Kopi TIMES

Hari Santri dan Kebangkitan Literasi Santri

Rabu, 17 Oktober 2018 - 10:50 | 94.03k
(Grafis: TIMES Indonesia)
(Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, SURABAYADATA dari Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) melaporkan pengguna internet di Indonesia didominasi oleh generasi milenial 19-34 tahun yaitu 49,52% daripada generasi yang lain (13-18 tahun 16,68%, 35-54 tahun 29,55%, >54 tahun 4,24%) dan rata-rata mereka menggunakan internet lebih dari 7 jam/hari, layanan yang diakses menunjukkan aplikasi chatting (89,35%), kemudian media sosial (87,13%), dan media social yang paling favorit adalah Facebook sebesar 71,6 juta (54%), Instagram 19,9 juta (15%), dan YouTube 14,5 juta (11%).

Generasi milenial menggunakan internet untuk semua kebutuhannya mulai dari bidang ekonomi, layanan publik, bidang edukasi, kesehatan, social, politik, sampai dengan gaya hidup, termasuk dalam hal belajar agama, mereka lebih nyaman belajar apa pun melalui internet (termasuk media sosial) daripada belajar secara langsung melalui guru, ustaz, ataupun Kiai.

Dari fenomena di atas, sudah saatnya Kiai, Nyai, Gus, Ning, dan seluruh santri mewarnai dunia maya, semantara sampai saat ini hanya NU Online yang berada di 10 top website keagamaan, disusul oleh Islami.co dan Dutaislam.com, sementara yang lain masih dikuasai oleh situs web radikal penebar kebencian.

Hari Santri Momentum Bangkitnya Literasi Santri

Momentum Hari Santri yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo berdasarkan Keppres Nomor 22 Tahun 2015 direspon sangat antusias oleh para santri selama Indonesia merdeka. Baru pada tahun 2015 (70 tahun setelah Indonesia merdeka) santri mendapatkan pengakuan dari negara, tepatnya 22 Oktober dipilih sebagai Hari Santri karena terinspirasi Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 di mana para santri bersama arek-arek Surabaya dan sekitarnya mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dari serangan tentara Sekutu (pemenang Perang Dunia II). Semangat heroisme santri pada waktu itu bisa kita jadikan momentum bangkitnya literasi santri. Jika kakek dan nenek kita dulu berjuang merebut kemerdekaan Republik Indonesia dengan bersimbah darah dalam peperangan, maka saatnya kita juga berjuang bangkit mewarnai media sosial dengan konten-konten keilmuan yang santun dan menyejukkan.

Karakter Santri

Karakter santri menurut Kiai Sahal (2005) ada tiga karakter yang dimiliki santri, yaitu 1) teguh dalam hal akidah dasar dan syariah, 2) toleran dalam hal syariah atau tuntunan social, 3) memiliki dan dapat menerima sudut pandang yang beragam terhadap sesuatu permasalahan social, dan 4) menjaga dan mengedepankan moralitas sebagai panduan sikap dan perilaku keseharian. Hamid (2017) dalam risetnya menemukan nilai-nilai karakter santri. Pertama, nilai dasar berupa tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleransi), dan i’tidal (adil). Kedua, nilai personal berupa keimanan, ketakwaan, kemampuan baik, disiplin, kepatuhan, kemandirian, cinta ilmu, dan menutup aurat. Ketiga, nilai sosial berupa kemampuan baik dalam kinerja, sopan santun, menghormati guru, memuliakan kitab, menyayangi teman, uswah hasanah, tawadzu’, doa guru, berkah, dan pisah antara laki-laki dan perempuan.

Santri mulai kecil sudah terbiasa dikelilingi oleh literasi-literasi, mempelajari agama step by step, sudah diakui otoritas keilmuan dan ketersambungan sanad keagamaan dari gurunya sampai Rasulullah, selain itu santri sangat percaya tentang konsep barokah dan tawadzu’, kedua istilah tersebut adalah khas ala santri, namun pada zaman disrupsi (semrawut) seperti sekarang ini banyak orang yang tidak mempunyai otoritas keilmuan (termasuk dalam agama) dengan percaya diri mendadak menjadi ahli agama dan mulai tampil di muka umum, di media dan di tempat-tempat lainnya. Diakui atau tidak ini karena santri masih memegang tawadzu’. Menurut saya, kita perlu memaknai ulang makna tawadzu’ agara santri tidak terkesan malu tampil di wilayah publik. Boleh kita tawadzu’ jika di tempat dan dengan orang-orang tertentu saja. Sehingga di tempat-tempat umum sudah saatnya para santri tampil dan meramaikan media-media baik cetak, elektronik, maupun online.

Strategi Bangkitkan Literasi Santri

Dalam menuju sebuah cita-cita, sangat perlu dalam membagi siapa berbuat apa, seperti halnya dalam permainan sepakbola, ada yang menjadi penyerang, gelandang, bek, dan kiper, demikin pula dalam membangkitkan literasi santri ada yang menjadi penyerang, pengatur serangan, dan penjaga gawang.

Penyerang di sini adalah tim jihad (silat) yang siap berada di garda depan baik dalam menyebar informasi maupun head to head dengan orang-orang radikal. Pasukan ini siap terkenal dan selalu siap kapan saja di mana saja untuk menjadi penyerang. Selanjutnya tim ijtihad (selo) yang bertugas memproduksi konten (video, audio, meme) dan bertugas mengatur serangan. Ketiga, tim mujahadah (silem) yang bertugas untuk menjaga gawang agar tidak kebobolan, orang-orang mastur yang selalu siaga bermujahadah, beriyadhoh untuk menjaga rumah agar tidak kemalingan.

Best Practice Literasi Santri

Setiap hari di sosial media kita (Facebook, Twitter, Whatsapp, Instagram, YouTube, dan lain-lain) selalu dibanjiri oleh jutaan informasi yang tidak jelas sumbernya, bahkan tak jarang informasi yang bersifat provikatif dan bisa mengakibatkan permusuhan, dan juga tersebar informasi dan gambar-gambar hoaks yang pada ujungnya meminta bantuan dana. Susah sekali membedakan informasi yang mempunyai arti berita, fakta, prasangka (dzan), dan gosip, bercampur aduk menjadi satu.

Biasanya kita tanpa sadar jika kita sependapat dengan informasi tersebut kita juga ikut membagikan (share) di masing-masing media sosial kita, kita sangat malas untuk tabayyun (cek dan ricek) tentang kebenaran informasi tersebut, siapakah penulisnya? Sebuah fakta atau prasangka bahkan bisa-bisa ujung-ujungnya bisa ghibah bahkan fitnah.

Media sosial masing-masing mempunyai segmentasi yang berbeda contoh Instagram untuk para remaja perkotaan, Twitter untuk kelas menengah, dan Facebook untuk semua kalangan. Yang menarik YouTube di Amerika sudah menjadi media sosial paling favorit, dan sekarang di Indonesia, You Tube sudah mulai menjadi salah satu media sosial favorit juga, di sana disediakan semua channel yang berhubungan dengan semua kebutuhan kita. Sudah saatnya kita ikut meramaikan dan membuat konten-konten keagamaan dan kebangsaan yang mendamaikan.

Asosiasi pesantren NU (RMI PBNU) sudah dua tahun memulai membuat channel untuk mengisi ruang kosong itu dengan nama Media RMI-Nahdlatul Ulama dan Dunia Santri. Ayo kita like dan subscribe agar kita mengetahui jika ada video-video terbaru. Di sana kita memproduksi konten video pendek 1-2 menit tentang kegamaan dan kebangsaan oleh para gawagis dan nawaning.

Dalam media sosial RMI NU sudah melakukan launching Gerakan Nasional AyoMondok, yang bisa diikuti via Twitter @ayomondok, Facebook @AyoMondok, Instagram @gerakannasionalayomondok, dan aplikasi Ayo Mondok terintegrasi dengan situs web hadir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang mencari pesantren (otoritatif keilmuan dan mendamaikan) untuk anaknya tercinta.

Sudah saatnya kita hadir untuk meramaikan media sosial dengan tulisan, meme, video yang mendamaikan, kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi? Wallahu a’lam bishawab.

Abdulloh Hamid, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Kandidat Doktor Teknologi Pembelajaran UM, dan Divisi Media dan Informasi RMI PBNU

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES