Peristiwa Daerah

Paulus Andi Dwi Cahyono Harus Berbahasa Tarzan untuk Melayani Penyandang Tuli Bisu

Jumat, 10 Agustus 2018 - 00:15 | 62.74k
Didik (Tiga dari kiri, bertopi coklat) , relawan pendamping penderita tuna rungu yang sempat setahun menggunakan bahasa Tarzan karena belum paham bahasa isyarat. (FOTO: Muhammad Dhani Rahman/TIMES Indonesia)
Didik (Tiga dari kiri, bertopi coklat) , relawan pendamping penderita tuna rungu yang sempat setahun menggunakan bahasa Tarzan karena belum paham bahasa isyarat. (FOTO: Muhammad Dhani Rahman/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, BATU – Beberapa pemuda terlihat sibuk di sebuah rumah di sebuah dusun di Desa Oro-oro Ombo, Kecamatan Batu, Kota Batu.

Ada yang menggergaji kayu, ada yang mengecat tembok, ada yang membenahi plafon. TIMES Indonesia mencoba menyapa mereka, namun tidak ada yang menyaut.

Tidak perlu marah, karena memang semua pemuda itu penyandang tuna rungu yang sedang mengadakan bakti sosial memperbaiki salah satu rumah warga tidak mampu di dusun itu.

Hanya seorang laki-laki yang menghampiri TIMES Indonesia. Sambil tersenyum ia menyodorkan tangannya, mengajak bersalaman.

Dia adalah Paulus Andi Dwi Cahyono, relawan yang mendampingi para pemuda penyandang bisu dan tuli yang tergabung dalam komunitas Shining Tuli.

“Posisi saya di Shining Tuli juga tidak jelas, karena memang nama saya tidak ada di struktur, “ ujar Didik, panggilan akrab laki-laki ini.

Meski posisi tidak jelas dalam keorganisasian, peran pria berusia 40 tahun ini sangat besar di komunitas penyandang cacat ini. Dia tidak hanya menjadi penasehat, tidak hanya mendorong dan membina, tapi juga menjadi penerjemah para penyandang bisu tuli ini.

Dimana pun ada Shining Tuli di situ ada Didik. Laki-laki ini memang sudah beritikad untuk mendarma baktikan hidupnya untuk  para penyandang cacat ini.

“Karena teman-teman cacat tidak hanya diberikan cobaan hidup dari keterbatasan fisiknya, banyak diantara mereka membutuhkan uluran tangan kita, “ ujar Didik.

Bukan berbentuk bantuan materi, namun mereka butuh orang yang peduli, orang yang mau mendengar, mau menemani dan membantu mereka dikala kesulitan.

Berawal saat adik ipar Didik yang mengalami kelainan di kaki yang sedikit bengkok, hingga akhirnya terkadang menjadi korban perundungan teman-temannya.

Ia pun mencoba membesarkan hati adik iparnya tersebut, hingga akhirnya dengan bantuan Yulius Mesar kenalannya, adik iparnya ini akhirnya bisa dioperasi dan sembuh.

Dari situ Didik diajak Yulius Mesar mendirikan sebuah komunitas yang mendampingi para penyandang cacat.

Setiap hari bertemu bertemu dengan anak berkebutuhan khusus membuatnya semakin tergerak untuk terus mendampingi para penyandang cacat.

“Masih banyak orang tua penyandang cacat yang sengaja menyembunyikan anaknya karena malu. Begitu juga, masih banyak yang menjauhi penyandang cacat karena berbagai hal, “ ujarnya.

Bahkan ada seorang ayah yang tidak mau menerima anaknya yang terlahir cacat, hingga akhirnya penyandang cacat ini hanya dirawat ibunya.

Kemalangan penderita cacat ini semakin parah saat sang ibu menikah lagi. Suami baru sang ibu juga tidak mau menerima anaknya yang cacat ini, sehingga akhirnya penyandang cacat ini terlantar dan dirawat oleh tetangganya.

“Tidak semua anak berkebutuhan khusus memiliki orang tua yang care (peduli) dan kuat. Ada anak yang harus menghadapi sendiri masalah sosial yang dihadapi. Miris sebenarnya, karena itu saya akhirnya memilih bertahan pada aktifitas ini,“ katanya.

Kedekatannya dengan penyandang tuna rungu, tidak lain berawal dari anak-anak berkebutuhan khusus ini merasa sendiri, tidak ada yang memahami keinginan mereka.

“Kebingungan mereka itu, kalau punya masalah harus ngomong ke siapa, orang tua tidak begitu mengerti apa yang menjadi maksud mereka, hingga akhirnya saya mencoba memberikan apa yang mereka butuhkan,“ ujar Didik.

Saat itu ia sama sekali tidak mengerti bahasa isyarat, baik model Sibi maupun Bisindo, hingga akhirnya, ia pun harus menggunakan bahasa Tarzan.

“Hampir setahun saya memakai bahasa Tarzan, hingga akhirnya sedikit - sedikit bisa bahasa isyarat, “ ujar Didik.

Dari situ Didik mengarahkan anak-anak penyandang tuna rungu ini melakukan berbagai aktivitas positif, seperti menguasai tari tradisional, pantomim, hingga menyanyi.

Bahkan Didik mengajak anak-anak ini membuat industri rumahan yakni membuat Batik Shitu. Sebuah karya batik yang dibuat oleh para Shining Tuli, sebuah wadah organisasi yang mereka buat untuk penyandang tuli dan bisu.

“Saya ingin membuat asrama yang didalamnya ada asrama untuk menampung saudara-saudara berkebutuhan khusus yang terlantar, “ ujar Paulus Andi Dwi Cahyono, relawan yang mendampingi para pemuda penyandang bisu dan tuli yang tergabung dalam komunitas Shining Tuli(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani
Sumber : TIMES Batu

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES