Kopi TIMES

Hukum Membakar Bendera Tauhid Menurut Fikih Itu Boleh, Bahkan Bisa Wajib

Selasa, 23 Oktober 2018 - 18:31 | 289.14k
Abdul Adzim Irsyad (FOTO: Dok. TIMES Indonesia)
Abdul Adzim Irsyad (FOTO: Dok. TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Di sebuah pesantren kecil tampa papan nama, yang dipimpin langsung oleh KH Abu Fadilin, KH Munafin, tepatnya di lereng Gunung Mangar- Sentong Kareang Anyar Jember, terdapat sebuah padepokan kecil. Di situlah saya banyak belajar tentang hakekat hidup yang sesungguhnya. 

KH Abu Fadli, KH Munafin dan Nyai Sarinu sudah wafat semua. Namun, nilai-nilai tasawuf tingkat tinggi tetap diajakan pada generasi berikutnya. Setiap hari raya, dan hari biasanya tamunya ribuan, semua diberi makan. Tidak satu pun yang terlewatnya. Makan sayur asam, sambal kecap, telur dadar dan tempe goreng dan sayur terong. Kadang sayur kelor, dan bayam.

Catatan-Abdul-Adzim-Irsyad.jpg(FOTO: Istimewa)

Saya selalu santap makanan yang disediakan. Enak nan lezat, karena bumbunya ihlas. Konon, wanita yang sedang datang bulan, tidak ikut serta masak.

Salah satu pengetahuan yang saya peroleh dari padepokan itu “ketika belajar agama, seperti Alquran, tidak diperkenankan menulis dengan kapur di papan tulis, khawatir debunya berjatuhan, kemudian diinjak orang, maka berdosalah kepada Allah SWT”. 

Semua santri- dan masyarakat yang mengikutinya, tidak diperkenankan menggunakan tulisan latin, tetapi menggunakan tulisan Arab Pegon. Mereka berkeyakinan, bahwa tulisan Arab itu sumbernya dari Al-Quran dan itulah salah satu cara memulyakan orang Arab. 

Mushalanya sangat kecil. Di sekitarnya ada gubuk bambu tempat para santri ngaji budi pekerti. Bangunan Mushala terkesan kuno, sebagian terbuat dari gedeg (anyaman bambu). 

Pernah suatu ketika, saya menyampaikan kepada Al-Marhum Kyai Munafin;“kenapa tidak dibangun lebih bagus. KH Munafin menjawab singkat “biarkan Musolla itu kecil”. Sambil ketawa beliau berkata; “sekaligus buat tolak kiyamat, karena salah satu tanda-tanda kiyamat itu manusia berlomba-lomba membuat gedung pencakar langit”.

Padahal para pejabat, mulai bupati dan orang-orang kaya datang silih berganti ingin merenovasi. Tetapi, kondisinya tetap tidak berubah. Karena mereka menganggab duit dari pemerintah kurang pas untuk membangun tempat ibadahnya. Siapa-pun yang sholat di Mushalla, akan terasa sunyi dan penuh dengan aura positif.

Dan yang membedakan padepokan ini dengan padepokan yang lain “semua penghuni rumah, dan pengikutnya, tidak memakai kamera, radio, telivisi, telepon, speaker di Musolla”. 

Pernah suatu ketika saya masuk dikamarnya, ternyata tempat tidurnya terbuat dari bambu (galar), bukan kasur empuk. Sementara lantainya masih dari tanah biasa bukan keramik”. 

Semua santrinya, terbiasa sholat awabin, puasa Senin Kamis. Kerjanya lebih pada mengabdi, dari pada ngaji fikih dan hadis. Namun, mereka semua diajari ngaji kitab sulam safinah, dan juga tata cara sholat yang benar, serta ngaji Al-Quran. Sangat sederhana.  

Nah, ketika menyaksikan video terkait dengan Banser membakar bendera Tauhid, teringatlah pada padepokan ini. Bagaimana Kyai Munafin mengajarkan kepada masyarakat dan santri agar memulyakan “huruf Al-Quran dan tauhid”. 

Kekhwatiran mereka terhadap Alquran yang rusak terinjak dan terbuang, akhirnya Al-Quran itu dibakar agar menjadi abu, dan di lletakkan di tempat yang mulia, tidak terjangkau manusia. Apalagi sampai terinjak-injak.

Hari ini, puluhan tulisan, baik artikel maupun meme negative terhadap NU dan Banser tersebar. Bahkan ada yang merespon dengan  membuat “video” kecaman terhadap Banser yang membakar bendera tauhid . Ada juga tulisan “HTI boleh ditolak, bendera Tauhid tetep dibela”. 

Begitulah salah satu judul artikel mengelitik yang ditulis pendukung simpatisan HTI yang telah mati di negeri ini. 

Sejak beredarnya video pembakaran Bendera Tauhid, semua mengecam. Mulai kalangan HT, dan simpatisannya. Wajar saja, karena mereka memulyakan kalimat tauhid dengan menjadikan bendera. Dengan alasan, itulah bendera Rasulullah SAW, walaupun sudah banyak yang membantahnya.

Kejadian ini mengingatkanku para cerita humar tentang seorang muadzin yang adzan pada jam 10 pagi. Saat itu orang kampung ramai-ramai datang ke masjid mengecam sang tindakan Muadzin yang adzan bukan pada waktu sholat. Mereka-pun berkata; “Anda itu gila, adzan pada jam 10 pagi”. Semua geram, membully habis-habisan. 

Sampai suatu ketika sang muadzin berkata kepada mereka; “Yang gila itu aku apa kalian semua?”. Saya ketika subuh adzan, namun yang datang cuma beberapa orang. Kalian di mana? Ketika saya adzan jam 10 pagi, kalian ramai-ramai datang ke masjid, padahal itu bukan waktu sholat”. Mestinya, waktu subuh datang ramai-ramai, bukan sekarang datang ramai-ramai”.

Bendera berlafadzkan “tauhid” digunakan ISIS. Di bawah bendera itulah mereka berlindung, membunuh sesama muslim, memperkosa, mencuri dengan mengatakan; “Mendirikan Khilafah Islamiyah yang kemudian dikenal dengan “Al-Daes singkatan dari “Al-Daulah Islamiyah Irak dan Al-Syam”. Ribuan nyawa hilang karena kekejaman mereka, dengan menggunakan Bendera Tauhid.

Bukan hanya Banser yang membakar, tetapi HT (Hizbut Tahrir) juga pernah menginjak-nginjak bendera raksasa yang dibuatnya sendiri. Namun, tidak satu pun yang protes dengan tindakan tersebut. Padahal, tidak satu pun muslim yang ngaku bertauhid, kecuali men-agungkan bahasa Arab, khusunya Kalimat Tauhid. Baik dalam tulisan kertas, kayu, topi bendera atau dimanapun.

Seorang tukang parkir, ada yang memakai topi bertuliskan tauhid. Dia ke WC, kencing sembarangan, dengan tetap mengenakan topi berlafadzkan tauhid. Tidak ada yang protes sama sekali. Karena yang memakai itu tukang parkir.

Dalam Islam itu tidak ber-etika.
Atlit Arab Saudi ketika menang, selalu memakai benderanya yang bertuliskan “tauhid”, diletakkan di atas mobil di arak keliling kota. Kadang terinjak-injak, bahkan dibuat busana wanita dibalutkan pada tubuhnya dengan busana serbawa wow. Karena mereka menjadikan Kalimat Tauhid sebagai bendera negara.

 Ada yang protes? Tidak ada. Semua diam seribu bahasa. HT protes? Tidak. Semua simpatisannya juga tidak ada yang protes. Lebih menyedikahkan lagi, bola-pun bertuliskan “Kalimat Tauhid”.

Warga NU dan Kalimat Tauhid

Warga NU-santara setiap malam Jumat, rutin menghidupkan “tauhid di rumah masing-masing”. Baik perorangan maupan kolektif (berjamaah). Tauhid bagi warga NU adalah jimat keramat. Tidak boleh dibuat bendera sembarangan, karena ketika jatuh dan terinjak dosa besar hukumnya. Ketika memakai kaos yang bertuliskan Arab-pun, harus melepasnya saat di dalam kamar mandi.

Sampai-sampai, seorang ulama sufi tidak berani mengajarkan Al-Quran ditulis di kertas dan mengunakan kapur di papan tulis. Khawatir jika debu kapur yang jatuh, kemudian terinjak akan berdoa kepada Allah SWT. 

Begitulah ulama sufi mengajarkan ahlak kepada kalimah toyyibah yang bersumber dari kitab suci Al-Quran dan sunna Rosulullah SAW.
1
Bagi warga NU, biasanya kalimah-kalimah toyyibah dipasang di dinding rumah mereka, dengan harapan rumah itu menjadi berkah dan penuh dengan aura indah. Kalimah tauhid itu bukan digunakan stiker, bendera, karena digunakan untuk tujuan politik belaka. 

Ketika lafad tauhid diletakkan di dinding, menjadikan para malaikat selalu hadir dan betah di dalamnya. Apalagi, setiap malam jumat membaca tahlil, tahmid, istighosah, membuat rumah semakin berkah dengan cahaya Allah SWT.

Bagi warga NU yang pernah nyantri, Lafadz Alqur'an dan asma Allah dan asma Nabi Muhammad SAW hukumnya wajib dimuliakan. Benda apapun yang bertuliskan Alqur'an, asma Allah dan asma Nabi SAW tidak boleh dibawa ke tempat kotor, seperti WC dan lainnya. 

Bahkan jika kedapatan berada di tempat yang tidak layak, seperti jatuh di tanah, maka wajib mengangkatnya dan meletakkan di tempat yang tinggi sekiranya tidak sejajar dengan posisi kaki. Begitulah ajaran ulama sufi yang bersumber dari Kanjeng Nabi Muhamamd SAW.

**

Hukum Membakar Bendera Tauhid

Orang Islam, khususnya kaum santri takut kualat ketika melecehkan kalimat tauhid. Sejak kecil, kaum sarungan ketika melihat lafdul jalalah. Seperti; tauhid, tasbih, basmalah, apapun terkait dengan Alquran, selalu diletakkan di tempat yang lebih tinggi. Di kampung, biasanyan musolla dan masjid-masjid banyak sekali al-Quran rusak, juga iqra atau qirati. 

Kaum santri, tidak berani membuang ke tempat sampah, tetapi justru mem-bakar, agar menjadi abu. Khawati, jika tidak dibakar, terbuang ke tong sampah, atau ter-injak. 

Ulama Syafi'iyah adalah sebagian besar yang di anut muslim Nusantara, merujuk pada pendapat imam Al-Syafii, mereka menghukumi makruh menulis kalimat Al-Qur'an, jika kalimat tauhid dan lainnya pada benda yang sekiranya sulit menjaga kemulian kalimat-kalimat tersebut. 

Misalnya, menulis nama Allah pada bendera, undangan, baju, topi, dan lainnya. Bahkan ulama Malikiyah berpendapat haram karena akan menyebabkan kalimat-kalimat tersebut diremehkan.

Imam  Malik ra, ketika akan membaca satu hadis Rasulullah SAW, mandi bersuci, memakai wewangian dan duduk di bawah, karena meng-agungkan hadis Rasulullah SAW. Lebih-lebih kalimat tauhid dan juga kitab suci Al-Quran.

Di dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Kuwaitiyah diterangkan dengan gamlan ke-makruhan menulis kalimat tauhid pada benda. Seperti; kayu, tembok, topi, bendera.
   
“Ulama Syafi'iyah dan sebagian ulama Hanafiyah berpendapat terhadap kemakruhan mengukir (menulis) dinding dengan Al-Qur'an karena dikhawatirkan jatuh di bawah kaki manusia. Sedangkan ulama Malikiyah berpandangan bahwa haram menulis Al-Qur'an dan nama Allah di atas dinding karena akan menyebabkan nantinya disepelekan.”

Apabila terlanjur ditulis pada benda tersebut, maka para ulama menyarankan dua tindakan untuk menjaga dan memuliakan kalimat-kalimat tersebut. Pertama, kalimat-kalimat tersebut dihapus dengan air atau lainnya. Kedua, benda tersebut dibakar dengan api.

Berdasarkan kesepakatan, dalam acara HSN (Hari Santri Nasional), dilarang membawa bendera apapun. Nah, di sini Banser melihat bendera Tauhid yang menjadi identitas HTI yang terlarang di Indonesia, bahkan di dunia. Jadi, bisa jadi, banser sedang mengamankan “Bendera Tauhid” dengan cara membakarnya, sebagaimana pendapat di atas. Khawatir jatuh dan terinjak, maka “membakar bendera itu berarti menyelamatkannya”.

Simpatisan HTI, akan melihat dengan kacamata kebencian, karena mereka sejak awal memang tidak suka NU dan Pancasila. NU dan segala elemennya mati-matian menjaga NKRI dan Pancasila, sementara HT satu-satunya ormas yang berpendapat bahwa “Pancasila itu Thogut dan NKRI tidak sah”.

Masih dalam pendangan ulama, Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam kitabnya Fathul Mu’in berkata bahwa menghapus dengan air lebih utama dibanding membakarnya. Hal ini jika proses menghapus dengan air tersebut mudah dilakukan dan airnya tidak jatuh ke tanah. Namun jika sulit menghapusnya atau airnya jatuh ke tanah, maka membakarnya lebih utama.

Sementara dalam kitab Tuhfatul Muhtaj disebutkan;
“Membasuh lebih utama dibanding membakarnya. Ini jika mudah dan tidak dikhawatirkan airnya jatuh ke tanah. Jika sebaliknya, maka membakarnya lebih utama, (Bujairimi dengan ibarat Al-Bashri). Syaikh Izzuddin mengatakan, caranya ialah membasuhnya dengan air atau membakarnya dengan api. Sebagian ulama mengatakan, membakarnya lebih utama karena membasuh dengan air akan jatuh ke tanah.”

Walhasil, membakar benda yang bertuliskan kalimat tauhid seperti bendera dan lainnya hukumnya boleh. Bahkan wajib jika bertujuan menjaga kehormatan dan kemulian kalimat tauhid tersebut. Sebaliknya, jika pembakaran itu bertujuan mencela atau benci kepada “Kalilmat Tauhid”, maka bentuk pelecehan terhadap islam. 

Dan, apa yang dilakukan seorang Banser, tentu bukan melecehkan. Karena para Ulama dan Kyai telah mengajarkan bagaimana berakhlak kepada Allah SWT, Rasulullah SAW, sahabat, ulama dan juga durriyah Rasulullah SAW. (*)

Abdul Adzim Irsyad adalah pengajar di Unisma Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES