Kopi TIMES

Komunikasi Blusukan dan Reputasi Calon Presiden

Senin, 24 September 2018 - 09:12 | 104.25k
Rachmat Kriyantono, PhD adalah Ketua Program Studi S2 Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Malang
Rachmat Kriyantono, PhD adalah Ketua Program Studi S2 Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Malang

TIMESINDONESIA, MALANGKAMPANYE Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, seperti diberitakan juga di TIMES Indonesia, diawali dengan deklarasi kampanye damai yang diinisiasi Komisi Pemilihan Umum, Minggu pagi (23/9/2018). Busana daerah yang dikenakan oleh pasangan capres-cawapres di acara tersebut seakan simbol kesepakatan kedua pasangan untuk mengedepankan identitas ke-Indonesia-an dalam kampanye.

Untuk menghasilkan capaian kampanye yang optimal, penggunaan semua jenis media kampanye perlu dilakukan. Makin bervariasi jenis media kampanye, pesan-pesan kampanye dapat ditembakkan dengan repetisi yang tinggi, kumulatif (terus-menerus), dan simultan sehingga berpeluang menghasilkan dampak awareness bagi yang belum tahu, peneguhan (reinforcement) bagi pendukung fanatik, dan pengubahan sikap bagi yang preferensi politiknya berbeda serta bagi yang belum menentukan sikap (massa mengambang).  

Seperti yang terjadi pada pilpres, pemilihan legislatif (pileg) maupun pemilihan kepala daerah (pilkada) sebelum-sebelumnya, penulis meyakini para capres-cawapres akan saling berlomba mengunjungi dan berdialog langsung dengan masyarakat, yang dikenal dengan nama blusukan. Karena kampanye merupakan aktivitas berkomunikasi, maka penulis menyebutnya komunikasi blusukan. Melalui tulisan ini, penulis memberikan ulasan mengapa kampanye jenis ini mesti dilakukan oleh capres dan cawapres.

Kampanye Blusukan, wujud Demokrasi Ke-Indonesiaa-an

Penulis menganggap strategi ini sangat efektif dalam menghasilkan tiga dampak sekaligus (awareness, peneguhan, dan pengubahan sikap) daripada strategi lainnya. Strategi iklan, misalnya, lebih efektif menciptakan awareness, atau kampanye terbuka di tengah massa lebih mempunyai efek peneguhan bagi pendukung fanatik. Diskusi dan FGD memiliki kesamaan dengan blusukan, yakni adanya komunikasi dua arah, tetapi, blusukan memiliki karakteristik yang berbeda, yakni terkesan lebih informal, lebih natural, dan lebih merangsang aspek emosional melalui komunikasi personal tatap-muka.

Kampanye blusukan sesuai perkembangan demokrasi di Indonesia. Demokrasi menstimuli kebebasan berpendapat dan akses informasi semakin mudah, terbuka, cepat, dan bebas, yang di satu sisi mendorong publik makin well-informed dan kritis, tetapi, di sisi lainnya, informasi yang overload bisa memunculkan makin besarnya ketidakpastian (baca: kebingungan) akibat perang informasi ini. Kehadiran media sosial makin meramaikan perang informasi di era demokrasi ini, yakni individu bukan hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga produsen informasi (tidak ada monopoli informasi). 

Karakter masyarakat demokrasi ini tidak cukup hanya diberikan asupan-asupan pesan yang hanya menonjolkan keunggulan-keunggulan capres tertentu. Benak masyarakat sudah dipenuhi argumen-argumen dari berbagai sumber informasi yang begitu mudah diperolehnya. Karena itu, yang dibutuhkan masyarakat adalah sarana konfirmasi argumen-argumen tersebut.

Selain itu, kampanye blusukan sesuai dengan nilai-nilai kelokalan Indonesia. Capres dan cawapres dapat berkomunikasi tatap muka secara langsung dengan mendatangi masyarakat. Ada kedekatan personal –tidak ada jarak fisik dan jarak protokoler formal- sehingga dapat mendekatkan jarak psikologi, yakni ada komunikasi sambung roso (sambung rasa, dari hati ke hati) yang merangsang ikatan emosi (empati) yang kuat. Empati terwujud jika capres-cawapres mampu menyelami posisi atau keadaan yang dirasakan masyarakat. Istilahnya, capres-cawapres dapat melakukan “walking in the same shoes” dengan masyarakat. Komunikasi “blusukan” ini juga perwujudan adanya prinsip kebersamaan tanpa beda status, yakni seperti konsep “manunggaling kawula-gusti (rakyat-pemimpin)” pada masyarakat Jawa. Masyarakat pun bisa melihat dari dekat personalitas calon pemimpin mereka.

Bagi masyarakat, upaya sambung rasa ini dapat dimaknai bahwa capres-cawapres “nguwongke”, yaitu menempatkan masyarakat bukan dalam konteks hubungan rasional yang berdasarkan untung-rugi (antara pemilih dengan yang dipilih), tetapi, menempatkan masyarakat sebagai mitra yang tidak terpisahkan dalam kesuksesan calon pemimpin. Nilai demokrasi Jawa mengajarkan ”curiga manjing warangka, warangka manjing curiga”, pemimpin perlu memahami aspirasi bawahan, mengenal dengan baik kondisi bawahan, dan mau menyantuni mereka dengan baik.

Negara bisa dianalogikan sebagai organisasi (corporate), yang berasal dari kata “corpus” (dari kata corpus ini, muncul kata-kata corpse/tubuh atau corps di kesatuan militer). Artinya, negara bagaikan sebuah keluarga yang harus saling memperhatikan, memercayai, mengasihi, dan saling menjaga antaranggotanya. Pemimpin harus tahu secara langsung kondisi masyarakat, mengingatkan agar tidak ada yang bertindak salah, sewenang-wenang atau melanggar aturan, yang akhirnya bisa menjatuhkan wibawa keseluruhan. Saling mengingatkan mencakup upaya berbagi dan saling menampung keluh kesah sekaligus berupaya menyelesaikan masalah. Tidaklah heran jika blusukan sering menyimbolkan pemimpin yang merakyat dan sederhana.

Melalui blusukan, capres-cawapres dapat melakukan gethok tular (word of mouth communication) secara langsung semua program kerja sebagai sarana konfirmasi dan meminimalkan salah persepsi. Rumor atau gosip, yang juga tersebar cepat melalui gethok tular dari orang ke orang, dapat disetop. Upaya gethok tular ini penting untuk menangkal rumor berdasarkan prinsip demokrasi “lawanlah informasi dengan informasi”. Blusukan memungkinkan capres-cawapres memonitor lingkungan untuk mengetahui kebutuhan masyarakat dan fungsi manajemen isu untuk antisipasi awal agar isu-isu tidak membesar yang berpotensi menjatuhkan reputasi capres-cawapres.

Blusukan: Antara pencitraan dan Reputasi

Kedua pasangan capres-cawapres memiliki peluang yang sama meraup suara pemilih melalui kampanye blusukan ini. Namun, siapa yang mampu menerapkan prinsip blusukan dengan lebih baik, dimungkinkan lebih memiliki peluang. Capres-cawapres harus memiliki kredibilitas di mata masyarakat. Kredibilitas tercapai jika masyarakat menganggap capres-cawapres dapat dipercaya integritasnya, seperti jujur, memperhatikan dan memperjuangkan aspirasi, berteman, dan ramah, dan “sepi ing pamrih, rame ing gawe”, (blusukan dilakukan secara kontinu tanpa pamrih/ada maunya saja saat kampanye) atau “aja goleh wah, mengko dadi owah” (jangan melakukan suatu pekerjaan dengan didasari niat mencari perhatian dan pujian melainkan dilakukan dengan niat baik dan ketulusan).

Tentu sulit menilai pamrih, niat baik, dan keikhlasan seseorang. Penilaian ini bisa digunakan untuk menilai apakah capres-cawapres tersebut “hanya pencitraan” atau “reputasi”? Setiap capres-cawapres pasti melakukan pencitraan, bahkan setiap perilaku semua manusia berpotensi pencitraan, sengaja atau tidak disengaja.

Pencitraan adalah mengomunikasikan diri kita kepada orang lain sehingga orang lain memersepsi kita seperti yang kita inginkan. Persepsi orang lain terhadap kita dikenal sebagai citra (image). Dengan demikian, kampanye blusukan adalah sarana pencitraan, terutama yang disebarluaskan media massa. Tanpa pencintraan maka no one knows us, dan apa jadinya capres-cawapres yang tidak dikenal publik?

Kredibilitas dalam blusukan dapat tercapai jika masyarakat menilai capres-cawapres berniat baik, tanpa pamrih, dan ikhlas. Ada dua indikator yang paling rasional yang bisa digunakan. Pertama, adalah rekam jejak tentang kontinuitas dan frekuensi komunikasi blusukan ini. Jika sebelum kampanye, capres-cawapres tidak atau jarang terdengar blusukan maka blusukan saat kampanye akan dimaknai hanya pencitraan, karena dianggap “ada maunya” untuk mencari suara saja. Demikian pula, jika capres-cawapres hobby blusukan saat kampanye, tetapi, setelah terpilih jarang atau tidak pernah blusukan, maka bisa dimaknai hanya pencitraan.

Dalam konteks ini, sebagai petahana, Jokowi bisa dianggap memiliki keunggulan dalam komunikasi blusukan. Bahkan dibanding presiden-presiden yang lain, Jokowi memiliki rekam jejak sebagai presiden paling sering blusukan. Blusukan ini tampak secara kontinu dilakukannya sebelum menjadi presiden. Daerah-daerah tertinggal, seperti Papua dan wilayah perbatasan tidak jarang menjadi sasaran blusukan. Karenanya, masyarakat pun tidak kaget jika dalam kampanye kali ini, capres Jokowi melakukan blusukan. Meski oposisi tetap saja melabel sebagai “hanya pencitraan”, kesan ‘blusukan ada maunya” secara umum bisa dikikis Jokowi.

Kedua, kontinuitas meski diikuti kualitas blusukan. Blusukan bisa disebut berkualitas jika capres-cawapres mampu menyerap, menampung umpan balik atau respon masyarakat, dan menindaklanjuti secara secara konkret keluh kesah masyarakat dalam bentuk pengambilan kebijakan. Bukan sekadar “nggih nggih ora kepanggih”, yaitu bilang ya, ya, tapi tidak dilaksanakan, masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Kearifan Bugis mengajarkan “taro ada taro gau” (simpan kata simpan perbuatan), yaitu konsistensi perbuatan dengan apa yang telah dikatakan. Orang Jawa menyebut “kakehan gludhug kurang udan”, yaitu terlalu banyak bicara tetapi tidak ada kenyataannya, hanya menampung keluhan dan berjanji namun tidak berupaya mewujudkannya. Orang Makassar mengatakan “side’ce’ng-de’ce’nna ado de’k-e’ riolona, engka rimumnri. Sijakna ada engka riolona de’k-e’ rimunri”, sebaik-baiknya bicara ialah yang kurang komentar tetapi didukung oleh kenyataan dan seburuk-buruk bicara adalah yang banyak komentar tetapi tidak didukung oleh kenyataan. Jika hanya mendengarkan dan berjanji tapi tidak ada tindak lanjut, kepercayaan terhadap capres-cawapres bisa turun.

Namun capres-cawapres harus hati-hati untuk tidak mengumbar janji. Kearifan Jawa menawarkan konsep “mulat salira, hangrasa wani”, sebelum bertindak (memberikan tanggapan) harus tahu diri, dipikir dengan jernih, tidak sembrono, supaya tidak mengecewakan orang lain. Jika respon masyarakat tidak rasional maka perlu diberikan pengertian, jika respon masyarakat itu berat diwujudkan maka dijelaskan alasannya.

Jadi, kita boleh menyebut seseorang sebagai “hanya pencitraan” jika apa yang dilakukannya tidak dilakukan secara berkala dan kontinu, sebelum dan sesudah kampanye. Pencitraan adalah “what you say”. Jika “what you say” sama dengan “what you do”, inilah reputasi. Orang yang kredibel berarti dia bereputasi.

Pada akhirnya, tim kampanye Jokowi-Ma’ruf Amin harus secara repetisi, simultan, terus-menerus menyebarkan bukti-bukti blusukan yang selama ini dilakukan Jokowi sehingga masyarakat dapat menilai kualitas blusukan Jokowi. Tim kampanye Prabowo-Sandiaga pun harus merancang strategi blusukan ini agar tidak menimbulkan kesan “ada maunya” dan menjaga agar blusukan dijalankan dengan berkualitas. Selamat menentukan pilihan! 

* Penulis Rachmat Kriyantono, PhD adalah Ketua Program Studi S2 Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Malang

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES