Kopi TIMES

Titik Nadir Persaingan Industri Rokok di Indonesia

Kamis, 13 September 2018 - 18:56 | 238.82k
(Grafis: Dena/TIMES Indonesia)
(Grafis: Dena/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTASAMPAI saat ini, kebijakan tata kelola industri rokok menjadi isu kontroversial yang cenderung semakin terpolarisasi menjadi dua kutub yang saling berlawanan. Pada satu sisi, rokok dipahami sebagai bagian dari perjalanan bangsa Indonesia.

Seperti yang diungkapkan sejarawan Lance Castles dalam penelitiannya berjudul Religion, Politics, and Economic Behavior in Java: The Kudus Cigarette Industry, industri rokok rumahan telah muncul pada dekade 1920-an sehingga menjadi salah satu industri tertua dan andalan bagi masyarakat di Indonesia.

Dengan begitu, industri rokok memiliki peran yang penting dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam aktivitas ekonomi, khususnya pada skala rumah tangga. Bahkan pada era kejayaan rokok, petani tembakau pernah merasakan masa kejayaan “daun emas” tembakau.

Fakta tersebut tak lantas mengendurkan semangat pihak lain sebagai penentang pengembangan industri rokok yang selalu menyerukan bahaya rokok dalam pembangunan suatu bangsa. Tidak hanya di Indonesia, masyarakat dunia bahkan telah menetapkan Hari Tanpa Tembakau pada tanggal 31 Mei.

Banyak pula publikasi yang menyuarakan bahwa konsumsi rokok ditengarai dapat membuat rumah tangga di Indonesia terperosok ke dalam jurang kemiskinan. Oleh karena itu, tekanan terhadap pengambil kebijakan untuk membatasi peredaran rokok semakin masif dirasakan oleh industri pengolahan hasil tembakau.

Sayangnya, perdebatan yang muncul sejauh ini cenderung dimulai dengan syak wasangka, alih-alih pikiran yang jernih. Kalau meminjam istilah ekonomi, perdebatan ini menghasilkan kondisi zero sum game, artinya satu pihak meraup seluruh manfaat dengan menihilkan pihak lainnya.

Padahal, bila dirunut lebih jauh, kebijakan publik meskipun tidak dapat menyenangkan semua pihak, tetapi setidaknya mempertemukan berbagai kepentingan yang ada.

Terlepas dari perdebatan tersebut, pemerintah Indonesia telah menetapkan demarkasi yang jelas. Rokok bukanlah barang terlarang, namun peredarannya perlu dibatasi dan diawasi.

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia mengimplementasikan dua jenis regulasi secara beriringan, yaitu: (i) regulasi yang bersifat intervensi pada mekanisme pasar, dan (ii) regulasi yang berada diluar mekanisme pasar, seperti munculnya regulasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan pencantuman Pictorial Health Warning (PHW) dengan ukuran 40%  dari total ukuran kemasan rokok dengan tingkat keberhasilan yang masih terbilang prematur untuk disimpulkan.

Pada regulasi yang bersifat intervensi pasar, kita mengenal adanya kebijakan tarif cukai rokok yang cenderung meningkat setiap tahunnya. Pada titik ini, rasa keadilan dalam persaingan usaha memegang peranan krusial dalam menentukan tingkat keberhasilan kebijakan ini.

Departemen Kesehatan dan Layanan Masyarakat Amerika Serikat, misalnya, dalam laporannya berjudul The Economic of Tobacco and Tobacco Control pada tahun 2017 menegaskan bahwa penguasaan pasar didominasi sekelompok kecil perusahaan rokok.

Dengan kata lain, sekelompok kecil perusahaan tersebut memiliki kekuatan pasar yang sangat dominan, sehingga mampu menguasai pasar rokok di Amerika Serikat. Demikian juga, New York Times, pernah memuat artikel yang menarik berjudul Combatting A Tobacco Monopoly; Who Should Profit Form Cigarettes?, di mana keuntungan terbesar dari kenaikan pajak, yang ditujukan untuk meningkatkan harga rokok eceran, justru menguntungkan enam perusahaan yang dominan menguasai pasar.  

Bagaimana di Indonesia?

Untuk dipahami Undang-Undang No. 39/2007 tentang cukai mengamanatkan, kebijakan cukai rokok tidak sekadar mengandung mandat pembatasan peredaran rokok.  Lebih jauh, kebijakan cukai memuat prinsip kesetaraan bagi seluruh pihak (fairness in balance) yang berpartisipasi di dalam industri rokok.

Oleh karenanya, pemerintah berkewajiban untuk memastikan bahwa regulasi yang dibuat tidak menimbulkan distorsi yang berujung pada iklim persaingan usaha yang tidak “adil”.

Selanjutnya, penentuan besaran tarif cukai diatur dalam peraturan menteri dengan mempertimbangkan optimalisasi penerimaan negara serta memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku industri.

Kita kemudian akrab dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang diterbitkan setiap tahunnya guna menentukan penggolongan besaran tarif cukai berdasarkan batasan produksi dan harga jual eceran (HJE). Sejak tahun 2009, struktur tarif cukai sebanyak 19 layer kemudian disederhanakan menjadi 10 layer pada tahun 2018, bahkan direncanakan hanya tersisa 5 layer pada tahun 2021.

Sayangnya, kebijakan penyederhanaan cukai sejauh ini belum memberikan kontribusi yang berarti terhadap penciptaan iklim persaingan industri yang “adil”.

Sebaliknya, kebijakan penyederhanaan struktur cukai justru semakin memperkuat cengkraman perusahaan besar. Pada tahun 2009, Gilmore-Branston-Sweanor menyatakan lima perusahaan rokok terbesar di Indonesia menguasai 76,10 persen dari total penjualan.

Sementara pada tahun 2017 merujuk pada riset pasar yang dilakukan oleh Nielsen, lima perusahaan rokok yang sama meningkatkan pangsa penjualannya menjadi sebesar 88,77 persen. Artinya, kelima perusahaan rokok terbesar di Indonesia ini mampu meraup keuntungan dengan adanya kebijakan cukai.

Sebaliknya, industri rokok sedang dan kecil, justru mengalami penurunan pangsa pasar dari sekitar 24%  menjadi hanya sebesar 11% dari total penjualan. Berdasarkan fakta tersebut, ada indikasi bahwa industri kecil semakin terdesak sementara perusahaan besar kian menikmati laba yang berlimpah.

Selain itu, semakin terdesaknya industri rokok berskala kecil dan sedang dapat diindikasikan dengan semakin banyaknya industri rokok di Indonesia yang gulung tikar. Berdasarkan data Dirjen Bea dan Cukai, jumlah pabrik rokok menurun dari 3.255 perusahaan pada tahun 2009 menjadi sebesar 754 perusahaan pada tahun 2016.

Artinya, terdapat 76% industri rokok di Indonesia yang tidak beroperasi lagi, sementara  kelima perusahan rokok terbesar di Indonesia tidak saja mampu bertahan bahkan mampu menikmati peningkatan keuntungan. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Nielsen 2017, rata-rata penjualan kelima perusahaan rokok terbesar di Indonesia jauh diatas 3 miliar, yaitu sekitar 49 miliar batang, sedangkan untuk perusahaan lainnya, rata-rata hanya mampu menjual pada kisaran kurang dari 2 miliar batang.

Sungguh situasi ini sangat menyulitkan dan terasa tidak adil bagi industri kecil dan menengah, jika pemerintah pada tahun 2019 akan menyederhanakan struktur cukai rokok, terlebih lagi jika harus membagi dalam dua kategori, yaitu lebih dari 6 milyar batang untuk industri besar dan sama atau kurang dari 6 milyar untuk industri kecil dan sedang. 

Berdasarkan fakta diatas, kebijakan penyerdehanaan struktur tarif cukai rokok di Indonesia belum menunjukan adanya arah menuju iklim usaha yang lebih “adil”. Belajar dari pengalaman Amerika Serikat, penyusunan kebijakan cukai mesti disikapi secara hati-hati.

Pemerintah harus mengakomodir kepentingan industri kecil untuk mampu bertahan hidup, dengan dua alasan utama. Pertama, industri rokok berskala kecil dan menengah sangat besar peranannya terhadap penyerapan tenaga kerja, dibandingkan dengan industri berskala besar.

Kedua, perlu dipahami bahwa pengusaha rokok berskala kecil tidak punya banyak pilihan yang lebih baik untuk beralih pada usaha yang lain. Alasannya sederhana, mereka sudah terlanjur mengarahkan seluruh kapasitas dan keterampilan yang dimiliki pada usaha industri rokok.

Dengan demikian, desain kebijakan pengendalian rokok sebaiknya bukan justru mematikan industri rokok berskala kecil dan menengah.

Seharusnya, kebijakan yang disusun mampu membatasi industri rokok berskala besar untuk terus menerus berekspansi, khususnya melalui peningkatan investasi untuk penyediaan mesin produksi yang canggih dan lebih bersifat padat modal ketimbang padat karya. Jika tidak demikian, maka sampailah kita pada titik nadir kebijakan persaingan industri rokok di Indonesia.

OLEH:
Dwi Budi Santosa, SE., MS., Ph.D, (Dosen Ahli Ekonomi Industri Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, saat ini menjadi Ketua Pusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan – PKEPK FEB UB)

 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES