Kopi TIMES

Memupuk Rasa Nasionalisme dengan Menciptakan Pilkada Serentak Aman dan Damai

Senin, 28 Mei 2018 - 10:16 | 58.79k
Drs. Suyitno, M. Pd, Pengembang dan Pengamat Pendidikan dan Masyarakat. (FOTO: Istimewa)
Drs. Suyitno, M. Pd, Pengembang dan Pengamat Pendidikan dan Masyarakat. (FOTO: Istimewa)

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Pemungutan suara dalam Pilkada Serentak 2018 kurang sebulan lagi. Pada 27 Juni nanti, rakyat di 171 daerah se-Indonesia akan menggunakan hak pilih untuk menentukan kepala daerah yang akan memimpin selama lima tahun ke depan. Meliputi 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten.

Pilkada Serentak ini, merupakan wujud dari demokrasi di tingkat daerah. Demokrasi mengandaikan kekuasaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan, sesuai dengan asal kata ini: ‘Demos’ yang berarati ‘rakyat’, dan ‘kritos’ yang berarti ‘kekuatan’ atau ‘kekuasaan’.

Dengan demokrasi, rakyat berpartisipasi dalam pemerintahan, baik secara langsung atau melalui perwakilan. Dalam konteks Pilkada Serentak, rakyat akan berpartisipasi secara langsung memilih pasangan calon (paslon) yang akan diberi mandat untuk memimpin pemerintahan selama lima tahun ke depan.

Sebagai warga negara, kita berharap pelaksanaan Pilkada Serentak ini berjalan sesuai ketentuan, berlangsung aman dan damai. Sehingga lewat pemilihan yang sehat, akan lahir kepala daerah yang amanah dan berkualitas.

Bukan malah sebaliknya: terjadi konflik, dan menimbulkan perpecahan rakyat berdasarkan kepentingan kelompok atau golongan yang mengancam persatuan dan kesatuan. Kalau ini yang terjadi, pembangunan daerah akan terganggu. Kesejahteraan rakyat sebagai salah satu tujuan kehidupan demokratis, akan sulit dicapai.

Pelaksanaan Pilkada Serentak aman dan damai, bukan semata tanggung jawab aparat kepolisian, penyelenggara maupun pengawas pemilu. Semua elemen harus punya komitmen yang sama. Mulai dari pasangan calon (paslon) sebagai kontestan pilkada, parpol atau gabungan parpol sebagai pengusung paslon, penyelenggara dan pengawas pemilu, hingga rakyat sebagai pemilih.

Sebagai kontestan, paslon harus siap menang dan siap kalah. Bila kalah, ia harus bisa menerima kekalahan. Kalaupun terjadi sengketa hasil pilkada, hendaknya menempuh prosedur yang telah disiapkan oleh regulasi yang ada. Ia juga tak boleh mengganggu/merongrong jalannya pemerintahan, sebagai wujud dari komitmen siap kalah.

Bagi paslon pemenang, tidak boleh jumawa dengan hasil pemilihan. Ia harus bisa merangkul semua golongan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan atau pembangunan daerah. Dikotomi kelompok/golongan kawan dan lawan selama kontestai pilkada berlangsung, harus disudahi.

Yang tak kalah penting, paslon maupun tim pemenangan tidak menggunakan isu-usu Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA) dalam kampanye. Sentimen primordial juga mesti dijauhi. Yaitu pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya.

Pelaksanaan pilkada DKI Jakarta pada 2017 lalu, menjadi pelajaran bersama. Di dalamnya tergambar, bagaimana sentimen etnis dan agama, mengemuka dan menyebar di ruang media sosial (medsos). Sentimen ini, menyebar ke penjuru tanah air lewat perantara medsos. Jika yang seperti ini terus terulang, perpecahan dan disintegrasi bangsa bisa terjadi.

Padahal, seperti disampaikan Presiden Joko Widodo dalam Peringatan Konferensi Asia-Afrika Tahun 2017 di Istana Negara, Jakarta, Indonesia merupakan bangsa majemuk. Indonesia mempunyai lebih dari 714 suku. Bahkan menurut data BPS malah 1.340 suku. Mempunyai beragam ras, dan bermacam agama.

Di negeri ini juga ada sekitar 300 kelompok etnis. Setiap etnis memiliki warisan budaya yang berkembang selama berabad-abad. Dipengaruhi oleh kebudayaan India, Arab, Tiongkok, Eropa, dan termasuk kebudayaan sendiri yaitu Melayu yang selama ini hidup berdampingan secara harmonis. Kemajemukan ini tidak boleh dicederai hanya dengan Pilkada Serentak 2018 yang tak sehat.

Bagi parpol atau gabungan parpol yang mengusung paslon, peran yang bisa diambil dalam menciptakan Pilkada aman dan damai, yaitu dengan memberikan pendidikan politik kepada rakyat. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik.

Lewat pendidikan politik, parpol menjalankan proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sesuai dengan bunyi regulasinya, materi pendidikan politik ini meliputi pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara. Yaitu  Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kemudian, ada materi pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik, serta pengkaderan anggota partai politik secara berjenjang dan berkelanjutan. Lewat pendidikan politik ini, warga negara diharapkan memiliki kesadaran politik.

Bagaimana dengan peran warga negara? Sebagai pemilih, momentum Pilkada Serentak 2018 ini harus jadi media untuk membangun nasionalisme kewarganegaraan (civil nationalism). Yaitu, dengan memilih siapapun calon yang telah ditetapkan oleh KPU berdasar visi, misi, dan program calon terhadap masa depan daerah.

Bukan memilih menggunakan pertimbangan ras, suku, agama, atau unsur primordialisme lainnya. Sebab, kepala daerah bukan pemipin satu kelompok atau golongan saja, melainkan untuk semua golongan. Jika hal itu bisa dilakukan, persatuan dan kesatuan bangsa akan menguat.

Sebagai catatan terakhir, di era di mana fakta-fakta obyektif tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal seperti saat ini, semua pihak seyogyanya memiliki kemampuan literasi digital. Utamanya selama proses Pilkada Serentak 2018 berlangsung.

Yaitu kemampuan membaca, memahami dan menganalisa berbagai sumber digital yang membanjiri kehidupan. Semua pihak juga perlu ketahanan informasi berupa kemampuan menyaring dan mencegah berbagai informasi tidak benar dan tanpa data, termasuk penyebaran hoak.

Tuntutan ini tak lepas dari status pertumbuhan pengguna internet di Indonesia sebagai yang terbesar berdasarkan data dari WeAreSocial dan Hootsuite 2017. Pengguna internet tercatat sebesar 132 juta, dan 40 persen diantaranya penggila media sosial. Pertumbuhan pengguna media sosial meningkat sebesar 39 persen dibanding tahun sebelumnya.

Dengan latar pertumbuhan pengguna internet yang begitu pesat itu, tak menutup kemungkinan perebutan kekuasaan menjadi kepala daerah lewat Pilkada Serentak 2018, memicu munculnya banyak informasi hoak, fitnah maupun informasi negatif lainnya di ruang medsos. Terutama yang muncul dari sentimen primordialisme untuk meraup suara.

Akhir kata, peran serta semua elemen, kita berharap Pilkada Serentak 2018 berjalan aman dan damai. Sebab hanya dengan pilkada yang sehat, akan dihasilkan kepala daerah berkualitas sebagai wujud rasa nasionalisme kehidupan berbangsa dan bernegara. (*)

Oleh: Drs. Suyitno, M. Pd, Pengembang dan Pengamat Pendidikan dan Masyarakat.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES