Peristiwa Daerah

Berawal dari Siswa Asuh Sebaya, SAS Tumbuh Menjadi Sekolah Asuh Sekolah

Jumat, 23 Maret 2018 - 14:12 | 251.15k
Tim SAS Banyuwangi riang gembira mengikuti Outbound di Wisata Pinus Songgon, Kamis (22/3/2018). (FOTO: Dian Effendi/TIMES Indonesia)
Tim SAS Banyuwangi riang gembira mengikuti Outbound di Wisata Pinus Songgon, Kamis (22/3/2018). (FOTO: Dian Effendi/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Seiring dengan tumbuhnya rasa saling peduli antar pelajar, Inovasi program Siswa Asuh Sebaya (SAS) di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur berkembang menjadi program Sekolah Asuh Sekolah.

Inovasi tersebut muncul atas ide dari tim SAS di setiap sekolah. Meski mereka masih anak-anak, namun sikap dan niat untuk membantu mengatasi kekurangan siswa yang lain patut diacungi jempol.

Untuk mengupas secara mendalam program SAS di Banyuwangi, TIMES Indonesia meliput secara langsung kegiatan Training dan Outbound Tim SAS di Wisata Pinus Songgon, Kamis (22/3/2018) kemarin.

Sejak pagi, ratusan pelajar dari perwakilan Tim SAS SD dari 25 UPTD Pendidikan dan perwakilan SMP di Banyuwangi dengan bersemangat mengikuti rangkaian kegiatan outbound. Mereka dilatih membangun kekompakan, kerjasama, tanggungjawab, saling bantu-membantu, menumbuhkan rasa empati, dan menciptakan kesolidan.

Kepala Dinas Pendidikan Banyuwangi, Sulihtiyono menjelaskan, masing-masing tim SAS yang mengikuti kegiatan ini terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, satu anggota, dan satu guru pembina. Mereka dilatih menumbuhkan rasa empati dan dididik untuk berorganisasi.

“Menjadi pengurus SAS sama halnya berorganisasi. Sebuah organisasi harus punya program kerja, memiliki kegiatan, dan juga harus punya administrasi dan pelaporan,” jelas Sulihtiyono.

Kasubag Keuangan Dinas Pendidikan Banyuwangi, Nuriyatus Sholeha mencontohkan, sebagai ketua tim SAS, seorang siswa harus memiliki program kerja, punya inovasi, dan mempunyai jiwa kepemimpinan. Jika tidak, organisasi yang dia pimpin tidak akan berjalan dengan baik.

Perkembangan SAS bisa dikatakan berjalan lancar dan terus berkembang. Berdasarkan laporan yang dia terima, uang SAS yang terkumpul dari seluruh sekolah SD dan SMP di Banyuwangi mencapai angka Rp 1,2 miliar. Jumlah sebesar itu merupakan hasil iuran sukarela dari setiap murid setelah menyisihkan sisa uang saku.

“Uang yang terkumpul dikelola sendiri oleh Tim SAS di masing-masing sekolah. Yang mengalokasikan juga mereka sendiri. Misalnya ada salah satu siswa yang sepatunya jebol, maka pengurus SAS di sekolah itu berinisiatif untuk membantu membelikan sepatu. Mereka lapor ke guru pembina, dan uang SAS dikeluarkan untuk membantu siswa yang membutuhkan,” jelasnya.

Bahkan dalam beberapa waktu terakhir, kegiatan SAS yang notabene diperuntukkan bagi kalangan internal sekolah justru berkembang untuk membantu sekolah lain yang lebih membutuhkan. Ada beberapa tim SAS sekolah lain di Banyuwangi yang tidak optimal menggali dana sukarela dari siswanya. Biasanya itu terjadi di sekolah-sekolah pelosok yang rata-rata siswanya dari keluarga kurang mampu.

“Contohnya di SDN 4 Segobang, Kecamatan Licin. Rata-rata mereka (siswa) anak para penambang. Bagi mereka uang Rp 500 sangat berarti dan otomatis untuk menyisihkan sumbangan ke siswa yang lain juga tidak punya. Tugas tim SAS di sekolah ini tidak menerima (sumbangan), tapi mengusulkan kepada kepala sekolah jika ada siswa yang butuh bantuan. Misal seragam atau sepatunya rusak,” tambahnya.

Nantinya, lanjut Nuriyatus, kepala sekolah melaporkan kepada kepala UPTD untuk mencarikan tim SAS sekolah lain untuk membantu. Kesadaran dan gerakan saling tolong menolong inilah yang dimaksud dengan Sekolah Asuh Sekolah.

Contoh lain kegiatan Sekolah Asuh Sekolah adalah pada saat Banyuwangi tiba-tiba terkena musibah banjir beberapa waktu lalu. Saat itu 13 murid dari SDN 3 Lateng rumahnya hanyut. Saat itu tim SAS dari sekolah lain langsung memberikan bantuan berupa seragam dan peralatan sekolah.

Menurut Nuriyatus, program SAS harus terus diaktifkan, disebarkan, dan dikuatkan. Jika untuk membantu siswa hanya mengandalkan anggaran pemerintah, tentu membutuhkan proses panjang dan memakan waktu.

“Kalau anggaran pemerintah itu ada prosedurnya, waktunya ditentukan, dan harus melalui mekanisme dan aturan. Misal tiba-tiba ada siswa yang memerlukan bantuan untuk beli peralatan sekolah, kalau menunggu bantuan pemerintah bisa terlambat dan malah tidak mau sekolah,” jelasnya.

Program SAS merupakan salah satu cara cepat menyelesaikan persoalan dunia pendidikan. Diharapkan tidak ada lagi siswa yang seragamnya rusak dan malu masuk sekolah. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES