Kopi TIMES

Pengakuan Dunia atas Pentingnya Kekayaan Alam Indonesia

Senin, 06 Agustus 2018 - 15:29 | 93.02k
Sanusi, Pranata Humas Kebun Raya Purwodadi LIPI. (Grafis: TIMES Indonesia)
Sanusi, Pranata Humas Kebun Raya Purwodadi LIPI. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, PALEMBANG – "Apa sih Biosfer pak?" Pertanyaan ini menjadi ungkapan anak saya ketika membaca salah satu kiriman saya di media sosial. Saya membagikan berita dari laman resmi LIPI yang menampilkan judul " Deputi Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI Terpilih sebagai Presiden ICC-MAB UNESCO" pada selasa sore (24/7).

Sebagaimana kita ketahui, UNESCO, organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan telah menyelenggarakan sidang tahunan terkait terlaksananya keseimbangan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam.

Sidang ke-30 yang berlabel “30th Session of the International Co-ordinating Council (ICC) of the Man and the Biosfer Programme (MAB)-UNESCO”, yang diselenggarakan di Palembang, Sumatera Selatan pada 23-28 Juli 2018 (lipi.go.id).

Tiga-Cagar-Biosfer-Baru.jpgIndonesia Tambah Tiga Cagar Biosfer Baru yang Diakui Dunia (FOTO: Kemlu) 

Sidang pada hari kedua (24/7) tersebut telah memilih Prof. Enny Soedarmonowati, sebagai Presiden ICC-MAB UNESCO menggantikan Presiden ICC-MAB UNESCO sebelumnya, Mr. Didier Babin dari Prancis.

Biosphere Reserves

Biosfer berasal dari bahasa Yunani, yaitu "bio" berarti "hidup" serta " sphaira” atau sphere yang  berarti "lapisan". Jadi, secara bahasa pengertian Biosfer merupakan lapisan tempat makhluk hidup. Makhluk hidup yang ada di permukaan bumi terdiri dari 3 golongan, yaitu tumbuhan, hewan, serta manusia.

Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan artinya sebagai "lingkungan yang berupa segala sesuatu yang hidup (manusia, hewan, tumbuhan)."

Secara istilah, Biosfer dapat pertama kali digunakan oleh Eduard Suess (1831—1914) seorang tokoh geologi berkebangsaan Austria dalam bukunya "Die Enstehung der Alpen"  atau The Origin of the Alps (1857) untuk menggambarkan lapisan bumi yang mengandung kehidupan (britanica.com).

Kemudian lebih dipopulerkan oleh ilmuwan Rusia Vladimir Vernadsky (1863-1945) dalam bukunya, "La Biosfer" (1926). Vernadsky mengembangkannya sebagai sebuah bahasan antar berbagai ilmu, antara lain geologi, kimia, dan biologi, termasuk ekologi dan berbagai keilmuan terkait (encyclopedia.com).

Berbicara seputar Biosfer adalah diskusi tentang suatu sistem interaksi yang menyatukan seluruh makhluk hidup yang ada di muka bumi.

Dalam website MAB-Indonesia disebutkan bahwa pengertiannya sebagai berikut, Cagar Biosfer adalah situs yang ditunjuk oleh berbagai negara melalui kerjasama program Man and The Biospher (MAB-UNESCO) untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan, berdasarkan pada upaya masyarakat lokal dan ilmu pengetahuan yang handal.

Sebagai kawasan yang menggambarkan keselarasan hubungan antara pembangunan ekonomi, pemberdayaan masyarakat dan perlindungan lingkungan, melalui kemitraan antara manusia dan alam, cagar biosfer adalah kawasan yang ideal untuk menguji dan mendemonstrasikan pendekatan-pendekatan yang mengarah kepada pembangunan berkelanjutan pada tingkat regional (mab-indonesia.org).

Program MAB yang dilahirkan pada tahun 1968 menjadi salah satu program UNESCO. Program MAB-UNESCO dimaksudkan untuk mempromosikan dan mendemontrasikan keseimbangan hubungan antara manusia dan alam dengan pendekatan bioregional.

Pada tahun 1974 program ini mengalami perkembangan signifikan. Laman unesco.org menyebutkan sampai tahun 2018 ini sudah terdapat 669 Cagar Biosfer di 120 negara. 147 Cagar Biosfer diantaranya terdapat Asia Afrika dan 11 diantaranya ada di Indonesia. Jumlah ini sudah menjadi 14 dengan bertambahnya 3 Cagar Biosfer.   

Tiga Cagar Biosfer Baru

Selain pertemuan untuk memilih Presiden MAB-ICC periode 2018-2020, pelaksanaan program jaringan Cagar Biosfer se-dunia dan  penetapan usulan Cagar Biosfer baru, disamping agenda penting lainnya.

Untuk yang terakhir ini, seperti diberitakan berbagai media sebelumnya, Indonesia telah mengusulkan tiga wilayah, yaitu Berbak Sembilang (Sumatera Selatan-Jambi), Betung Kerihun Danau Sentarum (Kapuas Hulu, Kalimantan Barat), dan Rinjani (Lombok, NTB)  untuk diakui oleh UNESCO.

Tiga kawasan ini menawarkan keragaman hayati yang berbeda. Pada 25 Juli lalu UNESCO telah meresmikan ketiganya dan membuktikan keseriusan Indonesia kepada dunia dalam hal pengelolaan kawasan-kawasan tersebut. Indonesia hingga saat ini merupakan negara Asia kedua yang memiliki jumlah Cagar Biosfer terbanyak setelah Tiongkok.

Cagar Biosfer Berbak Sembilang memiliki ekosistem gambut. Adapun Cagar Biosfer Betung Kerihun Danau Sentarum Kapuas Hulu memiliki keragaman hayati seperti spesies orangutan.

Adapun di Rinjani terdapat ekosistem karst. Ketiga kawasan yang menggambarkan keselarasan hubungan antara pembangunan ekonomi, pemberdayaan masyarakat dan perlindungan lingkungan tersebut telah dinilai oleh berbagai negara sebelum diputuskan masuk ke dalam daftar yang diakui dunia.

Ekosistem gambut Berbak Sembilang merupakan memiliki nilai konservasi hidrologis, simpanan karbon, keunikan dan kekayaan keanekaragaman hayati yang tinggi. Luasnya 2.051 km2, hutan rawa air tawar terluas di Asia Tenggara (tfcasumatera.org).

Di kawasan ini masih dapat ditemukan Harimau Sumatera (phantera tigris sumatraensis) disamping 27 spesies mamalia lainnya. Selain itu, terdapat 229 jenis tumbuhan obat dan 27 jenis anggrek.

Sedangkan di kawasan Betung Kerihun Danau Sentarum terdapat dua eksosistem. Kawasan seluas 816.693,40 Ha.  memiliki ekosistem hutan rawa dan hutan rendah. Danau Sentarum sendiri memiliki keunikan lain, yaitu siklus kering selama dua bulan dan kemudian kembali tergenang selama 10 bulan. (http://tnbkds.menlhk.go.id).

Disamping orangutan, kawasan ini memiliki sekitar 112 jenis ikan, diantaranya ikan Lelan (Osteochilus pleurotaenia) yang memiliki harga yang cukup tinggi.

Sementara itu kawasan Gunung Rinjani menjadi rumah bagi musang sebagai maskot. Total Area Lansekap Rinjani mencapai 125.000 hektar dan merupakan wilayah hutan yang signifikan bagi masyarakat Lombok (wwf.or.id).

Kawasan Karst Rinjani juga memiliki banyak tumbuhan endemik antara lain anggrek Peristylus lombalanss dan Perestylus rinjaniensis. Di kawasan ini dapat ditemukan juga Edelweis (Anaphals vislida).

Peran aktif Indonesia dalam pengelolaan kawasan-kawasan konservsi sangat strategis untuk meningkatkan sinergi dengan masyarakat global dalam manajemen pelestarian dan pengelolaan biodiversitas.

Keberadaan Cagar Biosfer di berbagai belahan dunia ini akan sangat berguna untuk mengembangkan konservasi dan pembangunan berkelanjutan. (*)

Sanusi, Pranata Humas Kebun Raya Purwodadi LIPI

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES