Politik

KH Abdul Wahid Sang Hafidzul Qur'an Kota Banyuwangi

Jumat, 02 Februari 2018 - 16:44 | 383.28k
Ayung Notonegoro, penggiat di Komunitas Pegon yang bergerak dalam meneliti, mendokumentasi, dan mempublikasi sejarah dan hal ihwal tentang pesantren dan NU. (FOTO: Dokumentasi TIMES Indonesia)
Ayung Notonegoro, penggiat di Komunitas Pegon yang bergerak dalam meneliti, mendokumentasi, dan mempublikasi sejarah dan hal ihwal tentang pesantren dan NU. (FOTO: Dokumentasi TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Jika bertandang di seputar kota Banyuwangi dan mencari pesantren, maka nama Pondok Pesantren (PP) Al-Anwari yang bakal menjadi rujukan. Dapat dikatan, Al-Anwari adalah pesantren yang cukup besar dan eksis di tengah kota pusat pemerintahan Kabupaten Banyuwangi.

Pesantren tersebut, terletak di Kelurahan Kertosari. Sekitar 500 meter ke arah Timur dari Kantor Bupati Banyuwangi. Tak jauh dari Universitas PGRI Banyuwangi.

Pada awal berdirinya, Pesantren Al-Anwari dikenal sebagai pesantren tahfidzul qur'an. Yakni, pesantren yang mengkhususkan untuk menghafalkan Al-Qur'an. Pesantren yang berdiri pada 1983 tersebut, dapat dikatakan pesantren tahfidz generasi awal di Banyuwangi.

Banyak hufadz (para penghafal Qur'an) yang digembleng di pesantren tersebut. Hal ini, tentu tak terlepas dari kiprah sang pendiri dan pengasuh pertamanya, KH. Abdul Wahid bin Achwan bin Qohar.

Kiai Wahid, begitu namanya biasa disebut, memang dikenal sebagai seorang hafidzul qur'an di Banyuwangi. Reputasinya tak hanya dikenal di kotanya saja, tapi juga tersebar di daerah sekitarnya. Kecepatan dan kelancarannya membaca Al-Qur'an bil ghaib (tanpa melihat/ hafalan), tak diragukan lagi. Hampir setiap ada majelis khotmil qur'an bil ghaib, selalu ada namanya. 

Lebih-lebih, ia juga menguasai qiroah sab'ah. Yaitu cara membaca Al-Qur'an dalam tujuh dialek yang telah diakui oleh para sarjana Al-Qur'an seluruh dunia. Tak banyak kiai - terutama di Banyuwangi - yang menguasainya. Hal ini, membuat nama Kiai Wahid semakin cemerlang dalam dunia pembacaan Al-Qur'an.

Kiai Wahid asli berasal dari Bengkalingan, nama kuno Kertosari. Ia terlahir dari keluarga santri. Bapaknya, Haji Akwan adalah guru ngaji di kampungnya. Ia adalah lulusan Pesantren Termas, Pacitan. Di Termas, Haji Akwan berkawan baik dengan seorang santri yang kelak dikenal sebagai ulama besar dan waliyullah, KH Abdul Hamid Pasuruan.

Perkawanan antara Haji Akwan dengan Kiai Abdul Hamid ini, berlangsung sepanjang hayat. Untuk mempererat rasa persaudaraan tersebut, Akwan menitipkan anak pertamanya untuk dibimbing langsung kawannya tersebut. Ia adalah Abdul Wahid. Kala itu, Wahid masih berusia 8 tahun, sehingga Kiai Hamid menganggapnya sebagai anak sendiri.

Menginjak usia sepuluh tahun, Kiai Hamid mulai mendidik Abdul Wahid kecil untuk menghafalkan kitab suci umat Islam tersebut. Ada cara unik yang diterapkan Kiai Hamid untuk mendadar hafalannya. Setiap menjelang tidur, Kiai Hamid memberikan PR untuk menghafalkan beberapa ayat kepada Abdul Wahid. Lalu, ketika bangun di waktu Subuh, Kiai Hamid langsung menguji hafalannya. 

Akan tetapi, Kiai Hamid tak hanya mengetes Abdul Wahid dengan ayat-ayat yang telah dijadikan PR di malam harinya. Kiai Hamid juga mengetes beberapa ayat selanjutnya dari PR tersebut. Seandainya PR di malam harinya hanya ayat 1-10 Surat Al-An'am, maka di pagi harinya bisa di uji sampai ayat ke-15 sampai ke-20. Tak ayal, Kiai Wahid muda pun berusaha menghafalkan dua kali lebih banyak dari PR yang ditetapkan. 

Berkat ketelatenan Kiai Hamid tersebut, konon pada usia 17 tahun Kiai Wahid telah berhasil menghafalkan Al-Quran secara lancar. Bahkan, ada beberapa keterangan yang menyebutkan beliau hafal lebih dini dari usia tersebut, hanya butuh waktu empat tahun.

Tak ada keterangan pasti. Namun, menurut istri Kiai Wahid, Nyai Fatmawati binti KH Achmad Qusyairi, pada usia 20, saat keduanya melangsungkan pernikahan, Kiai Wahid sudah sangat lancar hafalannya. 'Banyu' begitu orang Jawa mengistilahkannya.

Hafalan Kiai Wahid tersebut, juga telah ditashihkan pada ulama hafidzul quran kharismatik di tanah Jawa, yaitu KH. Arwani Amin Kudus. 

Untuk menjaga hafalannya tersebut, Kiai Wahid senantiasa melalarnya. Selain berupa sehari khatam seperti halnya ketika ada undangan khusus, beliau juga mengamalkan fahmi bi syaukin. Yaitu, membaca Quran dalam waktu satu pekan sudah khatam. Hal itu terus dilakukan tanpa putus sepanjang hayatnya. 

Kekuatan hafalan Kiai Wahid tidak hanya didukung oleh ketekunannya mendaras Al-Quran. Tapi juga tak terlepas dari laku riyadlah/ tirakat yang dijalankannya. Sepanjang tinggal di pesantren, ia tak pernah putus mengamalkan puasa dalailul khoirot, yaitu laku puasa sepanjang tahun (kecuali hari-hari yang diharamkan puasa) sembari mengkhatamkan shalawat Dalail itu sendiri.

Selain itu, beliau merupakan penjaga sholat lima waktu secara berjamaah "garis keras." Menurut persaksian dari berbagai pihak, sejak kecil beliau tidak pernah meninggalkan sholat lima waktu tanpa berjamaah. Bahkan, ia rela mengupah salah seorang santrinya untuk diajaknya sholat berjama'ah karena ada udzur yang menghalanginya untuk berjamaah.

Tak sebatas ibadah mahdloh itu saja. Kiai Wahid juga dikenal sebagai ahli silaturahmi. Hampir setiap hari, ditengah kesibukannya mengajar dan mengaji di berbagai forum, ia selalu menyempatkan diri untuk bersilaturahmi kepada sanak keluarga dan kolega-koleganya.

Selain itu, beliau tak berat untuk mengulurkan tangan membantu sesama. Beliau tak pernah pandang bulu untuk membantu orang yang datang meminta pertolongan. Entah itu orang yang berbohong atawa berniat menipu, tetap saja beliau terima dengan tangan terbuka. Sebagai orang yang cukup sukses dalam sisi ekonomi, Kiai Wahid tak segan menginfakkan hartanya.

Sikapnya yang rendah hati juga menjadikan beliau sosok yang dihormati dan disegani. Tidak hanya orang-orang disekitar kediamannya. Namun juga orang-orang dari berbagai penjuru. Tak terkecuali dari kalangan birokrat maupun penguasa. Semua menaruh hormat pada beliau.

Namun, begitu sayangnya Allah pada hamba-Nya tersebut, Kiai Wahid dipanggil keharibaan Sang Pencipta diusia yang cukup muda. 40 tahun usianya. Kala itu, sekitar tahun 1990, bersama sopirnya, Kiai Wahid berencana memenuhi undangan.

Tapi, nahas, ditengah perjalanan mobil yang dikendarainya mengalami kecelakaan tunggal. Beliau wafat ditempat sembari melantunkan ayat-ayat Allah. Dijemarinya, Al-Quran masih tergenggam.

Banyuwangi kehilangan salah seorang ulamanya. Seorang yang hafidzul qur'an. Sebagai seorang hamba, Kiai Wahid telah meninggalkan amal jariyah terbaiknya, sebuah lembaga pendidikan agama, Pesantren Al-Anwari. Saat ini, pesantren tersebut tetap eksis di bawah asuhan anak keduanya, KH Achmad Shiddiq.

Meski core utamanya tak lagi pesantren tahfidz, namun Al-Anwari semakin berkembang. Kini sedang getol-getolnya menggarap pendidikan SMP yang memadukan pendidikan umum dan pesantren. Program tahfidz juga terus digenjot untuk bisa kembali melahirkan lulusan santri yang bermutu dan berdaya saing. (*)

*Penulis adalah Ayung Notonegoro, penggiat di Komunitas Pegon yang bergerak dalam meneliti, mendokumentasi, dan mempublikasi sejarah dan hal ihwal tentang pesantren dan NU

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Sukmana

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES