Kopi TIMES

Belajar dari Azazil sang Iblis

Sabtu, 22 September 2018 - 15:04 | 414.83k
Zulham A Mubarrok, Ketua forum pemuda Nahdliyin Kabupaten Malang. (Grafis: Dena/TIMES Indonesia)
Zulham A Mubarrok, Ketua forum pemuda Nahdliyin Kabupaten Malang. (Grafis: Dena/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTAULAMA Syahdan, Azazil adalah salah satu malaikat terbaik. Dia sukses membereskan kerusakan dan kekacauan akibat makhluk Allah penghuni Bumi sebelum manusia. Ketaatan dan ilmu Azazil tak tertandingi makhluk lain.

Menurut kitab tafsir Munir dan Showi, Azazil beribadah pada Allah dalam masa 80 ribu tahun, thowaf di baitul Makmur dan Arsy selama 14 ribu tahun. Oleh karenanya di langit pertama sampai ketujuh Azazil begitu dihormati oleh para malaikat. Sesuai dengan makna nama Azazil yang dalam bahasa arab berarti Makhluk Terhormat Allah. Hingga Allah menciptakan Adam. 

Dengan jasad yang terbuat dari saripati tanah liat, Adam dimuliakan oleh Allah dengan ‘aql (akal). Sekaligus diberikan hak istimewa menjadi khalifah (pemimpin) di muka Bumi.

Dus, Azazil memprotes ketentuan Allah dan menolak bersujud pada Adam. 

Pembangkangan itu diganjar dengan hukuman yang berlangsung hingga akhir zaman. Dan Azazil kemudian diberi gelar iblis yang bermakna putus. Walaupun berilmu tinggi dan taat, tapi telah putus amal Azazil dari segala perbuatan baik di depan Allah. Azazil Sang Iblis dilaknat Allah hingga akhir zaman.

Allah melalui Alquran selalu meminta manusia untuk selalu menggunakan ‘aql. Karena potensi manusia ada pada ‘aql. Kata ‘aql, diterjemahkan bebas sebagai akal. Dalam Alquran ‘aql disebutkan sebanyak 49 kali. Kecuali satu, semua kata akal disampaikan dalam bentuk fi'il mudhari'. Kata kerja yang menunjukkan kejadian sesuatu pada saat itu atau setelahnya. 

Manusia memang selalu ditantang untuk menggunakan akalnya untuk saat ini dan esok hari.

Tantangan Alquran agar manusia mau berpikir disusun dalam format kalimat istifham inkari atau kalimat tanya negatif. 

Tujuan dari kalimat itu memotivasi agar manusia selalu menggunakan akal mereka: berpikir. Mereka yang berpikir kemudian berilmu dan dalam definisi bebas disebut ulama. Bentuk jamak dari kata alim yang artinya orang yang berilmu.

Lazimnya pemaknaan kata ulama disandarkan pada ahli dibidang ilmu agama. Tak jarang, ulama identik dengan identitas penampilan tertentu. Bersurban, baju serbaputih, berjubah, dan seterusnya disesuaikan dengan identifikasi visual kita yang dibentuk oleh budaya.

Nah, terkait definisi ulama, Allah meninggalkan remah-remah petunjuk di dalam Alquran yang sekiranya bisa dijadikan rujukan:

 “Tidakkah kamu memperhatikan bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Al Fathir ayat 27-28).

Para ahli tafsir menyimpulkan sejumlah hal dari ayat di atas. Tapi secara garis besar ada dua hal yang bisa dipahami. Pertama, kata ulama tidak seketika disandarkan pada mereka yang hanya unggul didalam ilmu agama. 

Hal itu dapat dimaknai pada definisi berbagai fenomena alam dan keilmuan ketika berbicara dalam ayat yang membahas kata ulama secara utuh.

Kedua, melekat pada predikat ulama adalah rasa takut dan tunduk terhadap Allah. 

Maka para penyandang predikat ulama dalam berbagai disiplin ilmu harusnya mengedepankan ketakutan terhadap Allah dibandingkan segalanya, termasuk kepentingan golongan dan kepentingan pribadi. Karena setelah memahami hakikat ilmu maka yang lahir berikutnya adalah spiritualitas. 

Tidak ada kekeliruan dalam ayat kauniyah (sains) di atas, Alquran tidak mungkin salah. Hanya keterbatasan manusia yang kadang gagal memahami luasnya makna dalam ayat Alquran.

Maka dapat disimpulkan bahwa ulama menurut Alquran adalah orang-orang yang mendedikasikan ilmunya (dalam disiplin apapun) untuk kehidupan yang lebih baik dengan berlandaskan kepada pengabdian dan ketaatan kepada Allah azza wa jalla.

Menjadi ulama berilmu tinggi dan patuh kepada Allah saja masih belum sempurna jika tidak dilandasi dengan adab dan akhlak. Derajat ilmu dan kepatuhan kadang harus dilepaskan dari kesombongan dan rasa pongah.

Dus, berilmu tinggi, ahli ibadah, patuh kepada Allah tetapi gagal menjaga hati dan adab terhadap Allah dapat melahirkan laknat. 

Tidak mudah menyandang predikat ulama. Sebab status ulama disematkan sebagai bentuk pengakuan. Bukan predikat yang bisa dilepas pasang “semau gue” kepada sesiapa saja.

Ketika sejumlah orang mendeklarasikan diri sebagai ulama dan mengatasnamakan ulama demi komoditas receh dukung mendukung kepentingan politik praktis, sepertinya mereka perlu banyak belajar dari Azazil sang iblis. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES