Kopi TIMES

Jika Dianggap Tak Penting, BPD di Banyuwangi Lebih Baik Dibubarkan Saja!

Minggu, 29 April 2018 - 14:20 | 301.68k
Rudi Hartono Latif, Ketua Asosiasi BPD Kabupaten Banyuwangi. (Grafis: TIMES Indonesia)
Rudi Hartono Latif, Ketua Asosiasi BPD Kabupaten Banyuwangi. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Undang-Undang Desatelah mengatur bahwa selain Kepala Desa (Kades), lembaga yang dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Desa, adalah Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Yaitu lembaga pelaksana fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.

Lembaga ini mempunyai tiga fungsi. Membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa (Raperdes) bersama Kepala Desa, Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa dan melakukan pengawasan kinerja Kades.

Jika melihat dari Undang-Undang Desa, yang kemudian di-breakdown dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 110 Tahun 2016 tentang BPD dan di Kabupaten Banyuwangi, dipertegas pengaturannya melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2017 tentang BPD, keberadaan BPD sangatlah strategis dan teramat sangat penting.

Lalu apakah di Kabupaten yang tata kelola pemerintahan desanya dikenal di seantero negeri dengan program Smart Kampung dan eVB (e-Village Budgeting) ini keberadaan BPD sekaligus pelaksanaan fungsinya sudah baik sesuai sebagaimana yang diatur dalam regulasi tersebut?. Jawabnya, suka tidak suka, mau tidak mau, jika berdasarkan realita secara jujur, pasti jawabannya adalah tidak. Atau jika diperhalus, belum.

Fungsi pertama, yaitu membahas dan menyepakati Raperdes bersama Kades. Pada praktiknya masih jauh dari aturan main yang ada. Sebagian besar BPD dari 189 desa di Bumi Blambangan, pada kenyataannya tidak pernah membahas Raperdes. Bahkan untuk kepentingan RPJMDes, RKPDes dan APBDes pun, BPD belum banyak dikaryakan. Sang Ketua BPD langsung disodori dokumen untuk seketika ditandatangani dalam forum musyawarah formalitas yang digelar Kades. 

Sedang seluruh anggota dimintai tandatangan rangkap banyak untuk berbagai pemenuhan administrasi. Jangankan membahas, membaca dokumennya saja tidak berkesempatan. Dan juga tidak mendapatkan salinan dari dokumen termaksud.

Fungsi kedua yaitu menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa. Di sini BPD juga masih teramat sangat jauh dari idealitas yang semestinya. Bahkan keberadaan BPD nyaris tidak diketahui oleh warga, apalagi fungsinya.

Bagi sebagian tokoh warga yang aktif di lembaga kemasyarakatan pun, BPD hanya dianggap sebagai semacam penasihat yang berperan jika dibutuhkan oleh Kades saja.

Fungsi ketiga yaitu melakukan pengawasan kinerja Kades. Tugas ini hanya dijalankan disebagian sangat kecil dari jumlah desa yang ada di Banyuwangi. 

Apalagi mengingat sebagian besar keanggotaan BPD adalah penunjukan Kades. Tentu saja itu orang-orangnya sendiri yang tidak mungkin menjalankan fungsi pengawasan. 

Bahkan, hingga 4 tahun pelaksanaan Undang-Undang Desa, masih teramat sangat banyak BPD yang tidak pernah menerima Laporan Keterangan Penyelenggaraan Pemerintah Desa.

Selain ketiga fungsi tersebut BPD juga merupakan lembaga yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan Musyawarah Desa (Musdes). Merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa dan unsur masyarakat Desa untuk membahas hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. 

Setidaknya Musdes ini diselenggarakan sekali dalam setahun. Yaitu Musdes Perencanaan Pembangunan di bulan Juni. Juga untuk membahas hal strategis tentang penataan desa dan lain sebagainya. 

Sayangnya, sama halnya dengan ketiga fungsi yang terurai diatas, BPD yang menyelenggarakan Musdes hanya sebagian saja. Itupun mayoritas hanya terselenggara secara formalitas, jauh dari hakikat prinsip partisipatif.

Itu semua terjadi lantaran pertama, anggota BPD tidak melek regulasi dan tidak pernah mendapatkan pelatihan ke-BPD-an serta tata kelola desa secara umum. Kedua, Pemdes (Kades) sepertinya tidak rela fungsi BPD berjalan sebagaimana mestinya. 

Bahkan, keberadaan Asosiasi BPD Kabupaten Banyuwangi, yang secara swadaya melakukan serangkaian kegiatan peningkatan kapasitas BPD yang kemudian mulai mampu menggugah pemahaman untuk menjalankan fungsi sesuai regulasi, mendapatkan perlawanan dari hampir seluruh Pemdes. BPD dianggap mulai nglunjak dan over, mengusik kekuasaan tunggal Kades.

Ketiga, Camat yang diberi mandat kewenangan Bupati dalam melakukan pembinaan dan verifikasi APBDes pada kenyataannya tidak mencermati pelaksanaan proses. Tetapi lebih berorientasi pada hasil atau bisa dibilang asal dokumen administrasinya terpenuhi.

Keempat, Pemkab lemah dalam kontrol implementasi Perda dan Perbup yang terkait dengan Desa.

BPD yang keanggotaannya menjabat hingga hari ini mayoritas adalah penunjukan Kades. Di sebagian desa lainnya adalah hasil permusyawaratan yang hanya formalitas saja. Sedangkan yang benar-benar melakukan proses secara demokratis hanya di sebagian kecil desa. Dan ditahun 2018 ini, hampir seluruh BPD di Banyuwangi, habis masa jabatan keanggotaannya, yaitu selama 6 tahun. 

Tentu saja sesuai Perbup Nomor 2 Tahun 2017, maka harus dilakukan pemilihan anggota BPD sebelum berakhirnya masa jabatan BPD. Karena BPD tidak boleh ada kekosongan. Juga tidak ada mekanisme Penjabat sementara BPD.

Tentu saja masa akhir jabatan ini mestinya menjadi momentum yang baik guna perbaikan BPD ke depan. Karena, tidak akan mungkin tercipta tata kelola pemerintahan desa yang baik jika tanpa adanya BPD yang baik dan benar dalam menjalankan peran fungsinya.

Sayangnya, meskipun fungsi BPD secara regulatif teramat sangat strategis setara dengan fungsi Kades, pemilihan BPD tidak diistimewakan sebagaimana pemilihan Kades. Pemilihan 51 Kades secara serentak yang baru saja terselenggara, mendapatkan perhatian serius dari berbagai kalangan. Tapi, diajang pemilihan BPD hampir di 189 desa saat ini benar-benar senyap.

Ada satu desa yaitu Desa Glagah, Kecamatan Glagah, yang pada bulan Februari 2018 sudah habis masa jabatannya. Tapi BPD yang terpilih untuk periode berikutnya belum mendapatkan pengesahan berupa SK Bupati dan pelantikan oleh Camat dengan atasnama Bupati, sehingga terjadi kekosongan BPD. Proses pembahasan dokumen perencanaan pembangunan pun akhirnya mandeg. Dan jika dipaksakan jalan, hampir bisa dipastikan seluruh hasil kebijakan cacat hukum.

Di banyak desa lainnya, tiba-tiba tanpa berproses yang demokratis Kades melakukan penunjukan BPD baru. Menggusur habis BPD yang dianggap mengganggu kekuasaan tunggal Kades.

Sebagian desa lainnya terjadi deal antara Kades dan anggota BPD untuk menetapkan kembali yang lama karena dianggap bisa bermitra "tau sama tau". Dan permusyawaratannya pun dilakukan hanya sekedar menggugurkan kewajiban. 

Ada lagi yang hingga kini belum berproses, karena Kades ingin setting sementara BPD lama dan tokoh-tokoh masyarakat menghendaki pemilihan yang demokratis. Hanya sedikit sekali desa yang melakukan hal seperti di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, yang jauh-jauh hari membentuk panitia melalui Musdes untuk kemudian melakukan serangkaian acara sosialisasi kepada warga masyarakat guna pendidikan politik desa yang ideal dengan harapan terpilih anggota BPD yang legitimate dan tepat sesuai kebutuhan peruntukannya.

Sebagai upaya penataan desa yang lebih baik, momentum pemilihan BPD seharusnya dipandang sebagai hal strategis yang pembahasannya wajib diselenggarakan melalui forum permusyawaratan tertinggi. Yaitu Musdes yang diselenggarakan oleh BPD. Di dalam Musdes itulah setidaknya dibahas dan disepakati berapa jumlah anggota BPD, mekanisme pemilihan yang digunakan yaitu apakah secara langsung one man one vote atau permusyawaratan atau pemilihan perwakilan. Siapa perwakilan warga yang bermusyawarah atau melakukan voting pemilihan, bisa dilakukan penambahan persyaratan berskala desa. Kemudian membentuk panitia yang diamanati melaksanakan pemilihan dengan didahului sosialisasi secara massif kepada segenap warga.

Pemkab dan Kecamatan sudah semestinya menghentikan sesat pikir paradigma pembangunan Desa. Sebagai "pembina" desa, seharusnya mampu melakukan kontrol yang ketat atas pelaksanaan pemilihan BPD ini, dengan mengedepankan proses. 

Bukan menutup mata telinga serta melakukan pembiaran yang kelak mempengaruhi kualitas kapasitas keanggotaan BPD. Dan pada akhirnya berpengaruh pada masa depan tata kelola pemerintahan Desa.

Namun jika dianggap BPD tidak penting dan dibiarkan asal ada secara formalitas saja, untuk kemudian segala hal terkait proses yang terkait fungsi BPD disiasati dengan asalkan tercukupi dokumen administrasi yang entah bagaimana caranya, jauh lebih baik usulkan saja revisi Undang-Undang Desa agar BPD dibubarkan atau ditiadakan. Lalu biarkan desa dalam kekuasaan tunggal Kepala Desa.

Haruskah demikian???. (*)

Ditulis oleh: Rudi Hartono Latif, Ketua Asosiasi BPD Kabupaten Banyuwangi.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES