Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Dilema Pendidikan Gratis Dan Tagar #SahabatDikbud

Selasa, 14 Agustus 2018 - 06:51 | 28.40k
Muhammad Fahmi Hidayatullah, Dosen FAI Unisma. (FOTO: AJP TIMES Indonesia)
Muhammad Fahmi Hidayatullah, Dosen FAI Unisma. (FOTO: AJP TIMES Indonesia)
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Masa pengenalan lingkungan sekolah yang dikenal MPLS telah usai. Kegiatan yang diselenggarakan pada tanggal 16 Juli 2018, mendapat suport dan pengawalan eksklusif dari Kemendikbud. Melalui tagar #SahabatDikbud, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mengimbau kepada masyarakat Indonesia untuk melaporkan kegiatan diatas bila ditemukannya pelanggaran dalam pelakasanan kegiatannya.

Hasilnya, sampai saat ini tidak ditemukannya pelanggaran pelaksanaan kegiatan diatas yang diikuti oleh siswa baru. Prestasi ini menjadi keseriusan sekolah dalam mematuhi peraturan Kemendikbud.

Selain itu, Kemendikbud juga diuntungkan dengan keberhasilannya dalam pembuatan peraturan, karena berkurangnya pelanggaran yang dilakukan setiap tahunnya sampai tidak ditemukannya pelanggaran kegiatan MPLS pada tahun ini.

Namun disisi lain, yang perlu dicermati bersama adalah fenomena kekurangan kelas masih saja terjadi di negeri ini. Padahal era saat ini, masuk dalam revolusi industri 4.0 dimana semua serba digital yang melibatkan siber-fisik dan internet.

Seharusnya tidak lagi terjadi fenomena seperti diatas, karena negeri kita sudah melangkah pada pembangunan infrastruktur sebagai prioritas utama pembangunanan negara.

Sebagaimana yang terjadi di SMKN 7 kota Serang tepatnya di Jl. Raya Bangdes Kampung Baru Pakupan, Kelurahan Panancang kota Serang provinsi Banten berdasarkan berita yang dirilis oleh Jawa Pos pada kolom berita utama tanggal 28 Juli 2018 adanya fenomena belajar di pelataran kelas.

Fenomena tersebut berawal dari sekolah yang mampu menampung 21 rombongan belajar, justru menampung 30 rombongan belajar. Padahal 21 ruangan yang disiapkan termasuk juga ruang kelas darurat. Sedangkan sisa 9 ruangan belajar di tempatkan pada pelataran kelas.

Fenomena ini tentu menjadi perhatian serius bagi pemerintah pusat yang dalam hal ini adalah Kemendikbud maupun pemerintah daerah yakni pemkot Serang dan pemprov Banten.

Jika kita cermati bersama, letak geografis sekolah tersebut berada di provinsi tetangga ibu kota Indonesia yakni Jakarta. Seharusnya hal-hal yang seperti ini tidak perlu terjadi di provinsi yang memiliki sumber daya manusia tinggi.

Terbukti, sekolah tersebut walaupun usianya masih muda karena berdiri pada tahun 2013, namun kaya dengan prestasi. Faktanya, sejak berdiri sampai sekarang, sekolah tersebut telah berhasil mengumpulkan 64 medali emas sebagaimana dirilis seputarbanten.com dengan rincian 57 medali emas dari setiap perlombaan di kota Serang dan 7 medali emas dari perlombaan tingkat provinsi Banten.

Pada dasarnya, sekolah tersebut menerapkan kebijakan pendidikan gratis dari pemerintah provinsi Banten. Namun kenyataannya, pendidikan gratis belum mampu menjawab secara realistis. Tujuan diberlakukannya pendidikan gratis tidaklah lain untuk memenuhi kebutuhan peserta didik secara praktis tanpa membuat masyarakat menangis karena kehidupan yang dinamis.

Pendidikan gratis bisa diakses oleh semua kalangan demi terwujudnya sila ke lima yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semua berhak mendapatkan dengan porsi sama tanpa memperhatikan strata sosialnya.

Ada beberapa solusi yang menjadi tawaran penulis bagi permasalahan pendidikan Indonesia, diantaranya: pertama restrictions, artinya pembatasan yang dikenal dengan manajemen kuota.

Konsep ini diambil dari penggunaan internet oleh pengguna gadget yang tidak serta merta menggunakan internet sepuasnya. Ada batasan kuota yang bisa digunakan dan tidak boleh melebihinya. Konsep ini bisa diterapkan oleh dinas pendidikan provinsi maupun kota dengan tujuan pemerataan mutu, pemertaan pendanaan dan pemertaan guru.

Pemerataan mutu menjadi perhatian serius dalam dunia pendidikan. potret ketimpangan pendidikan karena mutu terjadi akibat tidak adanya batasan kuota sekolah pemerintah yang dampaknya bukan hanya kepada peserta didik sebagaimana kasus di atas. Tetapi juga berdampak pada lembaga pendidikan swasta yang juga memiliki tekad kuat dalam miningkatkan mutu pendidikan.

Padahal jika ditelusuri dari segi mutu, lembaga pendidikan pemerintah dan swasta pada dasarnya sama dan bersaing sejajar. Faktanya, banyak pendidikan swasta yang saai ini bisa bersaing dengan pendidikan negara.

Hal tersebut bisa dilihat dari prestasi dalam kegiatan Olimpiade Sains Nasional (OSN) maupun Kompetisi Sains Madrasah (KSM).

Dengan adanya manajemen kuota, siswa yang pada dasarnya diterima di sekolah pemerintah namun terbentur kuota, maka bisa mewarnai proses pendidikan di sekolah swasta. Hal demikian sebagai upaya dalam mengawal pemerataan mutu pendidikan Indonesia.

Selain itu, pemerataan pendanaan juga menjadi persoalan pendidikan Indonesia. Banyak sekali sekolah swasta kekurangan fasilitas karena sedikitnya pendanaan yang diperoleh dari bantuan operasional sekolah.

Penyebabnya adalah sedikitnya siswa yang diperoleh sekolah tersebut. Sedangkan sekolah pemerintah, tidak akan kekurangan fasilitas sekolah seperti ruang kelas bilamana memaksimalkan manajemen kuota.

Ruang kelas menyesuaikan dengan kapasitas siswa yang mampu ditampung lembaga dan tidak melebih kapasitasnya. Jika hal tersebut dilakukan maka distribusi pendanaan akan merata sesuai dengan harapan semua.

Sementara terkait dengan pemerataan guru, harus terwujud demi keadilan sosial. Kebutuhan guru sangat menyesuaikan dengan jumlah siswa yang sedang belajar. Pemerataan guru berkualitas tidak akan terwujud jika sekolah paling unggul di daerah mengabaikan pembatasan dalam penerimaan siswa.

Alasannya secara otomatis bertambahnya siswa sangat mempengaruhi kebutuhan guru di sekolah. Jika pembatasan siswa baru di sekolah ungggul diterapkan, maka guru dengan kualitas sama akan mau mengabdikan dirinya untuk lembaga pendidikan swasta.

Guru berkualitas yang ditempatkan di lembaga pendidikan swasta, umumnya memiliki gerakan visioner dan progresif dibandingkan sekolah pemerintah. Alasannya kebanyakan beliau haus inovasi dan kreatifitas untuk mengembangkan diri dan lembaga yang diperjuangkan.

Kedua #SahabatDikbud, memanfaatkan tagar tersebut menjadi kewajiban bagi semua lembaga. Tidak hanya pelaksanaan MPLS dalam memanfaatkan tagar #SahabatDikbud, akan tetapi berbagai kegiatan di sekolah atau pemasalahan yang muncul bisa disambungkan melalui tagar diatas.

Selanjutnya, Kemendikbud juga harus merespon laporan tentang prestasi maupun pemasalahan yang muncul di lingkaran pendidikan Indonesia. Baik laporan itu menyangkut prestasi, maupun permasahalan mutu dan fasilitas lembaga.

Pada kesimpulannya, tagar di atas sebagai media komunikasi berbagai pihak yang terlibat dalam proses pendidikan anak bangsa. Adapun pihak yang terlibat diantaranya masyarakat, lembaga pendidikan dan pemerintah yang bisa disebut dengan trias pendidikan.

Intensitas komunikasi trias pendidikan sebagai kunci dalam membangun sinergi demi pembangunan sumber daya manusia yang selaras dengan tujuan pendidikan Indonesia. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES