Kopi TIMES

Politik Minus Moralitas

Sabtu, 13 Oktober 2018 - 10:37 | 79.13k
(Grafis: Dena/TIMES Indonesia)
(Grafis: Dena/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTAPERKEMBANGAN demokrasi kita hari ini masih menampakkan sisi lain kehidupan kebangsaan yang buram. Maraknya praktik korupsi di kalangan elite dan retorika politik yang banal, termasuk masifnya lalu lintas berita hoaks, di tengah masyarakat seolah menjadi bagian yang tak bisa dipisahkan dari politik elektoral kita.

Harus diakui bahwa persoalan-persoalan tersebut sulit dieliminasi terutama karena para aktor politik membutuhkan dukungan yang besar pada saat berkontestasi. Mobilisasi dukungan yang dilakukan secara instan membutuhkan biaya yang terkadang tak masuk akal. Sudah menjadi rahasia umum bahwa komponen terbesar dari biaya operasional kontestan adalah money politics, sehingga bagi yang memiliki niat dan kesempatan, korupsi dianggap sebagai jalan keluar.

Sementara para pendukung kontestan yang tidak menyadari bahwa kontestasi dalam demokrasi sebenarnya tak lebih dari upaya untuk menjaring figur terbaik menganggap kompetitor sebagai musuh yang harus dihujat dan difitnah. Itulah mengapa, dalam beberapa tahun terakhir ini, hampir tak ada ruang publik yang steril dari kata-kata bernada hasutan atau ujaran kebencian dengan bumbu berita palsu, baik di dunia maya maupun di dunia nyata.

Sisi buram praktik demokrasi tersebut bukan saja menjadi cacat yang menodai wajah politik kita, tetapi lebih celaka lagi, menjadi hambatan bagi bangsa dan negara ini untuk bergerak maju beberapa langkah. Inilah anomali yang, meskipun bukan satu-satunya, menyebabkan kesejahteraan dan kemakmuran selalu saja menjadi cita-cita yang sulit diwujudkan dan persatuan senantiasa berada dalam bayang-bayang perpecahan.

Watak Asli Politik

Anomali dalam sebuah sistem politik menunjukkan tidak adanya sandaran nilai yang bisa dipegangi bersama-sama dalam suatu masyarakat bernegara. Sekiranya nilai itu pun diyakini masih ada pastilah sudah mengalami pengeroposan, sehingga tidak efektif lagi menghalau benturan-benturan. Dalam kondisi demikian, siapapun merasa bebas mengumbar syahwat politiknya.

Politik, sebagai seni meraih kekuasaan, sebenarnya telah lama ditengarai memiliki watak “buas”. Jauh sebelum Thomas Hobbes (1588-1679) mengingatkan hal itu, bangsa Yunani Kuno telah menyadarinya, sehingga sejak tahun 594 SM mereka menerapkan aturan main yang disebut demokrasi. Dalam sistem demokrasi, figur kuat dan cerdas saja tidak cukup untuk menjadi pemimpin sebelum ia mendapat legitimasi dari rakyat.

Demokrasi murni yang dikembangkan bangsa Yunani hingga periode Klasik itu pun sebenarnya bukan tanpa masalah. Socrates (469-399 SM), filsuf berpengaruh di Negara-Kota Athena, mengkritik keras demokrasi yang dipandangnya hanya bermanfaat bagi para politisi yang pandai menghasut untuk memperoleh kekuasaan.

Pelajaran penting yang bisa dipetik dari kritik Socrates itu adalah bahwa politik, sekalipun dibungkus dengan sistem demokrasi, terkadang tak bisa menyembunyikan watak aslinya. Karena itu, Arietoteles (384-322 SM), filsuf penerus pemikiran Socrates yang menaruh perhatian pada politik, mengajarkan etika sebagai bagian tak terpisahkan dari politik. Dengan berpegang pada prinsip-prinsip etika, seorang insan politik diharapkan mampu menjinakkan watak “buas”-nya dari dalam, sehingga dapat mencapai kebahagiaan dengan martabat pribadi yang tinggi.

Pseudo Moral

Apa yang terjadi di negeri ini, saat ini, sebenarnya adalah pudarnya nilai moral dalam kehidupan politik. Sistem politik yang berjalan tidak sepenuhnya beriringan dengan sistem etika. Walhasil, keluhuran martabat bukan lagi sesuatu yang harus selalu diinsafi. Bahkan, apa yang dipahami sebagai perjuangan politik terkadang hanyalah aktivitas dalam dunia politik untuk memenuhi hasrat kepuasan – antara lain puas kalau berhasil memanipulasi, puas kalau sudah mencaci.

Masifnya penyimpangan perilaku politik semacam itu kemudian menimbulkan efek spiral dalam masyarakat, di mana sang pelaku tidak akan merasa waswas karena apa yang dilakukannya hanya merupakan pantulan dari apa yang dilakukan orang lain. Jadi, ada justifikasi yang keliru dalam kesadaran pelaku. Seolah-olah melakukan korupsi bukan masalah bagi orang yang pernah dirugikan oleh praktik korupsi orang lain; menghujat adalah keniscayaan bagi pihak yang pernah merasakan sakitnya dihujat pihak lain; fitnah dibalas dibalas dengan fitnah dianggap suatu manifestasi keadilan.

Tak sedikit pula yang berdalih bahwa korupsi, ujaran kebencian, dan penyebaran berita hoaks itu justru dilakukan dengan tujuan mulia. Misalnya, mereka melakukan korupsi bukan untuk kepentingan pribadi; atau caci-maki dan fitnah yang mereka lakukan semata-mata untuk membela kebenaran. Seakan-akan ada alasan pembenar bagi perilaku politik yang menyimpang.

Argumen pseudo moral semacam itu memang bisa membuat pelaku merasa nyaman. Padahal, ukuran nilai moralnya jelas: jika pelaku tidak suka hak-haknya diserobot orang lain, atau jika pelaku tidak suka nama baiknya dicemarkan orang lain, berarti perbuatan-perbuatan semacam itu bertentangan dengan norma moral. Begitulah panduan etika timbal balik (golden rule) yang diperkenalkan Immanuel Kant (1724-1804).

Butuh Etos Baru

Moralitas dalam politik dibutuhkan karena ia bisa menjadi elan bagi terciptanya keadilan. Di sinilah campur tangan negara sangat dibutuhkan. Filsuf etika politik kontemporer, Emmanuel Levinas (1906-1995), menekankan pentingnya peran negara dalam dua hal, yaitu untuk menjamin perlakuan adil bagi semua orang dan untuk mencegah terjadinya kekerasan pada orang-orang lain (others) dalam komunitas politik. Karena itu, negara dibenarkan untuk menerapkan sistem politik tertentu serta melakukan tindakan koersif seperlunya untuk menjamin tegaknya keadilan dan mengeliminasi kekerasan.

Dalam konteks persoalan politik yang kita hadapi saat ini, sebenarnya tak ada yang salah dengan sistem politik yang kita pilih. Sistem politik elektoral yang kita bangun sudah dilengkapi dengan instrumen peraturan perundang-undangan yang kompatibel sebagai katup pengamannya. Yang menjadi persoalan, ketika telah begitu banyak orang dikirim ke penjara karena kasus korupsi, kekerasan retorik, dan penyebaran berita bohong, namun di saat yang sama kasus-kasus serupa terus mengalami reproduksi.

Persoalan ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa penegakan hukum kurang penting. Penegakan hukum selalu penting tetapi posisinya lebih sebagai palang pintu untuk mengamankan sistem yang sedang berjalan. Artinya, untuk menuju kehidupan politik yang sesuai dengan idealitas sistem yang kita bangun, masih ada lubang puzzle yang perlu diisi, yaitu etos.

Etos sebagai penyempurna sistem baru mengandaikan terjadinya habituasi. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana etos itu ditumbuhkan.

Mengharapkan munculnya etos baru dengan mengandalkan penegakan hukum yang keras bisa terjebak pada pertaruhan. Sebab, jikapun sekenario itu berhasil, tidak menutup kemungkinan produknya berbentuk masyarakat yang patuh tapi tidak kreatif, memiliki standar etika tapi tumpul estetika.

Satu-satunya instrumen yang bisa diharapkan kontribusinya hingga saat ini adalah pendidikan. Etos baru bisa dibangun melalui pendidikan yang menekankan pada pentingnya pembentukan karakter anak bangsa. Karena itu, orientasi pendidikan jangan sampai hanya terpaku pada kecerdasan kognitif, apalagi jika fokus utamanya ilmu-ilmu pasti. Kecerdasan afektif juga harus diberi porsi yang seimbang, bahkan kalau perlu lebih dikedepaankan. Dunia pendidikan perlu disadarkan bahwa hanya melalui sentuhan afeksilah etos bisa dibangun.

Tetapi, menggantungkan harapan pada dunia pendidikan tentu saja merupakan sekenario jangka panjang. Persoalan yang kita hadapi saat ini justru membutuhkan sekenario jangka pendek. Perlu ada pihak yang berani mengambil inisiatif untuk memulai langkah cepat guna menumbuhkan etos baru yang sinergis dengan sistem politik yang kita bangun.

Sejatinya, harapan tumbuhnya etos baru sudah sempat muncul ketika Presiden Joko Widodo mencanangkan gerakan revolusi mental beberapa waktu lalu. Harapan ini dipertebal lagi dengan gagasan revitalisasi moral Pancasila melalui pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Hanya saja, hingga saat ini, dua kebijakan Presiden itu belum menunjukkan pengaruh yang signifikan dalam kehidupan nyata. (*)

 

*) Rafiuddin D Soaedy, Kolumnis, Tinggal di Jakarta

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES