Kopi TIMES

Membentuk Pribadi Mahasiswa yang Berdaya Saing, Cerdas Sosial dan Berintelektual

Minggu, 09 September 2018 - 11:16 | 216.95k
Ilustrasi - Mahasiswa Baru (FOTO: Dokumen TIMES Indonesia)
Ilustrasi - Mahasiswa Baru (FOTO: Dokumen TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, PASURUANMAHASISWA dianggap menjadi bagian penting dari masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia diposisikan sebagai insan dewasa yang memiliki kesadaran sendiri dalam mengembangkan potensi diri di lingkungan perguruan tinggi. Sebagai konsekuensinya, semua mahasiswa dituntut secara aktif mengembangkan potensinya dengan melakukan pembelajaran dan pencarian kebenaran ilmiah serta penguasaan, pengembangan, dan pengamalan suatu disiplin Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk menjadi ilmuwan, intelektual, praktisi, dan profesional yang memiliki daya saing.

Hal semacam itu mengantarkan mahasiswa kepada peran yang disebut “agent of change” atau agen perubahan. Melihat realitas saat ini, apakah mahasiswa sudah benar-benar menjadi agen perubahan atau malah menjadi terbalik, yaitu mahasiswa yang dibawa oleh perubahan itu sendiri? Di sinilah mahasiswa harus bisa membuktikannya bahwa ia mampu membuat perubahan di tengah masyarakat yang apabila dibiarkan cenderung terjebak dalam kondisi statis. Maka, seandainya mahasiswa tidak menggunakan perannya sebagai “agent of change”, bagaimana mungkin bisa membuat perubahan

Peraih Nobel muslim asal Bangladesh, namanya Prof. Muhammad Yunus. Dia alumnus peraih beasiswa Ph.D di Vanderbilt University Amerika Serikat, di bidang Economic Development Program. Pada 1974, dia menjumpai desa miskin di mana para perempuannya membuat kerajinan dari bambu yang membutuhkan pinjaman uang dengan jumlah kecil, tapi bank-bank tradisional tidak mungkin memberikan pinjaman karena alasan jumlah yang kecil. Walhasil terpaksa meminjam uang melalui rentenir yang akhirnya menjerat mereka. Yunus akhirnya menyadari ada yang salah dari sistem ekonomi yang dia ajarkan. Berawal dari keresahan dia terhadap kondisi sekitarnya, dia berinisiatif untuk memberikan pinjaman dari kantongnya sendiri sejumlah US$27 kepada 42 orang perempuan di desa tersebut yang menghasilkan US$0,2 per orang.

Singkat cerita, seiring perkembangannya, dia dan teman-temannya kemudian mendirikan Grameen Bank yang artinya bank desa dengan berdasarkan prinsip-prinsip kepercayaan dan solidaritas. Bank ini fokus untuk memberikan pinjaman untuk masyarakat miskin khususnya kaum miskin perempuan. Pada akhirnya hasil kerja dia dalam membuat perubahan diganjar dengan mendapat penghargaan nobel. Kisah ini memberi contoh yang sangat jelas bahwa dia memiliki kecerdasan sosial yang perlu ditiru oleh mahasiswa. Kepekaan sosial terhadap lingkungan sekitar memicu kita untuk bertindak kreatif yang bermanfaat bagi masyarakat.

Berbicara tentang mahasiswa, maka tidak bisa dipisahkan dari wajibnya menyelenggarakan pendidikan, penelitian/riset, dan pengabdian masyarakat yang disebut Tridharma Perguruan Tinggi. Total alokasi dana riset dari pemerintah Indonesia jumlahnya 24,9 Triliun. Namun itu dipertanyakan oleh Presiden Jokowi karena tidak terlihat hasilnya. Padahal jika mengacu pada data dari LIPI, alokasi dana riset di Indonesia hanya mencapai 0,2% dari PDB (Produk Domestik Bruto). Hal ini masih jauh dibandingkan dengan Negara Asia Tenggara lainnya. Singapura mencapai 2,5% & Malaysia 1.8%. Artinya, tugas kita selanjutnya adalah mendorong kontinuitas antara pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat supaya hasil pendidikan dan penelitian bisa sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Ranking Perguruan Tinggi di Indonesia se-Asia Tenggara versi Webometrics, hanya UI (Universitas Indonesia) dan UGM (Universitas Gajah Mada) yang masuk 20 besar. Itu pun UI berada di peringkat 14 sedangkan UGM di urutan ngkat 15. Sedangkan peringkat 1 sampai 13 didominasi oleh negara seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Ini masih level Asia tenggara. Bagaimana kalau level dunia? Ada di urutan berapakah nanti Perguruan Tinggi Indonesia. Lalu di mana Universitas Yudharta? Dari kondisi semacam ini, muncul pertanyaan; bagaimana kita bersaing?

Dengan kondisi yang sangat mengenaskan itu, masihkah kita memiliki sikap optimisme untuk bersaing di era yang sangat kompetitif ini? Bagaimana peran mahasiswa yang santri? Tentu tanpa rasa kikuk dan pesimis, kita pasti bisa bersaing jika kita benar-benar menggunakan peran “agent of change” itu sekaligus menyelenggarakan kewajiban Tridharma tersebut dengan sungguh-sungguh dan perjuangan yang tanpa kenal lelah. KH Wahid Hasyim, dulu pada awal kemerdekaan, pernah membagi orang Indonesia menjadi dua kategori, 1) intelektual dan 2) santri. Menurut beliau, biasanya kalau intelektual itu bukan santri, dan kalau santri bukan seorang intelektual sehingga beliau bermimpi muncul seorang santri yang intelektual di berbagai bidang keilmuannya. Mulai saat ini, saatnya kita buktikan dawuh KH. Wahid Hasyim itu.

Namun demikian, muncul pertanyaan selanjutnya, Wat should we do next? Langkah pertama, menguasai ilmu sesuai bidangnya. Sebagaimana hadis nabi

(من أراد الد نيا فعليه باالعلم, ومن أراد الاخرة فعليه بالعلم, ومن أرادهما فعليه بالعلم. رواه البخاري)

Artinya : “siapa menginginkan dunia, maka dengan ilmu, dan siapa yang menginginkan akhirat, maka dengan ilmu, dan siapa yang menginginkan keduanya, maka juga dengan ilmu.” (HR. Bukhari)

Di sanalah peran ilmu yang sangat menentukan masa depan perkembangan bangsa kita. Tanpa memiliki ilmu pengetahuan sesuai bidangnya masing-masing, tidak mungkin kita menjadi bangsa yang berdaya saing. Langkah kedua, santri sudah harus selesai dengan wacana hubungan antara islam dan negara. Kita sudah Pancasila yang merupakan “kalimatun sawa” (kesepakatan bersama para founding father yang menjadi titik temu dari kebhinekaan bangsa kita ini, bahkan KH. Wahab Hasbullah mengatakan bahwa cinta tanah air bagian dari iman. Pentingnya merawat dan menjaga tanah air Indonesia ini bisa tergambarkan dalam perkataan Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA :

من ليس له أرض فليس له تاريخ ومن ليس له تاريخ فليس له ذاكرة

Artinya : “Siapapun yang tidak memiliki tanah air, maka dia tidak memiliki sejarah, kalau tidak memiliki sejarah maka dia akan terlupakan”.

Ketiga, merupakan suatu keniscayaan bagi kita, untuk menguasai dalam bidang perekonomian supaya menjadi bangsa yang kuat. Kenapa? Karena Nabi bersabda

المؤمن القوي خير وأحب إلى الله من المؤمن الضعيف (رواه أحمد) 

Artinya : “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dari pada mukmin yang lemah.” (HR. Ahmad)

Ilmu, Nasionalisme dan Ekonomi merupakan tiiga pilar yang mestinya diikuasai oleh Mahasiswa Universitas Yudharta Pasuruan dalam membentuk pribadi mahasiswa yang berdaya saing, cerdas sosial dan berintelektual dengan landasan gerak tri dharma.

* Penulis Abdulloh Hamid, M.Pd adalah RMI PBNU & Founder Dunia Santri Community Disampaikan dalam orasi ilmiah Pekan Sosialisasi dan Orientasi Perguruan Tinggi PaSOPaTi) 2018 Universitas Yudharta Pasuruan, 9-09-2018

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES