Ekonomi

Kini Jember Punya Batik Tulis Khas Meru Betiri

Kamis, 22 Maret 2018 - 07:48 | 57.73k
Pembatik batik tulis Meru Betiri. (FOTO: Istimewa)
Pembatik batik tulis Meru Betiri. (FOTO: Istimewa)

TIMESINDONESIA, JEMBER – Kini Jember punya batik tulis khas, batik tulis Meru Betiri. Batik tulis produksi para ibu di Desa Wonoasri, kecamatan Tempurejo, Jember, yang merupakan desa penyangga Taman Nasional Meru Betiri (TNMB).

Motif batik tulis Meru Betiri ini lahir dari program pelatihan membatik yang menjadi salah satu subprogram dalam program Mitigasi Bencana Berbasis Lahan yang diselenggarakan oleh Universitas Jember, dengan dukungan dana dari Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bappenas, serta USAID. 

Terdapat 13 motif batik yang semuanya bersumber dari kekayaan hayati TNMB. Uniknya lagi semua batik tulis karya ibu-ibu Desa Wonoasri adalah batik tulis yang menggunakan pewarna alami.

“Ada 13 motif batik yang telah kami buat yang idenya bersumber dari kekayaan flora TNMB, misalnya motif bunga raflesia, cabe jawa, dan blarak atau daun kelapa. Sementara motif elang Jawa, sisik trenggiling, dan macan tutul mengambil dari fauna yang menghuni TNMB, ada juga motif perpaduan antara flora dengan fauna, yakni tawon raflesia,” ujar Supmini Wardhani yang bertugas menjadi desainer dalam kelompok Kehati Meru Betiri, Rabu, (21/3/2018).

Kehati Meru Betiri merupakan kelompok pembatik yang pembentukannya difasilitasi oleh para peneliti Universitas Jember. Kelompok Kehati Meru Betiri beranggotakan 46 anggota yang telah mendapatkan pelatihan membatik selama 14 hari dengan bimbingan Soediono dari sanggar batik Godhong Mbako, Jember.  

Uniknya lagi, semua batik diproses dengan pewarnaan alami tanpa bahan kimia. “Untuk mendapatkan warna hitam kami menggunakan akar dan batang tanaman mangrove, warna merah dari daun jati, warna krem dari daun tumbuhan Putri Malu, serta pewarna alami lainnya yang tersedia di lingkungan sekitar kami,” tutur Aris Rudiarso yang bertugas memberikan warna setelah kain batik selesai dicanting.

Untuk mendapatkan pewarnaan yang maksimal, selembar kain harus melewati proses pewarnaan minimal enam kali pencelupan, dan setiap kali proses pewarnaan membutuhkan waktu sekitar 36 jam. “Itu untuk satu warna saja lho, proses makin lama jika dalam selembar kain batik ada dua warna atau bahkan lebih. Penggunaan pewarna alami inilah yang membuat batik produksi kami umumnya bernuansa warna pastel, tidak ada warna yang mencolok,” imbuh Aris lagi.

Pilihan menggunakan pewarna alami dengan pilihan warna pastel didukung oleh Soediono, sang guru membatik. Menurutnya justru batik tulis tradisional yang masih memegang teguh tradisi hanya mengenal tiga warna, yakni hitam, putih dan coklat atau soga.

“Hitam melambangkan dunia sebelum mengenal petunjuk kebenaran, putih setelah datangnya agama, dan warna coklat atau soga yang melambangkan manusia,” jelas Soediono.

Pria yang menggeluti dunia batik semenjak usia muda ini selain mengajarkan teknis membatik juga memberikan dasar filosofi batik kepada anak didiknya. Menurutnya proses yang lama dan membutuhkan ketekunan ekstra inilah yang membuat batik yang diproduksi Kehati Meru Betiri dihargai cukup mahal, selembar batik ukuran 2 meter dijual Rp 300 ribu hingga Rp 450 ribu. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Widodo Irianto
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES