Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Kehebohan SKTM Fiktif

Rabu, 11 Juli 2018 - 09:36 | 63.27k
Muhammad Yunus, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Islam Malang (Unisma) (FOTO: TIMES Indonesia)
Muhammad Yunus, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Islam Malang (Unisma) (FOTO: TIMES Indonesia)
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANGDUNIA pendidikan Indonesia kembali dihebohkan oleh pemberitaan banyaknya Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) fiktif yang diserahkan oleh orang tua calon siswa sebagai salah satu persyaratan mengikuti seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2018 ini. Hal ini terlihat dari viralnya kemarahan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, disela-sela melakukan sidak kebeberapa SMA/SMK di Jawa Tengah.

Ada kemirisan yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang kenapa hal ini dapat terjadi. Mulai dari rumitnya system administrasi yang ada, belumnya adanya data yang tersentralistik, sampai pada keinginan melakukan segala cara agar putranya masuk SMA/SMK yang diinginkan.

Lemahnya Sistem Data Base
Indonesia ini mempunyai segudang program untuk membantu rakyat Indonesia yang tergolong miskin. Berbagai cara pemerintah telah dilakukan agar orang miskin Indonesia ini diperhatikan karena hal ini juga merupakan amanah dari UUD. Namun demikian mereka yang sudah mendapatkan layanan bantuan dari pemerintah masih saja dimintai surat keterangan baru ketika akan mendaftarkan sekolah.
SKTM merupakan langkah yang menunjukkan lemahnya system data base tersebut. Warga miskin akan melakukan pekerjaan lagi untuk mengurus SKTM ini. Karena syarat untuk mendapatkan SKTM harus melampirkan surat keterangan dari Ketua RT. Waktu yang panjang inilah yang sesungguhnya tidak sungguh-sungguh dalam membantu warga miskin yang ada.

Jika kemudian didapati oleh Gubernur Jawa Tengah ada beberapa SKTM fiktif setelah dilakukan verifikasi lapangan (site visit), hampir ada 30 ribu pendaftar tidak diloloskan karena menyerahkan SKTM fiktif, maka sesungguhnya proses kebohongan itu telah terjadi secara massif. Mulai dari keluarga yang bersangkutan, perangkat RT, sampai dinas yang mengeluarkan SKTM tersebut. Betapa kebohonan masal terjadi pada proses pendaftaran PPDB ini.

Kenapa kemudian panitia PPDB dengan kemajuan zaman dan kecanggihan teknologi yang ada pihak sekolah bekerjasama dengan dinas terkait yang dilakukan secara daring untuk mengetahui keberadaan ekonomi pendaftar. Bukankah itu hal yang mudah dilakukan karena untuk SMA dan sederajatnya sudah ditangani oleh Pemerintah Provinsi. Kapan Indonesia menuju system digital kalau praktik dilapangan masih menggunakan cara-cara tradisional. Namanya saja online tetapi seluruh persyaratan masih saja tetap harus mengunggah alias offline. Untuk apa e-ktp dan segala entitas program pemerintah yang ada saat ini.

Jurus Mabuk Orang Tua
Pernyataan yang berkembang saat ini adalah yang bersekolah itu bukan putranya melainkan orang tuanya. Gengsi orang tua telah menciderai kemerdekaan anak. Kebebasan untuk memilih telah dipasung oleh orang tua dengan mengikuti ‘nafsu’ orang tua memasukkan anaknya pada sekolah tertentu. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan penggunaan surat keterangan tidak mampu (SKTM) palsu dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) merusak karakter anak. Seperti yang dikutip antaranews "Orang tua yang menggunakan SKTM palsu disamping telah berbohong, juga merusak karakter anaknya sendiri dengan memberi contoh perilaku tidak jujur,"

Kedua adalah pesimisme bersaing. Cita-cita Indonesia untuk berdaya saing juga masih jauh dengan perilaku SKTM fiktif ini. Kita ketahui begitu banyak cara masuk SMA dengan berbagai kriterianya, namun cara afirmasi keluarga tidak mampu rupanya menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian orang tua. Hal ini disebabkan karena rendahnya optimism anaknya untuk dapat diterima dijalur yang lain.

Kedepan, saya mengusulkan agar PPDB online betul-betul dilakukan secara online dengan memanfaatkan database yang sudah ada. Jangan permainkan orang tua dengan mengurus ini dan itu berkali-kali untuk urusan yang sama. Kedua, marilah bersama-sama membangun kesadaran untuk melakukan yang terbaik kepada putra putri kita dengan mengarahkan yang terbaik, bukan ikut melakukan yang terbaik, selebihnya anak kita yang menentukan dan kita sebagai orang tua mengusahakan apa yang menjadi keinginannya senyampang tidak menyalai jalur kebaikan yang ada.

* Penulis Muhammad Yunus. Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Islam Malang (Unisma)

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES