Ekonomi

Pengamat Nilai Kejahatan Mafia Kepailitan Semakin Serius

Senin, 16 Juli 2018 - 14:05 | 93.83k
Pengamat hukum dari Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta, Supardji Ahmad. (FOTO: Baca)
Pengamat hukum dari Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta, Supardji Ahmad. (FOTO: Baca)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pengamat hukum dari Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta, Supardji Ahmad menilai kejahatan mafia kepailitan saat ini sudah semakin serius. Hal tersebut karena banyak perusahaan-perusahaan yang dipailitkan oleh kurator dengan cara-cara tidak etis bahkan melanggar pidana.

Oleh karena itu, kata dia, pemerintah dan penegak hukum harus segera menangani dengan cepat.

Supardji Ahmad menjelaskan bahwa Perbuatan tersebut termasuk dalam tindakan kejahatan kelas kakap “kerah putih”. Karena bukan hanya merugikan pihak perusahaan yang pada akhirnya akan mempengaruhi iklim investasi di Indonesia, dan berdampak pada perekonomian bangsa. 

Selain itu, tindakan yang dilakukan oleh para pelaku ini juga sangat kontraproduktf terhadap dunia usaha di tanah air bahkan tidak sejalan dengan semangat Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). 

Hal tersebut, seperti yang terjadi pada kasus kepailitan PT Dewata Royal Indonesia (DRI) yang digugat pailit dengan satu kreditor Bank Mandiri. Swandy Halim selaku pihak kurator pada perkara itu diduga telah memanipulasi permohonan pailit tersebut. 

Dalam kasus itu, nampak terlihat dengan di terbitkannya surat perjanjian perdamaian antara Swandy Halim dengan Rustandi Jusuf selaku Direktur Utama PT. DRI dengan ketiga anaknya selaku pengelola Hotel Aston Bali & Spa Nusa Dua, Bali. 

Meskipun surat perjanjian itu sudah dibatalkan oleh putusan kasasi Mahkamah Agung. Tapi Swandi Halim tetap ngotot mengajukannya ke tingkat Peninjauan Kembali (PK). 

Sementara itu, Pakar Hukum Kepailitan Universitas Airlangga (Surabaya), Hadi Subhan menilai putusan kasasi yang menyatakan bahwa Swandy Halim telah melakukan perbuatan melawan hukum dan perjanjian perdamaian tersebut batal demi hukum, serta tidak mempunyai kekuatan hukum. 

Selain itu, dia juga menganggap putusan kasasi itu tepat, hal tersebut lantaran mantan kurator tidak memiliki kewenangan melakukan perjanjian dengan pihak debitur dan setelah perkara pailit berakhir. 

“UU Kepailitan mengharuskan kurator untuk bertanggung jawab karena kesalahannya diatur dalam pasal 72 dan Pasal 234 ayat 4,” kata Hadi kepada wartawan, Senin (16/7/2018). 

Menurutnya, secara hukum perjanjian yang dibuat oleh Swandy Halim pada 27 Desember 2010 harus batal demi hukum karena tidak diatur Undang-undang Kepailitan dan upaya perdamaian hanya dilaksanakan oleh debitor dan kreditor. 

Apalagi isi dalam surat perjanjian itu mengharuskan pihak Rustandi Jusuf mencabut seluruh upaya hukum, baik gugatan perdata dan pidana, laporan ke Mahkamah Agung, KPK, Komisi Yudisial, serta tidak akan melakukan upaya hukum apapun terhadap tindakan . Swandy Halim yang telah dan akan dilakukan dikemudian hari. Hadi menilai, tindakan itu sudah melanggar prinsip hukum. 

Dia berharap hakim agung yang memeriksa perkara Peninjuan Kembali (PK) yang ter-register dengan perkara No. 486 PK/PDT/2018 harus jeli memeriksanya dan mengembalikannya kepada aturan perundang-undangan yang berlaku. 

Senada dengan Hadi, Supardji berpendapat bahwa kurator tak memiliki legal standing mengajukan peninjauan kembali.  

“Karena Kurator ini sudah overdosis melakukan upaya diluar kewenangannya,” kata dia.  

Sekedar informasi, Sebelumnya Mahkamah Agung pada putusan kasasinya menyatakan bahwa surat perjanjian perdamaian yang dibuat Swandy Halim batal demi hukum. Putusan itu tertuang pada perkara No. 3714 K/Pdt/2016 tertanggal 8 Februari 2017. 

Pada 24 Oktober 2017, Swandy Halim mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan kasasi tersebut yang ter-regrister pada 16 Mei 2018.

Perkara ini merupakan buntut dari putusan pailit Pengadilan Niaga Surabaya terhadap DRI selaku pengelola Hotel Aston Bali Resort & Spa. 

Awalnya, pada tahun 1996, pihak PT Dewata Royal International mengajukan Kredit ke Bank Exim (saat ini Bank Mandiri-red) senilai USD 14 Juta, akan tetapi pinjaman itu diberikan kepada Rustandi Jusuf dan langsung dicairkan mata uang rupiah sebesar Rp 33,5 millar. 

Meski dari tahun 1996 hingga 2009 telah membayar hingga Rp 70 milliar, sehingga kemudian mengajukan gugatan lebih bayar.

Dalam kesempatan lain, kuasa hukum DRI, Musa Darwin Pane mengatakan, setelah diputus pailit pengadilan menunjuk Swandy Halim selaku kurator.

Muncul dugaan Swandy Halim telah melakukan penyimpangan terhadap putusan pailit tersebut, penyimpangan itu antara lain, Swandy Halim telah melelang aset milik Rustandi Jusuf yang tidak ada hubungannya dengan putusan pailit DRI. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rochmat Shobirin
Sumber : TIMES Jakarta

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES