Kopi TIMES

Tungkus Lumus dan Sublimasi Sosial

Minggu, 12 Agustus 2018 - 14:14 | 86.58k
Mujaddid Muhas, M.A, Pelaksana Tugas Hubungan Masyarakat dan Protokol Setda Kabupaten Lombok Utara (KLU). (FOTO: Istimewa)
Mujaddid Muhas, M.A, Pelaksana Tugas Hubungan Masyarakat dan Protokol Setda Kabupaten Lombok Utara (KLU). (FOTO: Istimewa)

TIMESINDONESIA, LOMBOK – Bumi bergetar lagi, ketabahan dan kesabaran diuji kembali, sebab seandainya bumi tak bergetar, pun ketabahan dan kesabaran, kita butuhkan sebagai perisai dalam kerisauan. Setidaknya torehan alinea awal ini, saya nukil sebagai respons pikiran setelah getaran gempa beruntun yang melanda Pulau Lombok. 

Didahului getaran tremor Magnitudo 6,4 Skala Richter (29/7); M. 7,0 SR (5/8); M. 6,2 SR (9/8). Seminimalnya dengan peristiwa beruntun ini, ketabahan dan kesabaran secara natural direproduksi oleh keadaan yang melanda diri, keluarga, handai taulan, sahabat, orang lain serta lingkungan. Cukup menjadi bukti empirik alam berguncang, telah dengan singkat meluluh lantah hamparan antero Pulau Lombok. 

Keadaan seketika, seperti berada pada kawasan mati, lumpuh total. Saluran air tersumbat, listrik padam,  dimana-mana terserak puing reruntuhan, merebak kekhawatiran  mengatup bak penala tungkus lumus massal. Hampir semua penduduk mengungsi dalam kepiluan dan ketakberdayaan. Bertungkus lumus menghadapi keadaan yang sulit dimengerti tetapi nyata adanya: gempa bumi melanda.

Guncangan getar demi guncangan telah dialami warga, hingga torehan ini ditera, analisa Badan  Meteorologi Klimatologi dan Geofisika mencatat telah terjadi sebanyak 540 kali getaran setelah gempa berkekuatan M. 7,0 SR, beberapa kali terasa guncangannya. Dengan guncangan dan getaran tersebut, kini warga terbiasa merasakannya.

Pada beberapa spot pengungsian, warga korban terdampak gempa bertungkus lumus menghadapi hari-hari di pengungsian. Siklus yang dilakukan keseharian, dikonversi pada tempat pengungsian, dengan pengelolaan sebisanya. Dari pantauan lapangan, untuk sebagian besar spot pengungsi se-Pulau Lombok, dibutuhkan segera: tenda, makanan balita, selimut, air bersih, lampu penerangan, toilet portable, dan obat-obatan.

Adapun yang membuat decak kagum, warga terdampak gempa menghadapi musibah, terpancar perasaan tulus menerima kenyataan. Kendati rerata dari raut paras tersirat harapan atensi peduli untuk keadaan yang lebih baik dari apa yang dialami.

Bertungkus lumus dengan keadaan, bertungkus lumus dengan kenyataan, bertungkus lumus dengan siklus yang telah mengubahnya dalam sekejap. Perekonomian "lumpuh", layanan publik terpending, sarana prasarana porak poranda. 

Dari itu semua, ada secercah keharuan. Kita layak mengapresiasi sebagai sublimasi sosial dengan banyaknya donasi lembaga filantropi, pemerintah daerah/pusat, perusahaan, Badan Usaha Milik Negara/Daerah, perbankan, media, yayasan, komunitas, paguyuban dan lainnya yang menderma dan berempati bagi korban terdampak gempa bumi. Berpadu membantu sesama, baik melalui bantuan donasi finansial, pasokan kebutuhan yang diterima posko-posko dan spot pengungsian, maupun layanan kegiatan empatik.

Ada pula fenomena, jengukan pagi hari dari sanak saudara, kerabat, sahabat, handai taulan dari daerah berbeda yang tak terdampak gempa, secara spontan berbondong-bondong menjangkau spot pengungsian dan kemudian kembali pada sore harinya, suatu pemandangan yang unik. Menunjukkan adanya sublimasi sosial, untuk satu tujuan: silaturrahmi empati.

Dengan membawa bekal secukupnya menggunakan kendaraan komunal. Fenomena ini berkemungkinan bagi warga pengungsian punya spirit dan daya semangat yang lebih lama menghadapi hari-hari di pengungsian.

Selain itu pula, ketabahan dan kesabaran yang tecermin pada raut paras warga terdampak gempa, memberikan daya imun kepada kita semua, manusia hanyalah hamba sahaya.

Sungguh, realita tungkus lumus dan sublimasi sosial memberikan optimisme bahwa dibalik bencana, ada kebangkitan kolektif untuk saling beratensi, berpeduli dan berharap bahwa bencana segera teratasi dan berakhir dengan kelegaan. Kita membayangkan senyum-senyum kelegaan.

Besok, lusa, atau tulat kita tidak tahu gempa melanda dimana, kapan, dan terhadap siapa. Kita berharap bahwa gempa segera mereda dan normal seperti semula. Tak ada satupun orang yang ingin mendapat musibah.

Tetapi bila ada yang mendapat musibah, hampir dipastikan, sontak, tak ada satu orangpun yang rela dengan musibah itu. Pada akhirnya, ketulusan menerima musibah sebagai katalis muhasabah terhadap interaksi manusia dengan manusia; manusia dengan alam; dan tentunya manusia dengan Tuhan.

Silam kemarin di Dusun Torean, nunjauh di atas lereng sana, terdengar sayup pada tenda pengungsian, seorang meringis miris terisak tangis. Dalam keadaan duka nestapa, itulah sepertinya cara standar yang digunakan warga terdampak gempa untuk berharap pertolongan, termasuk statuta kebencanaan bersifat nasional itu: dibutuhkan, diperlukan.

Tolonglah, warga terdampak gempa di pengungsian yang kini tampak terlihat melemah, kendati tak kenal lelah. Bertungkus lumus dengan keadaan, bertungkus lumus dengan kenyataan. (*)

Penulis: Mujaddid Muhas, Pelaksana Tugas Hubungan Masyarakat dan Protokol Setda Kabupaten Lombok Utara (KLU)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES