Kopi TIMES

Filosofi Santri

Senin, 22 Oktober 2018 - 09:12 | 492.08k
Ach Dhofir Zuhry. (Grafis TIMES Indonesia)
Ach Dhofir Zuhry. (Grafis TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Salah satu kekhasan Islam Indonesia yang tidak ada di belahan dunia lain adalah kaum santri, kaum sarungan. Hal ini bukan semata karena tiap tahun lebih dari empat juta anak belajar di Pesantren dan lebih dari enam juta lainnya belajar di Madrasah Diniyah yang rerata menjadi bagian dari Pesantren, tetapi lantaran santri adalah identitas yang akan terus dibawa dan dibela sampai mati.

Santri, pada prinsipnya adalah para sarjana yang bukan “non formal”, tetapi memang sengaja menolak formalitas dan apalagi formalisme menara gading. 

Meraka adalah kaum terpelajar yang sederhana dan bersahaja, rela membaur mengabdi tanpa embel-embel apapun di tengah masyarakat pedesaan dan pedalaman. Sebuah fakta mencengangkan mengingat para sarjana lulusan perguruan tinggi bonafid biasanya enggan pulang kampung dan membangun desa. 

Dalam filsafat Jawa disebutkan bahwa: urip kuwi urup, urip kuwi urap (hidup itu menyala dan bercahaya, hidup itu membaur dan bermasyarakat). Falsafah ini santri banget!

Dari 27.000 desa yang terhampar di seluruh Nusantara, nyaris selalu santri mengambil peranan penting terutama dalam pendidikan agama dan pembentukan karakter, melestarikan kebudayaan dan tradisi, menggeluti sektor pertanian, peternakan, perekonomian mikro, kecil dan menengah, bahkan sektor paling vital, yakni menjaga kerukunan umat beragama dan kedaulatan NKRI. 

Bukankah kebanyakan kaum terpelajar non-santri (terutama para politisi) hanya berwacana, beretorika dan membual ke sana-kemari soal kedaulatan, padahal mereka merampok dan menjual Tanah Airnya sendiri?

Santri tidak perlu diajak bicara perihal wawasan kebangsaan dan kerukunan, mengapa? Karena, ketika wawasan itu baru diseminarkan di perguruan tinggi dan masyarakat perkotaan, kaum santri telah menerapkannya selama berabad-abad. Mau tahu buktinya? Gus Dur adalah produk Pesantren yang paling otentik. 

Kurikulum Pesantren mengalahkan kurikulum universitas tertua di dunia, Al-Azhar. Sebab, begitu Gus Dur hendak kuliah di sana, ternyata semua mata kuliah di fakultas Dirasah Islamiyah sudah diajarkan di Pesantren klasik di Indonesia.

Nah, peryataan lucunya kemudian, kalau kurikulum Pesantren klasik saja sudah setara universitas Al-Azhar, mengapa Negara tidak mau adopsi kurikulum itu?

Soal kerukunan umat beragama dan multikulturalisme? Kaum santri tidak ada yang intoleran dan radikal, karena Pesantren klasik khususnya lebih menomorsatukan moral(tarbiyyah) dari pada sisi intelektual (ta’lim). 

Soal Narkoba dan terorisme? Pesantren malah sejak awal paling anti merusak generasi muda dengan dalih apapun, maka, penyuluhan Narkoba di Pesantren sangat tidak berguna. Soal keamanan dan keutuhan bangsa? Pesantren adalah benteng NKRI yang paling kokoh sejak pra kemerdekaan, masa revolusi bahkan hingga kini dan nanti. 

Soal kemandirian dan survivalitas hidup? Kaum sarungan paling tangguh dan pantang mengeluh. Bahkan, kaum santri nyaris tidak pernah merepotkan Negara dan memang kaum santri dipandang sebelah mata oleh Negara. Yang ada malah Negara selalu merepotkan santri, bahkan sejak perjuangan pra kemerdekaan hingga kini. Meski Negara tak pernah hadir, Santri tetap membela Sabang-Merauke ini sampai jasad ke liang lahad.

Tanpa Negara dan kemanusiaan memanggil pun, kaum sarungan telah terpanggil dan bahu-membahu merebut kemerdekaan dengan keringat, darah, air mata dan doa. Tidak ada yang lebih berani menyabung nyawa melawan kekejaman penjajah selain santri. 

Bahkan, setelah kemerdekaan, khususnya ketika Orde Baru mempersempit ruang gerak santri dan Pesantren, setelah penguasa melakukan kanalisasi untuk memperkecil peranan santri, mereka tetap bertahan dengan prisnip dan falsafah hidup mereka. Apa itu?

Santri—adaptasi dari tradisi cantrik Hindu“shastri” dalam bahasa Sansekerta adalah orang yang mempelajari Shastra (Kitab Suci) di pe-shastri-an atau Pesantren—adalah gabungan dari huruf Arab Sin, Nun, Ta’, Ra’ dan Ya’. Apakah makna-makna di balik huruf-huruf keramat itu?

Sin artinya Salik ilal-Akhirah (menempuh jalan spiritual menuju akhirat). Santri meyakini bahwa sejarah manusia bukan di bumi, kerajaan manusia bukan di dunia, tapi di akhirat. Sehingga, apapun yang ditempuh dan diperjuangkan santri, semata demi kebahagian dan kejayaan di akhirat kelak. 

Tidak penting popularitas dan menjadi pusat perhatian di bumi, yang penting di langit punya bendera. Oleh karena itu, santri lebih memilih jalan sunyi dari pada publisitas. 

Maka, filosofi pertama dari kaum sarungan adalah jelas orientasi hidupnya, tidak zigzag dan miring. Bukankah penyakit dan petaka manusia modern adalah menjalani hidup yang tak jelas tujuan dan orientasinya?

Nun maknanya Na-ib ‘anil-Masyayikh (penerus para guru). Filosofi yang kedua adalah kaderisasi yang dilakukan oleh para Kiai agar santri mereka kelak menjadi penerus estafet perjuangan para guru dan leluhur. Tidak ada yang mengungguli pada santri dalam mengagungkan dan memuliakan guru. Bahkan, sayyidina Ali bin Abi Thalib ra berujar, “aku adalah budak bagi guru yang mengajarkan ilmu, meski satu huruf.” 

Inilah mengapa ikatan emosional para santri dengan Kiai dan guru-guru mereka sangat mengakar dan mengkristal hingga jasad berkalang tanah. Biasanya, santri belum boleh pulang dari Pesantren sebelum mumpuni ilmu, etos, dan karakternya agar kelak bisa menggantikan sang Kiai.

Ta’ maksudnya adalah Tarik ‘anil-Ma’ashi(meninggalkan maksiat). Dengan demikan, filosofi yang ketiga kaum santri adalah selalu bertobat melakukan penyucian rohani dengan cara menjalani hidup sederhana dan menjauhi dosa-dosa. Dosa-dosa apa sajakah yang dijauhi oleh santri? (1) Dosa intelektual, yakni kebodohan dan atau memperjualbelikan ilmu dan agama; (2) Dosa sosial, dalam arti tidak peduli dan peka pada lingkungan, baik dengan cara mendidik dan terlibat dalam perjuangan masyarakat kecil. 

Maksiat jenis ini sangat dijauhi oleh santri karena santri memang rakyat, jadi, istilah “merakyat” seharusnya diperuntukkan bagi pejabat yang lupa darat; dan (3) Dosa spiritual, dosa karena tidak menjalani hidup asketik (zuhud), sederhana dan bersahaja, menjauhi gemerlap, pukau, pesona dan tipu daya, terutama ancaman dari dunia politik yang kerap membuat sebagian oknum Kiai dan santri tergiur.

Ra’ akronim dari Raghib ilal-Khayr (selalu menghasrati kebaikan). Filosofi yang keempat ini kian mempertegas posisi santri sebagai pribadi yang lebih menomorsatukan kebaikan dari pada keburukan, kesenjangan, perselisihan dan negativitas. Menyampaikan kebenaran itu penting, tapi jangan abaikan aspek dan cara-cara yang baik dan santun. 

Lazimnya, orang bukan tidak menerima kebenaran, tatapi lebih karena kebenaran itu dibungkus dengan tidak baik. Jelas bahwa santri dan Pesantren sangat memuliakan dan memanusiakan manusia, mengapa? Karena yang baik dalam pandangan manusia, Tuhan pun melihatnya demikian.

Ya’ adalah singkatan dari Yarjus-Salamah(optimis terhadap keselamatan). Filosofi kelima dari santri adalah selalu optimis menjalani hidup dan mengharap keselamatan di dunia pun lebih-lebih kelak di akhirat. Santri tak sekadar optimis dalam pikiran, tetapi optimisme yang dibarengi dengan tindakan nyata. 

Apa sebab? Teramat banyak kegagalan umat manusia karena bertindak tanpa berpikir dan atau sebaliknya berpikir tanpa bertindak. Nah, mengapa penting menjadi orang yang selamat? Saya kira tak perlu dipaparkan lagi betapa ilmu, jabatan, harta-benda dan popularitas justru mencelakakan manusia. Dan, kabar baiknya, Pesantren telah mewanti-wanti para santri untuk mewaspadai hal ini.

Lima falsafah santri yang mencerminkan diri sebagai pribadi yang memiliki kejelasan oerientasi hidup, menjadi penerus para guru, meninggalkan maksiat, cenderung menghasrati kebaikan, dan senantiasa optimis akan keselamatan dunia-akhirat adalah pedoman hidup kaum sarungan yang akan terus dibawa dan dibela sampai mati. 

Oleh karena itu, meski Anda tidak pernah belajar secara resmi di Pesantren, jika Anda memiliki kelima prinsip tersebut dan sungguh-sungguh Anda yakini-hayati untuk kemudian diterapkan dalam keseharian, maka Anda adalah santri.

Apapun itu, pesantren adalah matahari dalam sistem tata surya kehidupan dan keindonesiaan. Bahwa dalam jagad galaksi kehidupan yang lebih luas ini masih terdapat banyak sekali matahari-matahari yang lain, hal itu tidak membuat matahari bernama Pesantren menjadi redup dan padam. (*)

___
*Penulis adalah ketua STF AL-FARABI dan pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah Kepanjen. Buku terbarunya adalah KONDOM GERGAJI dan PERADABAN SARUNG (Veni, Vidi, Santri)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES