batak ini mengirim beberapa sajaknya.

Aktvis pembaharuan sastra, pada surat yang dikirim pada bulan September 1932 STA meminta kritikus sastra baru (letterkundigen) serta minta Armijn mengundang penyair Amir Hamzah untuk membantu membentuk kelompok sastra. 

Tak berselang lama pasca korespondensi melalui surat, mereka mengambil keputusan untuk membentuk suatu majalah sastra bersama. Majalah itu, kelak, bernama oedjangga Baroe, untuk mendukung kebudayaan modern dan nasionalisme melalui sastra, yang pada saat itu belum pernah dilakukan di Nusantara.

Majalah yang dipimpin oleh Armijn dan STA itu, awalnya tidak diterima dengan baik oleh partai politik. Para politikus beranggapan bahwa sifat non-politis majalah dapat melemahkan gerakan nasionalis dengan membuatnya kehilangan arah perjuangan sebagaimana dicita-citakan dalam Sumpah Pemuda. Dan, memang, pasang-surut tak pasang lagi menerpa majalah ini.

Poedjangga Baroe ditutup dengan runtuhnya pemerintah Hindia Belanda setelah Jepang menduduki Indonesia pada bulan Februari 1942 setelah sembilan puluh edisi yang diterbitkan. 

Semangat majalah inilah yang turut membidani penyair terbesar yang ditunggu oleh zaman dan bangsanya, yakni Chairil Anwar, tampil dengan semangat kemerdekaan yang lebhh menyala-nyala dan berkobar-kobar.

Dari tahun 1948 sampai 1954, setelah penyerahan Jepang dan menjelang akhir Perang Kemerdekaan Indonesia, seri baru dengan judul yang sama didirikan oleh STA. Penulisnya baru, termasuk Chairil Anwar, Achdiat Karta Mihardja, dan Asrul Sani. Majalah Pudjangga Baru ini kemudian diganti dengan Konfrontasi, yang juga dipimpin oleh STA dan diterbitkan setiap dua bulan dari tahun 1954 sampai 1962.

Apapun itu, Indonesia sebagai bangsa dan Negara atau negara-bangsa lahir dari puisi dan lantas berdaulat karena puisi, sebab Tanah Air ini Tanah Air puisi, di mana wangsa Sanjaya dan wangsa Purnawarman merumuskan kebudayaan tanah dan air.

Oleh karena, Negara yang memilki konsep Tanah Air adalah Indonesia dan agama yang memiliki filosofi wudhu dan shalat adalah Islam, maka pembangunan harus bersujud, industrialisasi harus membumi, pendidikan harus bersujud, kebudayaan tidak boleh menyelingkuhi tanah dan air, sistem politik pun harus paling sering dan rutin bersujud, agar manusia Indonesia tetap memiliki kewarasan dan kewajaran.

Kabar baiknya, di Pesantren tradisi wudhu yang benar-benar wudhu dan shalat yang sungguh-sungguh shalat masih sangat terjaga, bahkan shalat malam. 

Nah, jika bangsa ini ingin selamat, deru sepatu pembangunan dan kegilaan minal jinnati wan nas yang tak henti-hentinya ingin merusak dan memecah-belah NKRI, sepatu-sepatu dari tempurung jahat itu harus mulai kita lepas dan lebih sering telanjang kaki agar segala penyakit kemajuan dan pemutlakan paham terserap tanah—bumi pertiwi.

Kapitalisasi tanah dan air serta penjualan sumber-sumber kehidupan dan kerukunan sudah harus mulai dikurangi dan bahkan disudahi sama sekali agar sungai tak lagi mengalirkan sampah dan limbah industri. 

Para pemangku kebijakan itu harus istiqamah berwudhu dan bersujud, karena Tanah Air ini adalah tanah air para santri, tanah air puisi. Secangkir shalawat untuk Nabi, secangkir alfatehah untuk semua pahlawan NKRI. Sekian, salam al-Hayulani bil-Fi'lil Mustafad. (*)

 

*Penulis Ach Dhofir Zuhry, pendiri Mazhab Kepanjen, Pengasuh Pesantren Luhur dan Ketua STF AL-FARABI, buku terbarunya: PERADABAN SARUNG (Veni, Vidi, Santri) dan KONDOM GERGAJI

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES