Indonesia Positif

Perbaiki Kesadaran Pajak Warga Melalui Seminar

Rabu, 29 November 2017 - 14:14 | 38.38k
seminar nasional 'Sinergi Tiga Pilar (Direktorat Jenderal Pajak, Konsultan Pajak dan Akademisi). (FOTO: AJP TIMES Indonesia)
seminar nasional 'Sinergi Tiga Pilar (Direktorat Jenderal Pajak, Konsultan Pajak dan Akademisi). (FOTO: AJP TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANG – Kesadaran pajak itu seperti mencintai seseorang. Cinta itu tidak dapat dipaksakan. Sama halnya dengan pajak. Kesadaran pajak itu merupakan masalah psikologis.

Hal itu disampaikan oleh Wakil ketua Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Pajak (IAI-KAPj) Elia Mustikasari saat seminar nasional 'Sinergi Tiga Pilar (Direktorat Jenderal Pajak, Konsultan Pajak dan Akademisi) untuk Meningkatkan Tax Compliance Melalui Inklusi Kesadaran Pajak' di Universitas Brawijaya Malang, Selasa (28/11/2017).

Dijelaskannya permasalahan pajak itu bukan hanya di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), tetapi merupakan permasalahan bangsa, karena bisa saja Wajib Pajak (WP) menyimpang. 

Elia mengatakan, di akhir-akhir tahun, target pajak sulit didapat. Kemungkinan karena target terlalu tinggi, kondisi lingkungan yang tidak mendukung DJP, dan data yang tidak update. Sementara Tax ratio di Indonesia masih belum meliputi pajak pusat dan daerah, berbeda dengan negara lainnya. 

Persoalan lain, sistem pengawasan yang masih kurang, sehingga kepercayaan juga masih kurang.

"Kalau seperti ini terus, masalah kesadaran tidak akan meningkat. Kesadaran pajak berasal dari hati. Harus diperbaiki dulu agar masyarakat memiliki kepercayaan," imbuh Elia. 

Menurut dia, perilaku ketidakpatuhan pajak merupakan hasil dari sikap WP. Sikap merupakan apa yang diyakini, dapat berupa positif maupun negatif. Supaya masyarakat taat pajak, harus dicari penyebabnya mengapa masyarakat tidak patuh. Jika hanya sekedar mendidik dan tidak terstruktur, hal itu tidak akan masuk ke hati nurani kita. 

"Sebelum ada niat patuh, WP harus memiliki keyakinan bahwa pajak itu bertujuan untuk mengembangkan infrastruktur negara," tandasnya.

Elia mencontohkan perilaku WP yang menyebabkan rendahnya kepatuhan pajak,  ketika WP melakukan permohonan penurunan angsuran pajak. Hal itu merupakan hal yang sangat sulit dikabulkan oleh DJP. Sama seperti halnya restitusi. Harus melalui proses yang sedemikian rupa dan sangat rumit. 

Seharusnya DJP mencetuskan inklusi kesadaran pajak harus melakukan riset. Kalau ingin WP perilakunya baik, patuh, kesadaran tinggi, berilah stimulus baik. Karena WP itu seperti customer yang harus dilayani dengan baik. Kemudian kalau stimulus buruk, maka perilaku juga buruk. 

"DJP perlu mengkaji secara UU apa yang sekarang menjadi masalah-masalah mengenai WP. Selain itu juga ada kesadaran pajak bukan hanya tugas DJP, tetapi kerahkan semua pihak seperti Kemenristekdikti, OJK, KPK, juga pemerintah pusat dan daerah," katanya.

Panelis lain, Hendi Subandi mendasarkan riset yang telah dilakukannya. Bahwa, kalau setiap orang memiliki gaji besar, sebesar 99% tidak mau patuh bayar pajak. Hal itu merupakan permasalahan utama saat ini. 

Menurutnya, inklusi kesadaran perpajakan, tidak hanya berbasis project atau program, tetapi harus berkelanjutan. Lantas, bagaimana seharusnya inklusi kesadaran pajak? 

"Inklusi jangan berupa project, jangan selesai di situ. Kesadaran pajak tidak hanya menyentuh calon WP, adanya keterlibatan segala pihak,  harus ada relawan. Dan, sudah saatnya adanya kepastian hukum," pungkasnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES