Kopi TIMES

Membudayakan Kembali Harmoni dengan Alam

Sabtu, 01 September 2018 - 03:17 | 218.73k
Sanusi, Pranata Humas Kebun Raya Purwodadi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (Grafis: TIMES Indonesia)
Sanusi, Pranata Humas Kebun Raya Purwodadi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTABUMI kita sampai hari ini adalah satu-satunya planet yang bisa dipijak oleh manusia. Peradaban manusia di dalamnya sangat tergantung pada alam. Interaksi antar manusia dan begitupun manusia dengan lingkungannya membentuk sebuah budaya.

Perkembangan budaya ini pula tidak lepas dari peningkatan kecerdasan manusia. Pengetahuan manusia tentang mengelola sumber daya hayati terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dunia. Hal ini tidak lepas dari ketergantungannya pada sumber daya alam.

Pendidikan-lingkungan.jpg

Bila ekosistem alam rusak maka kehidupan manusia pun akan terganggu. Berbagai bentuk kearifan lokal yang ditemukan di berbagai daerah menjadi sebuah bukti akan adanya harmoni antar budaya yang telah ada dengan alam.

Di pedalaman masyarakat sunda masih dapat ditemukan budaya "Pamali". Demikian juga di Banten, masyarakat Badui masih menjaga budaya "Pikukuh". Mengusik leuweng larangan (Hutan Lindung), apalagi menggunakan bahan kimia yang dapat merusak ekosistem alam merupakan suatu pelanggaran hukum adat.

Kearifan serupa masih dapat kita temukan dalam suku Sakai Riau. Suku Sakai masih menggunakan hukum adat dalam mengatur berladang dan mengelola hutan.
Di Kalimantan dapat kita temukan Sistem Usahatani Perladangan Gilir Balik.

Berabad-abad sebelum munculnya diskusi mengenai konservasi alam, masyarakat Dayak telah mengenal konsep konservasi dengan mencadangkan rimba lebat di lingkungan hidupnya dalam budaya berladang.  

Di Papua dan kepulauan Maluku, tercatat ada budaya Sasi. Kearifan ini merupakan tradisi menjaga kelestarian sumber daya. Pengelolaan dengan baik sumber daya dalam mengambil hasil laut.

Sistem Sasi mengatur waktu bagi warga untuk menangkap ikan pada waktu tertentu. Sistem Sasi juga berkaitan dengan pengelolaan hutan. Sejak dulu masyarakat Maluku sudah mengenal perlindungan dan pelarangan sumber daya alam tertentu untuk menjaga kelestaraian alam.

Pengetahuan nenek moyang kita tentang keanekaragaman tumbuhan sudah berkembang lama. Sebagai salah satu contoh apa yang terdapat di dalam candi Borobudur.

April lalu tim dari Kebun Raya Purwodadi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah melakukan penelitian terhadap relief yang ada di dalam candi. Fauziah, Ketua Tim Peneliti Flora Relief Candi Borobudur menuturkan bahwa terdapat sekitar 50 jenis flora Jawa Kuno yang teridentifikasi dari 10 relief di tingkat Ruphadatu Candi Borobudur.

Pohon dan bunga yang terpahat dalam relief candi merupakan pahatan para Kawi (penulis relief) atas apa yang dilihat dan ditemukannya di alam.

Itulah bukti-bukti bahwa budaya konservasi nenek-moyang bangsa ini sudah lama ada. Jauh sebelum berbagai peringatan konservasi dan lingkungan digembar-gemborkan, bangsa Indonesia adalah pecinta keanekaragaman hayati dan alam lestari.

Walhasil, telah lama terbudaya dalam membedakan mana sumber daya alam yang boleh dimanfaatkan secara terbatas dan mana yang harus dijaga.

Harmoni Alam dan Budaya

Ilmu dan Pengetahuan tentang konservasi telah lama ada. Berbicara tentang konservasi bukanlah tentang definisi, wacana dan jargon. Berbagai peringatan lingkungan sangatlah penting di zaman now, akan tetapi yang jauh lebih penting dari itu adalah menjaga dan melindungi budaya konservasi yang telah ada.

Semua contoh kearifan lokal diatas sebenarnya sudah mendarah daging pada leluhur. Sudah menjadi harmoni antara alam dan budaya. Sangat disayangkan jika hal ini terganggu hanya oleh keserakahan segelintir manusia.

Puncak Hari Kekayaan Alam Nasional (HKAN2018) di Bitung - Sulawesi Utara dengan tema "Harmonisasi Alam dan Budaya" telah berakhir (31/8).

Tema ini mengingatkan bangsa ini akan pentingnya hidup selaras bersama alam, memanfaatkan sumber daya alam secara beradab agar tetap lestari dan berkelanjutan. Keserakahan kita hari ini merupakan sikap dan perilaku durhaka kepada nenek moyang.

Leluhur bangsa telah mewariskan budaya konservasi. Budaya yang kental dengan nilai-nilai pernghargaan terhadap alam.

Kampanye konservasi alam harus terus digaungkan baik secara nasional, regional, bahkan sampai sekolah dan lingkungan sekitarnya. Peran aktif semua lini sampai tingkat individu sangat mempengaruhi lingkungan.

Oksigen yang kita hirup berasal dari pepohonan rindang. Makanan yang kita makan berasal dari hewan dan tumbuhan. Kehidupan manusia tergantung ekosistem alam.

Pendidikan lingkungan secara berkelanjutan di sekolah-sekolah pun sangat penting digalakkan. Program Pendidikan Lingkungan yang menjadi salah satu tugas fungsi Kebun Raya atau kawasan konservasi lainnya harus dimanfaatkan. Edukasi ini akan mengajak para pelajar untuk mengenal pentingnya konservasi alam.

Kepedulian terhadap lingkungan harus mendarah-daging dan menjadi pola sikap terhadap alam. Budaya konservasi yang turun-temurun ini tidak boleh hilang dari kemajuan peradaban. Kearifan lokal dalam konservasi tidak  muncul begitu saja, tetapi  berproses panjang dan kemudian membentuk pola hidup dalam sebuah suku atau masyarakat bahkan bangsa.

Budaya konservasi terbentuk dari sebuah pola sikap yang positif terhadap alam yang akhirnya terbukti membentuk karakter masyarakat yang cinta akan lingkungan, yang tahu betul apa yang harus diwariskan pada generasi mendatang.

Mari kita wariskan budaya konservasi sebelum lebih banyak lagi kerusakan alam dan bencana yang akan datang menerjang.

 

Sanusi, Pranata Humas Kebun Raya Purwodadi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES