Peristiwa Daerah

Pakar Nilai Pencabutan Status Tiga Jenis Burung dari Daftar Dilindungi Terburu-buru

Jumat, 12 Oktober 2018 - 19:36 | 33.19k
Pakar konservasi satwa liar dari UGM, Dr Muhammad Ali Imron. (FOTO: A Riyadi/TIMES Indonesia)
Pakar konservasi satwa liar dari UGM, Dr Muhammad Ali Imron. (FOTO: A Riyadi/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Langkah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen LHK RI) mencabut status tiga jenis burung dari daftar satwa dilindungi, mengundang keprihatinan masyarakat peduli satwa liar. Tiga jenis burung tersebut adalah Cucak Rawa (Pycnonotus zeylanicus), Murai Batu (Copsychus malabaricus), dan Jalak Suren (Sturnus contra).

Pencabutan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. 92 Tahun 2018 Perubahan Atas Peraturan Menteri LHK No. 20 Tahun 2018. 

“Pencabutan perlindungan atas tiga jenis burung tersebut tentu akan berdampak pada konservasi satwa liar di tanah air. Padahal untuk memperjuangkan perlindungan atas tiga burung tersebut buth waktu 20 tahun,” kata Dr Muhammad Ali Imron, pakar konservasi satwa liar dari UGM di kantornya, Jumat (12/10/2018).

Menurut Imron, pemerintah terlalu terburu-buru mengeluarkan kebijakan pencabutan terhadap tiga jenis burung dari daftar satwa yang dilindungi karena desakan kelompok masyarakat yang menjalankan bisnis perdagangan burung serta penghobi burung kicau. 

Ia menilai, penetapan kebijakan baru ini tidak dilakukan dengan dasar perimbangan yang seimbang. Untuk melakukan revisi kebijakan seharusnya dibuat berdasarkan kajian ilmiah, bukan karena faktor lainnya.

“Dalam konservasi pemerintah semestinya membuat kebijakan berdasarkan kajian ilmiah, tetapi yang terjadi condong berat ke arah bisnis” kritik Imron, pegiat satwa liar.

Imron mengusulkan pemerintah mengadopsi sistem IUCN Red List atau daftar merah dari International Union for the Conservation of The Nature serta Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) dalam penetapan daftar spesies yang dilindungi.

“Seharusnya ada sistem yang bisa dengan mengadopsi sistem IUCN dan CITES. Jika keduanya digabung bisa mengakomodir kepentingan perlindungan dan juga pemanfaatan yang lestari dengan  mempertimbangkan populasi di alam, di penangkaran dan juga di perdagangan, bukan seperti saat ini yang agak berat sebelah,” beber Imron. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ferry Agusta Satrio
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan
Sumber : TIMES Yogyakarta

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES