Peristiwa Daerah

Dari Tempat Tongkrongan Pemuda, Kota Batu Terlahir

Rabu, 17 Oktober 2018 - 22:35 | 79.71k
Kopeda, menjadi saksi sejarah betapa kerasnya perjuangan peningkatan status Kota Batu. (Muhammad Dhani Rahman/TIMES Indonesia)
Kopeda, menjadi saksi sejarah betapa kerasnya perjuangan peningkatan status Kota Batu. (Muhammad Dhani Rahman/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, BATU – Dilihat dari bentuknya, bangunan itu tidak ada indahnya, apalagi kalau dibandingkan dengan ribuan bangunan yang ada di Kota Wisata Batu.

Bahkan bisa dikatakan bangunan yang menjadi aset Pemerintah Daerah tersebut tidak terurus. Selain kotor, terlihat lumut menempel di sana sini.

Padahal bangunan yang berada di Kompleks Gedung Olahraga (GOR) Ganesha ini sebenarnya adalah bangunan penting bagi Kota Batu. Siapa sangka dari ruangan ini, dahulu menjadi tempat pergerakan para pemuda dan tokoh masyarakat Kota Batu.

Ya, dulu di ruangan kantor Koperasi Pemuda yang berukuran 4 x 3 meter (Kopeda) yang kini digunakan untuk berjualan jamu dan bakso ini, merupakan tempat dimana buah pikir dan semangat masyarakat Kota Batu meningkatkan status Kota Batu mulai digelorakan.

Ditempat ini sejumlah tokoh pemuda, seperti Andrek Prana, Sumiantoro, Zainul Arifin yang akrab dipanggil Jinung, Husni Rofiq, Yani Handoko, Imam Basuki, Slamet Henkus serta sejumlah pemuda lain menggalang semangat warga untuk meningkat status.

Dari ruangan yang dahulu merupakan Wartel (Warung Telekomunikasi) para tokoh pemuda ini menggalang komunikasi dengan sejumlah tokoh pegawai negeri seperti Khamim Utomo, Edi Murtono, Sentot bahkan dengan almarhum H Imam Kabul, mantan Wali Kota Batu untuk memperjuangkan peningkatan status Kota Batu.

Ditempat ini pula Andrek Prana yang kalem namun tegas, Jinung yang bersuara lantang dan Slamet Henkus seniman yang berpikiran kritis setiap hari menjalin komunikasi dengan insan jurnalis yang jumlahnya saat itu bisa dihitung dengan jari.

Termasuk membangun isu untuk mendorong semangat warga Kota Batu atau sekadar melakukan counter attack atas pernyataan kontra peningkatan status Kota Batu yang dilancarkan pemangku kepentingan di Pemkab Malang, DPRD Kabupaten Malang hingga masyarakat Kota Batu sendiri yang kontra dengan peningkatan status Kota Batu dilakukan di ruangan ini.

Bahkan di ruangan yang letaknya berada tepat di samping tangga naik ke Ganesha inilah, tercetus rencana ikrar masyarakat Kota Batu untuk mendukung peningkatan status dengan melakukan long march dari Alun-Alun Kota Batu menuju ke Kantor Wali Kotatif Batu yang saat ini sudah berubah menjadi Rumah Dinas Wali Kota Batu.

Di dalam ruangan inilah, ide-ide brilian, gelora semangat masyarakat Batu muncul hingga akhirnya Kotatif Batu yang saat itu masih menjadi bagian dari Pemkab Malang akhirnya menjadi Kota mandiri.

“Mosok se mas (masak sih)?,” seorang PKL balik bertanya ketika ditanya perihal riwayat gedung itu. Memang tidak banyak yang tahu, kalau gedung ini adalah gedung penting bagi berdirinya Kota Batu pada 17 Oktober 2001.

Andrek Prana membenarkan bahwa gedung ini cukup berarti bagi berdirinya Kota Batu. “Iya, dulu di situ sekretariat Pokja Peningkatan Status Kota Batu, ada di ruangan ini,” ujarnya.

Selain di Kopeda ini, pertemuan pemuda dan tokoh masyarakat dilakukan di Sekretariat Bankom Orari, kadang di rumah Andrek di Kauman, Sisie dan di Cafe Pantara (sudah tidak ada-red) depan Balai Kota Among Tani, Jalan PB Sudirman.

Tempat ini memang menjadi tempat favorit para pemuda jagongan, karena letaknya strategis berada di dekat Alun-Alun Batu.

Ia berharap kenaikan status ini ditindaklanjuti oleh Pemkot Batu dan DPRD dengan selalu merespon aspirasi masyarakat.  Majunya industri pariwisata yang dikelola usaha besar, harus memiliki dampak terhadap lingkungan. Begitu juga pelayanan kepada masyarakat, harus cepat, murah dan tranparans.

Ditempat terpisah, Santoso Wardoyo, Kepala Bidang Operasional, Kepala Dinas Penanggulangan Kebakaran Kota Batu yang pernah melakukan penelitian tentang peningkatan status kota Batu mengatakan, bahwa butuh perjuangan panjang untuk warga Batu meningkatkan status kota ini.

“Butuh waktu lama untuk warga Kota Batu, dari dokumen surat yang ada, perjuangan meningkatkan status ini mulai tahun 1994 dan baru gol tahun 2001,” ujar alumnus Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri ini

Ia membenarkan bahwa upaya ini tidak mudah, karena saat itu penolakan juga sangat keras, tidak hanya dari Pemkab Malang, namun juga dari kalangan warga Kota Batu sendiri meski jumlahnya minoritas.

“Kehilangan Batu, sama halnya dengan Pemkab Malang kehilangan seperempat pendapatan asli daerah,” ujar Santoso.

Namun semua tantangan itu akhirnya bisa dilewati karena kebersamaan. Terlebih saat itu UU Nomor 22 tahun 1999 membuat Kotatif Batu dihadapkan pada dua pilihan, pertama naik status menjadi kota atau kembali menjadi kecamatan.

“Waktu itu ada dua kota yakni Jember dan Batu, karena Jember masyarakatnya kurang mendukung, akhirnya hanya Kota Batu yang naik. Status,” ujar Santoso.

Ada 12 indikator persyaratan menjadi kota, saat itu Kotatif Batu sudah mendapatkan 7 indikator, salah satunya adalah dukungan masyarakat.

“Karena warga Batu tidak mau mengurus surat-surat terlampau jauh sampai ke pusat kota Kabupaten Malang yang sudah berpindah ke Kepanjen. Ditambah lagi kekecewaan warga Batu karena Batu batal menjadi pusat kota,” ujarnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani
Sumber : TIMES Batu

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES