Peristiwa Nasional Gempa Donggala dan Palu

Lima Jurnalis TV Peliput Gempa dan Tsunami di Sulteng Terima Penghargaan

Jumat, 12 Oktober 2018 - 14:57 | 53.08k
Gempa Donggala dan Palu Sulteng (FOTO: Twitter/@bagjasatiya)
Gempa Donggala dan Palu Sulteng (FOTO: Twitter/@bagjasatiya)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Lima jurnalis televisi di Palu, Sulawesi Tengah, yang meliput peristiwa gempa dan tsunami mendapat penghargaan atas dedikasi dan kemanusiaannya. Penghargaan diberikan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) setelah mencermati dan mempelajari kisahnya.

Kelima jurnalis TV tersebut adalah Abdy Mary (TV One), Ody Rahman (NET), Rolis Muhlis (Kompas TV), Ary Al-Abassy (TVRI), dan Jemmy Hendrik (Radar TV).

piagampenghargaanijti3.jpg(FOTO: Istimewa)

Saat itu, Jumat (28/9/2018) sekitar pukul 15.00 WITA, kelima jurnalis itu turun dari Kota Palu menuju Kecamatan Sirenja, Donggala. Mereka akan meliput dampak gempa 5,9 SR yang terjadi satu jam sebelumnya. Kabarnya, ada korban meninggal akibat tertimpa bangunan yang ambruk.

Jarak dari Palu ke Sirenja di Pantai Barat biasanya dua jam perjalanan menyusuri sisi utara teluk. Mereka bermobil dengan kapasitas tempat duduk tujuh penumpang. 

Satu jam perjalanan, dekat Pelabuhan Pantoloan menjelang perbatasan Palu-Donggala, pemandangan laut terlihat indah seperti biasanya. Namun, tiba-tiba, mereka merasakan gempa yang sangat kuat. 

"Saya langsung tarik rem tangan, mobil berhenti di tengah jalan. Kami lihat hampir semua pengendara motor di sekitar kami berjatuhan," tutur Ody yang mengemudikan mobil.

Mereka langsung turun dan merekam semua peristiwa dengan telepon genggam masing-masing. Ada yang sambil menolong orang-orang yang terjatuh. 

Tiba-tiba terjadi lagi gempa. Ketika mereka melihat ke laut, tampak gelombang tinggi bergerak cepat ke arah mereka. Mereka terpana. Jemmy Hendrik berteriak, "Itu tsunami!"

Teriakan Jemmy menyadarkan mereka dan semua orang yang mendengar. Ada bahaya besar di depan mata. Orang-orang panik, berteriak-teriak. Mereka pun ikut berteriak sekeras-kerasnya memperingatkan semua orang. 

"Lari, lari, tsunami, tsunami..! Kami langsung masuk mobil dan putar balik," cerita Abdy. 

Dia menuturkan, banyak melihat orang yang berlari ke sana ke mari. "Kami buka pintu dan menarik beberapa masuk. Sampai tak ada lagi yang bisa masuk. Ibu-ibu, nenek-nenek, anak-anak, semua histeris dan menangis di dalam mobil yang sesak. Ketakutan dan tercekam. Sampai di ketinggian yang kami anggap aman, mobil saya hentikan," kata Ody.

"Kami semua keluar. Saya hitung-hitung, ada duabelas orang yang ikut kami. Total 17 dalam mobil yang hanya untuk 8 orang termasuk pengemudi. Saya tidak tahu bagaimana bisa muat sebanyak itu," cerita Abdy.

Meskipun panik karena tak bisa menghubungi keluarga, mereka masih bisa menolong warga yang ketakutan.

Setelah memastikan berada di lokasi yang aman, mereka melihat ke arah tempat tadi berhenti di dekat Pelabuhan Pantoloan. "Sudah rata dengan tanah. Rumah-rumah hancur dan berpindah tempat. Perahu dan kapal melintang di jalan. Di mana-mana terlihat penuh puing," tutur Abdy.

Secara naluriah, mereka kembali merekam peristiwa itu untuk mengabarkan pada dunia apa yang mereka saksikan dan alami sendiri. 

Sampai kemudian sadar dengan apa yang terjadi dengan keluarga mereka sendiri di Palu. Serentak, mereka mencoba menghubungi Palu. "Tak ada lagi sambungan telepon. Kami bingung dan panik. Bagaimana keluarga kami," tutur Ody.

"Saya mungkin yang paling galau karena tempat tinggal kami rumah tua yang rawan runtuh," kata Abdy.

Sekitar 30 menit kemudian, mereka memutuskan kembali ke Palu. "Kami harus menemui keluarga dan mengirim berita," kata Abdy.

Perjalanan kembali tidak mudah. Melewati puing-puing bangunan yang berserakan, jalan rusak, dan pikiran kacau mengingat nasib keluarga masing-masing. Saat itu, kondisi sudah gelap. Mereka terus bergerak. 

"Sampai di Kelurahan Mamboro, kami melihat seorang ibu yang terjepit runtuhan bangunan. Kami berhenti dan membawanya ke tempat aman. Tampaknya ada tulang yang patah," tutur Ody.

"Kami sempat terjebak di Kelurahan Layana karena jalan tertutup. Terpaksa berhenti dan menunggu. Beberapa jam kemudian, ada iring-iringan kendaraan Brimob melintas yang membuka akses jalan. Akhirnya, sekitar pukul 23.00 WITA, kami tembus Palu," kata Abdy.

Di Palu, Abdy menghadapi kenyataan keluarganya telah mengungsi. Ketika bertemu, hanya ada istri dan anak pertama. Sedangkan anak kedua, Andra, hilang dengan posisi terakhir yang diketahui berenang di Hotel Golden Palu yang terkena tsunami.

Hingga pagi, mereka mencari Andra. Setelah hampir putus asa, mereka pulang melihat kondisi rumah. Tak lama kemudian, Andra muncul. Anak SD itu rupanya lari ke gunung dan bermalam sendirian di sana hanya mengenakan celana renang. Ada beberapa luka karena ditabrak motor saat lari.

Setelah memastikan keluarga semua selamat, hari itu juga mereka kembali ke lapangan, kembali melakukan peliputan. "Kami baru bisa mengirim berita pada hari kedua melalui saluran yang sangat terbatas. Alhamdulillah," kata Abdy.

Profesional 
Erick Tamalagi, tokoh masyarakat Palu dan salah seorang pendiri IJTI yang tinggal di Palu dan mengalami langsung bencana tersebut, menjadi saksi bagaimana para jurnalis TV di Palu telah bekerja dengan sangat profesional.

"Apa yang dilakukan teman-teman para jurnalis TV di Palu, adalah kesadaran yang tinggi sebagai seorang jurnalis dan kepala keluarga. Kegigihan terus meliput dan mencari spot untuk mengirimkan gambar di saat jaringan internet sangat terbatas dan membagi perhatian untuk keluarga yang berada di pengungsian, adalah perjuangan yang patut kita hargai," kata Erick.

Erick sendiri terus bergerak membantu para korban. Ia mendatangi berbagai lokasi hingga ke pelosok untuk mendistribusikan bantuan. "Puji syukur keluarga saya selamat," kata Erick yang juga mengungsikan seluruh keluarganya ke rumah famili yang lebih aman.

Tokoh muda nasional asal Palu, M. Ichsan Loulembah, menjadi saksi kegigihan para jurnalis TV di Palu.

"Para jurnalis menuangkan laporan untuk melayani kemanusiaan dengan profesionalisme yang terjaga. Tanpa lelah, lupa melihat jam, mereka menyajikan suara dan gambar melalui televisi yang amat berarti bagi masyarakat. Hanya ini yang kami punya (untuk mereka): setulusnya ucapan terima kasih," tulis Ichsan yang tinggal di Jakarta.

Begitu mendengar gempa dan tsunami di kampungnya, Ichsan berusaha pulang. Tiba di Palu pada hari ketiga pasca-tsunami, ia membuka posko "Sulteng Bergerak" di rumah ibunya, di Jl. Rajawali 24, untuk menyalurkan berbagai bantuan ke seluruh wilayah terdampak.

Kisah heroik lima jurnalis TV saat terjadi tsunami dahsyat di Pelabuhan Pantoloan, menjadi buah bibir di kalangan masyarakat Donggala, Sigi, dan Palu. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ferry Agusta Satrio
Publisher : Rizal Dani
Sumber : Press Rilis

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES