Peristiwa Internasional

Kajian JCC, Konspirasi Global untuk Jamal Khashoggi

Senin, 29 Oktober 2018 - 12:35 | 69.25k
Jamal Khashoggi, wartawan Arab Saudi yang dibunuh di Istanbul (FOTO: AP/Jacquelyn Martin)
Jamal Khashoggi, wartawan Arab Saudi yang dibunuh di Istanbul (FOTO: AP/Jacquelyn Martin)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dunia saat ini diramaikan dengan dugaan pembunuhan Jamal Khashoggi, seorang jurnalis Arab Saudi. Banyak negara kompak berteriak menuntut Kerajaan Arab Saudi untuk mengusut tuntas misteri dugaan pembunuhan Jamal Khashoggi. Jika dibunuh, dimana jasad atau jenazah Khashoggi? Apakah ini sebuah konspirasi global untuk ‘menghabisi’ kerajaan Arab Saudi?

Selama sepekan, John Caine Center (JCC), sebuah organisasi sosial yang ada di Jakarta, telah melakukan banyak kajian dan penelitian dari banyak fakta dan data yang ‘bertaburan’ di media mainstream, baik media nasional maupun internasional serta aneka media sosial.

Dari kajian tersebut, ada beberapa tafsiran dan temuan soal kasus dugaan pembunuhan seorang kolumnis di media internasional yang berbasis di ibu kota Amerika Serikat, The Washington Post itu.

Dari awal, sosok Jamal Khashoggi diduga hilang saat mendatangi Kantor Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki. Khashoggi diketahui memasuki kantor tersebut pada 2 Oktober 2018 lalu untuk mengurus beberapa berkas surat kelengkapan untuk pernikahan dengan pacarnya di Turki.

Namun, hingga kini, menurut kajian data John Caine Center (JCC), tak satupun lembaga resmi negara atau pihak media yang berhasil membeberkan fakta dan alat bukti, bahwa ia dibunuh di Kantor Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki.

“Bahkan, Khashoggi dikabarkan mengalami penyiksaan hingga dibunuh dengan cara brutal. Ini perlu diungkap dan jelas dulu fakta penguatnya. Biar informasinya tidak simpang siur dan menyudutkan pihak kerajaan Arab Saudi,” kata Chairman John Caine Center (JCC), Najib Salim Attamimi, kepada TIMES Indonesia, di Jakarta, Senin (29/10/2018) pagi.

Karir Khashoggi memang tak asing lagi di bagi kerajaan Arab Saudi. Ia adalah alumnus pendidikan Administrasi Bisnis di Indiana State University, Amerika Serikat. Ia memulai karir sebagai seorang jurnalis di sebuah koran berbahasa Inggris, Saudi Gazzete, pada era 1990-an.

Kemudian, ia menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Arab News pada 1999-2003. Selanjutnya, dia menempati posisi yang sama di koran Al Watan, tetapi hanya bertahan selama dua bulan. Namun, pada 2007 ia kembali ditarik ke Al Watan hingga dipercaya menjadi pemimpin redaksi di media tersebut.

Sosok Khashoggi memang dikenal sebagai jurnalis yang memiliki idealisme tinggi. Ia kerap mengkritik Pemerintah Arab Saudi melalui tulisan-tulisannya. Tulisan itu misalnya, “Yang Paling Dibutuhkan Negara-negara Arab adalah Kebebasan Berekspresi” dan “Putra Mahkota Saudi Arabia Harus Mengembalikan Martabat Negaranya”.

Namun, dalam sebuah artikel, Khashoggi menyebut dirinya bukan musuh pemerintah dan sangat peduli dengan Arab Saudi. Bagi dia, Arab Saudi merupakan satu-satunya rumah yang ia tahu dan inginkan. Namun, atas keputusan pribadinya, ia memutuskan untuk melarikan diri ke Amerika Serikat.

Khashoggi juga terdaftar sebagai salah seorang kolumnis di media internasional yang berbasis di ibu kota Amerika Serikat, The Washington Post. Ia sudah menulis banyak artikel kolom di media itu sejak Maret 2018.

Semasa hidupnya, Khashoggi sempat menulis tiga buah buku,  yakni Elaqat Hreja (2002) yang membahas hubungan Arab Saudi-Amerika Serikat pasca-kejadian 11 September 2001.

Buku kedua berjudul Ihtalal Asuq Asaudi (2013) yang menyinggung tentang ketergantungan Arab Saudi terhadap buruh tenaga asing. Buku ketiga terbit pada 2016. Khashoggi menulis buku berjudul Rabea Alarab, Zamen Alekhwan yang membahas tentang musim semi di Arab dan politik Islam.

Analisis Hilangnya Jamal Khashoggi

Dari data AFP, kronologi hilangnya Khashoggi, pada Selasa, 2 Oktober 2018, ia memang diduga ada di kantor Konsulat. “Tapi ada ada bukti yang dibeber ke publik yang menguatkan itu,” jelas Najib.

Saat Khashoggi memasuki Kantor Konsulat Arab Saudi di Istanbul, diduga tak kunjung keluar dan menampakkan diri. Data yang berkembang, keberadaan Jamal Khashoggi memang terekam dalam kamera pengawas atau CCTV saat melangkahkan kaki ke dalam gedung konsulat untuk mengurus surat cerai.

“Namun, belum diketahui secara detail apakah benar itu sosok Khashoggi. Atau bahkan sosok orang lain yang mirip. Ini masih belum jelas dan masih terkategori lair datanya,” kata Najib.

Khashoggi memang dikabarkan akan mengurus surat kelengkapan penikahan dengan pacarnya yang dibutuhkan agar dia dapat menikahi kekasihnya yang berasal dari Turki.

Selanjutnya, sehari setelahnya, pada Rabu, 3 Oktober 2018, The Washington Post mengangkat kabar mengenai Khashoggi yang belum juga terlihat sejak masuk ke kantor konsulat, Selasa siang waktu Turki.

Di sisi lain, otoritas Turki meyakini Khashoggi masih berada di dalam konsulat. Namun, pada hari selanjutnya, Kamis, 4 Oktober 2018, Pemerintah Arab Saudi mengatakan Khashoggi menghilang setelah meninggalkan gedung. Kemudian, pihak konsulat Arab Saudi dipanggil untuk bertemu Kementerian Luar Negeri Turki.

Hari ketiga pasca-menghilangnya kolumnis The Washington Post itu, Jumat, 5 Oktober 2018, Putra Mahkota Mohammed bin Salman mengatakan, pernyataan serupa dengan yang disampaikan Pemerintah Arab Saudi sebelumnya bahwa Khashoggi tidak ada di konsulat.

"Kami mempersilakan Pemerintah Turki untuk melakukan pencarian di wilayah gedung dan halaman kedaulatan kami," kata Mohammed bin Salam.

Menurut kajian John Caine Center (JCC), fakta yang harus dibeber ke publik adalah apakah benar-benar Khashoggi yang ada di kantor konsulat. “Sebelum ini jelas, tidak fair banyak negara menyikapi dan bahkan menuduh jika Khashoggi dibunuh di kantor konsulat,” katanya.

Sabtu, 6 Oktober 2018 katanya, pihak kepolisian Turki langsung percaya bahwa Khashoggi telah dibunuh di dalam konsulat. “Pemerintah Turki sudah menggeledah gedung konsulat,” katanya.

Namun jelas Najib, hingga saat ini belum ada kabar adanya penggeledahan di konsulat. Ini juga hal tidak etis yang dilakukan pemerintahan Turki. Seharusnya, jika memang menemukan fakta dan bukti kuat bahwa Khashoggi memang dibunuh disitu, dibeberkan ke publik.

Selanjutnya, pada Kamis, 11 Oktober 2018, Arab Saudi mengeluarkan pernyataan bahwa kamera pengawas di konsulat tidak berfungsi pada 2 Oktober 2018. “Jika memang tidak berfungsi, jelas tidak bisa berkesimpulan bahwa Khashoggi memang berada di kantor konsulat,” terangnya.

Sepuluh hari berlalu, pada 12 Oktober 2018, delegasi Arab Saudi datang ke Turki untuk membicarakan hilangnya Khashoggi yang belum juga menemui titik terang. Keesokannya, Menteri Dalam Negeri Arab Saudi menyebut pelaku pembunuhan Khashoggi yang dialamatkan kepada pihaknya sebagai dugaan tidak berdasar dan suatu kebohongan.

“Baru pada Senin, 15 Oktober 2018, petugas Forensik Turki memasuki gedung konsulat yang menjadi tempat terakhir keberadaan Khashoggi. Yang aneh, mengapa Amerika Serikat mulai terlibat di hari itu juga. Ada apa antara Turki dan Amerika Serikat,” tanya Najib.

Saat itu pula, 15 Oktober 2018, Presiden Amerika Serikat Donald Trump, langsung mengirim Menteri Luar Negeri, Mike Pompeo ke Arab Saudi untuk mendiskusikan permasalahan tersebut.

Tepat dua minggu hilangnya Khashoggi, pada Selasa, 16 Oktober 2018, Menlu AS Mike Pompeo bertemu dengan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman di Riyadh, untuk membahas hal tersebut.

Tak hanya Amerika Serikat yang masuk dalam kasus tersebut. Satu hari setelahnya, giliran Pompeo bertemu dengan Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusogli untuk membahas masalah yang sama.

“Kasus itu mulai melebar dan semakin keras tudukan pada Arab Saudi, walau fakta dugaan Khashoggi dibunuh belum jelas,” terang Najib.

Kemudian, pada 18 Oktober 2018, para menteri dari Inggris, Perancis, dan Belanda, dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin keluar dari konverensi penanaman modal besar yang diselenggarakan di Arab Saudi.

Situasi demikian, dengan banyak negara yang serentak menghujat Arab Saudi, dari kajian John Caine Center (JCC), terlihat semakin jelas ada konspirasi global dalam kasus Khashoggi.

“Karena banyak negara yang mengecam Arab Saudi, tidak berdasarkan temuan fakta dan hingga kini jasad atau jenazah Khashoggi belum juga ditemukan,” katanya.

Pihak John Caine Center (JCC) mengaku sangat setuju pihak kerajaan Arab Saudi mengambil langkah untuk mengadili kasus Khashoggi di Arab Saudi. “Namun, terlebih dahulu, harus ditemukan dimana jasad korban," katanya.

Pihak Kerajaan Arab Saudi diharapkan segera bertindak untuk menemukan dimana jasad jurnalis Arab Saudi, Jamal Khashoggi. “Setelah ditemukan baru ada proses pengadilan untuk para pelakunya,” jelasnya.

Pengadilan akan dilakukan di Arab Saudi itu katanya, jika memang terbukti, terbunuhnya Khashoggi di dalam kantor Konsulat Jenderal Arab Saudi di Istanbul.

“Sebelum menyikapi soal proses pengadilan kasus tersebut, Araba Saudi harus menemukan jasad korban dulu,” harapnya.

John Caine Center (JCC) menilai dalam kasus Khashoggi ada konspirasi global, karena terlihat hebusan isu di banyak media terkemuka di dunia, menyudutkan Arab Saudi sebagai pelakunya. Padahal belum jelas kasusnya dan jasadnya belum ditemukan. Fakta-faktanya masih lemah.

Kerajaan Arab Saudi nilai Najib, adalah negara yang kaya dengan dilengkapi fasilitas canggih. Untuk menemukan jasad dan menangani kasus seperti itu, terlihat sangat mudah. Namun, jika kasus Khashoggi bagian dari konspirasi globar, akan menjadi rumit persoalannya.

"Saya berharap, banyak negara bijaksana dalam menyikapi kasus ini. Profesional dalam mengusut tuntas kasus Jamal Khashoggi ini. Jangan hanya mengeluarkan teriakan sumbang yang tak bernilai. Semoga, kajian dari John Caine Center (JCC) ini menjadi energi kebijaksaan banyak negara dan tidak main menyudutkan kerajaan Arab Saudi. Jangan sampai kasus ini menjadi bahan kepentingan konspirasi global,” katanya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES