Kopi TIMES

Benih

Kamis, 05 Juli 2018 - 07:19 | 73.34k
Ach Dhofir Zuhry (Grafis: TIMES Indonesia)
Ach Dhofir Zuhry (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANGASAL SEGALA sesuatu adalah benih, muasal segala hal adalah bibit. Namun demikian, tak semua bibit manjadi tanaman, tak seluruh benih manjadi kehidupan.

Barang siapa menanam, ia akan menuai. Jika Anda menanam padi, pasti menuai padi, mustahil panen jagung dan apalagi semangka. Bila Anda menanam tomat lalu panen ketela, atau bahkan Anda tidak menanam apapun, tetapi kemudian panen berjibun-jibun, pasti tanaman tetangga yang Anda panen seperti gerombolan pejabat itu. 

Pendek kata, kalau ingin menerima, berikan; jika ingin mendapatkan, tebarkan! Apakah kalimat tersebut terdengar aneh? Tentu tidak!

Mari belajar bertani dan berkebun, mengapa? Karena para petani adalah pihak yang paling sering membuktikan prinsip ini, yakni prinsip menanam dan tebar benih. 

Untuk menuai banyak padi, petani memberikan sebagian bibit ke bumi. Guna memanen sayuran dan palawija, para petani memberikan sebagian benih tanaman-tanaman itu ke tanah, kemudian disiram air: Tanah Air.

Tak cukup hanya menanam, para petani dan pekebun harus juga merawat, menyiram, menyiangi, menyulam bibit yang mati, memupuk, membersihkan hama dan rumput, bahkan merekondisi lingkungan sedemikian rupa dengan menyiasati cuaca, struktur tanah dan apapun saja agar tanaman menuai hasil sesuai harapan.

Artinya, ada rangkaian proses alamiah yang panjang yang tidak bisa diabaikan agar kelak panen satu dan (apalagi) sekian hal.

Prinsip ini sering diabaikan dan diremehkan orang-orang modern dan kaum mie instan milenial dengan mencibir, “kalau saya menanam kacang hari ini, besok saya dapat apa?” Jawabannya adalah: “benih kacang basah!” Jangan lupa, tidak ada yang instan di zaman mie instan ini. 

Anda memang bisa membeli apapun, tapi Anda tidak bisa membeli proses. Berharap sukses tanpa berproses, sekalipun Anda seorang laksamana Barbarossa, Anda tidak mungkin membawa perahu berlayar di atas daratan. Proses adalah kesabaran, ketekunan dan kedisiplinan. Mengabaikan proses berarti mengabaikan kualitas. Ingat, menelan karbit bukan solusi. 

Karbit, Anda tahu, ditelan menjadi racun, dimuntahkan menjadi api. Karbitan adakah kematangan palsu yang amatir. Apapun yang cepat masak, pasti cepat basi. Sebab kematangan adalah nama lain dari pendewasaan dalam irama proses.

Baik, kita teruskan pasal kacang. Apabila Anda menanam 1.000 kacang bibit unggul, tentu saja tidak semuanya akan tumbuh, 18% layu lalu mati, 15% termakan hama dan terik cuaca, 43% diterpa angin dan banjir, 6% lagi dimakan burung-burung. Anda stres, menengadah ke langit dan lalu berteriak, “ini tidak adil…” Sembari tersenyum, Tuhan akan menjawab, “demikianlah hidup!”

Anda tahu, untuk mendapatkan seorang sahabat terbaik, Anda perlu berteman dengan ribuan orang. Guna memiliki karyawan teladan yang berdedikasi tinggi, Anda harus mewawancarai ribuan karyawan dalam kurun sekian dekade. Agar mendapatkan bakat-bakat terbaik, televisi perlu mengaudisi seluruh bakat di semua kota. Demikian seterusnya, yang terbaik tidak datang setiap saat, makin langka, makin berharga.

Banyak bibit-bibit kebaikan Anda yang kelak terbawa arus, kemudian teman-teman Anda diterpa angin, dan pada gilirannya usaha-usaha Anda layu. Anda tidak perlu takut dengan prilaku alam yang sedemikian, persiapkanlah, biasakanlah, ini semua bagian dari proses. Tugas Anda hanya menanam dan merawat, biarkan alam yang menumbuhkan, menyebarluaskan dan mendaur ulang tanaman-tanaman kesalehan Anda.

Walhasil, jangan remehkan sebulir padi, jangan rendahkan sebiji jagung! Padi telah menggenggam kualitas diri dan bibitnya sejak belasan ribu tahun lalu dan entah sampai ratusan ribu tahun yang akan datang. Jagung telah mempertahankan kualitas kejagungannya dari zaman pra manusia sampai nanti kiamat tiba. Demikan seharusnya manusia: memperjuangkan dan mempertahankan kualitas dirinya. Berusaha sampai batas kemampuan, sebab alam hanya memberi penghargaan pada upaya dan kerja keras, bukan alasan dan apolagi.

Sekali lagi, alam tak bisa Anda tipu, kehidupan tak pernah berhutang budi pada Anda. Nah!

__________
* Penulis Ach Dhofir Zuhry adalah ketua STF AL-FARABI dan pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah Kepanjen. Buku terbarunya yang akan segera rilis adalah KONDOM GERGAJI dan PERADABAN SARUNG (Veni, Vidi, Santri)

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES