Kopi TIMES

Pilkada Aman dan Damai, Wujud Nyata Peningkatan Nasionalisme Bangsa

Rabu, 28 Maret 2018 - 09:01 | 79.77k
ILUSTRASI; Pilkada. (Grafis: TIMES Indonesia)
ILUSTRASI; Pilkada. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Ada 171 daerah se-Indonesia yang akan melangsungkan pilkada serentak, Juni 2018 nanti. Meliputi 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Di Jawa Timur, ada 5 kota dan 13 kabupaten yang akan melangsungkan pilkada ini. Kabupaten dan Kota Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang dan Bondowoso termasuk di dalamnya.

Lewat pilkada ini, elit-elit politik berlomba merebut suara rakyat di daerah masing-masing, dengan berbagai cara. Tujuannya, agar terpilih menjadi kepala daerah. Perebutan kekuasaan ini, berpotensi menjadi pemecah belah masyarakat, yang pada gilirannya, merongrong kesatuan dan persatuan Indonesia. 

Di sisi lain, pilkada merupakan prosedur demokratis untuk menentukan kepala daerah. Pertanyaannya, bagaimana satu hajatan pilkada bisa menjadi 'ancaman' bagi nasionalisme, sementara di saat bersamaan ia menjadi prosedur demokratis penentuan pimpinan? 

Erlin-Cahaya.jpgErlin Cahaya S, SH, MH (foto: Istimewa)

Mengutip pernyataan Direktur Eksekutif Lingkaran Survey Indonesia (LSI), Denny JA mengatakan, Pilkada Serentak Tahun 2018 merupakan perang media sosial (medsos). Sejak media sosial muncul, medan politik telah berubah. Tokoh dan partai yang unggul karena memaksimalkan media sosial.

Hal itu sejalan dengan perkembangan internet dan pengguna medsos di tanah air, yang naik tajam. Pengguna internet di Indonesia tumbuh signifikan 51 persen (Mei 2017). Angka pertumbuhan ini menjadi yang terbesar di dunia berdasarkan data dari WeAreSocial dan Hootsuite 2017.

Kemudian, pengguna internet tercatat sebesar 132 juta, dan 40 persen diantaranya penggila media sosial. Pertumbuhan pengguna media sosial meningkat sebesar 39 persen dibanding tahun sebelumnya.

Perkembangan ini membuat medsos media menjadi pilihan kontestan Pilkada untuk menyampaikan pesan, visi misi serta program unggulannya kepada masyarakat. Lewat medsos juga, kontestan Pilkada menggambarkan profil dan latar belakang yang dimiliki. Atau bahkan lewat medsos juga, mereka menyerang pihak lawan dengan kampanye hitam (black Champaign), hoax, berita bohong (fake news), ujaran kebencian (hate speech) dan lainnya.

Beragam informasi jadi bertebaran di medsos. Masyarakat sebagai pasar yang diperebutkan kontestan Pilkada, dihadapkan pada zaman banjir informasi, dan sulit membedakan mana yang benar dan mana yang tidak. Informasi dengan begitu mudahnya menjadi massif dan viral.

Yang menjadi catatan, dukung mendukung kontestan dalam ajang Pilkada tak jarang mengantarkan munculnya primordialisme etnis, agama atau aliran, serta kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Hal ini juga tercermin dan menyebar dalam ruang medsos.

Emosi masyarakat diaduk-aduk, data dan fakta dinomor duakan atau diabaikan sama sekali. Pesan-pesan di-buzz di ruang medsos hingga menjadi viral dan berkembang biak ke mana-mana. Dan celakanya, kontent-kontent yang belum tentu kebenarannya ini, tak jarang memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat.

Pelaksanaan pilkada DKI Jakarta pada 2017 lalu menjadi pelajaran bagaimana penggunaan medsos oleh kontestan. Di dalamnya juga tergambar, bagaimana konten-konten sentimen etnis, agama, kelompok dan aliran mengemuka di ruang medsos.

Masyarakat terpecah. Sentimen etnis, agama, aliran dan kelompok masyarakat di Jakarta saat pilkada berlangsung, menyebar ke penjuru tanah air lewat perantara medsos. Dengan medsos, pesan-pesan di dalamnya menembus bahasan tempat. Jika ini dibiarkan, perpecahan dan disintegrasi bangsa bisa terjadi.

Sebagaiaman diketahui, Indonesia merupakan bangsa majemuk. Indonesia merupakan salah satu negara multikultural tebesar di dunia. Ada sekitar 300 kelompok etnis. Setiap etnis memiliki warisan budaya yang berkembang selama berabad-abad. Dipengaruhi oleh kebudayaan India, Arab, Tiongkok, Eropa, dan termasuk kebudayaan sendiri yaitu Melayu.

Konflik Suku, Agara, Ras dan Antar Golongan (SARA) sudah sering terjadi. Dengan politik yang sentimentil terhadap etnis, agama atau aliran atau golongan yang mengaduk-aduk emosi, yang kemudian viral di medsos, bisa memicu disintegrasi bangsa.

Bahaya ini disadari betul oleh pemerintah bersama para aparaturnya, lalu tercipta sejumlah regulasi. Begitu juga dengan penyelenggara pemilihan (KPU), hingga penggunaan media sosial dalam masa kampanye, juga diatur dalam regulasi KPU. 

Kemudian berdasarkan regulasi tersebut, panwaslu juga bergerak. Polisi juga meningkatkan patroli dunia maya untuk memastikan ruang medsos tetap kondusif menjelang, saat pelaksanaan dan pasca pilkada berlangsung. 

Terkait dengan medsos sebagai medan pertarungan politik ini, ada fenomena besar yang perlu dicermati. Yakni kondisi di mana fakta-fakta obyektif tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Kondisi ini disebut dengan post-truth (pasca kebenaran).

Fenomena post-truth ini begitu populer sepanjang 2016 hingga Kamus Oxford menjadikannya sebagai “Word of the Year” tahun 2016. Berdasarkan keterangan editornya, jumlah penggunaan istilah tersebut di tahun 2016 meningkat 2000 persen bila dibandingkan 2015. 

Sebagian besar penggunaan istilah post-truth merujuk pada dua momen politik paling berpengaruh di tahun 2016: keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit), dan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat.

Kondisi ini memang memuncak dalam dua momen politik tersebut, yang digerakkan oleh sentimen emosi. Dalam situasi tersebut, informasi-informasi hoax dan berita bohong, punya pengaruh yang jauh lebih besar ketimbang fakta yang sebenarnya.

Selain ditandai dengan merebaknya berita hoax di media sosial, era post-truth juga ditandai dengan kebimbangan media dan jurnalisme, dalam menghadapi pernyataan-pernyataan bohong dari para politisi.

Di era post-truth ini, media apapun—terutama medsos, dapat dipakai untuk mengirim pesan yang lebih menonjolkan opini ketimbang fakta. Setiap orang bisa mempublikasikan opininya sendiri. Maka fakta apapun akan tenggelam oleh kerasnya suara pengirim pesan. 

Setiap orang dapat menerbitkan opininya, setiap orang menawarkan tafsirnya sendiri terhadap fakta. Yang paling repot, setiap orang mengklaim bahwa tafsirnya yang paling benar. Opini inilah yang diangkat sebagai kebenaran, bukan faktanya.

Bagaimana di Indonesia? Tertangkapnya para pengelola “bisnis hoak” dan kabar bohong Saracen, menunjukan bahwa fenomena Post-Truth juga terjadi di Indonesia. Bukti lainnya adalah terungkapnya jaringan penebar ujaran kebencian Muslim Cyber Army (MCA), belum lama ini. 

Sebagai salah satu negara dengan pengguna internet terbesar di dunia, sebagaimana data di awal tulisan ini, Indonesia potensial menjadi target fenomenan Post-Truth. Baik untuk tujuan ekonomi maupun kepentingan politik. Lebih-lebih dalam hajatan pilkada serentak 2018 ini.

Dari sini terlihat, bagaimana hajatan pilkada berpotensi menjadi pemecah belah masyarakat di era post-truth, yang pada gilirannya menuju disintegrasi bangsa. Lalu, apa yang perlu dilakukan untuk menangkal ancaman tersebut?

Primordialisme suku, agama, ras dan antar golongan dalam pilkada harus diakhiri. Langkah ini harus dilakukan bersama-sama antara kontestan pilkada, masyarakat, pemerintah dan penyelenggara pemilu, serta pihak terkait lainnya. Literasi digital juga perlu dimassifkan untuk menangkal post-truth.

Politik berbasis sentimen primordial, mesti dirombak menjadi politik sipil berkeadaban. Masyarakat majemuk  yang terfragmentasi, ditansformasikan menjadi masyarakat multikultural yang mengakui dan menghargai kehadiran beragam kelompok dalam kesatuan masyarakat luas.

Momentum pilkada serentak 2018 ini, harus jadi media untuk membangun nasionalisme bangsa. Yaitu pilkada aman dan damai. Jika hal itu bisa diwujudkan, persatuan dan kesatuan bangsa akan menguat. (*)

Oleh: Erlin Cahaya S, SH, MH, Tokoh Masyarakat / Konsultan Hukum Probolinggo

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES