Politik Gus Ipul Vs Khofifah

Poros Tengah Bisa Minimalisir Perang Paregreg di Pilgub Jatim

Jumat, 17 November 2017 - 21:52 | 37.90k
(Dari kiri ke kanan) Suko widodo, Redi Panuju, dan Mochtar W Oetomo dalam diskusi Pilgub Jatim 2018 di Hotel Narita Surabaya, Jumat (17/11/2017). (FOTO: Istimewa)
(Dari kiri ke kanan) Suko widodo, Redi Panuju, dan Mochtar W Oetomo dalam diskusi Pilgub Jatim 2018 di Hotel Narita Surabaya, Jumat (17/11/2017). (FOTO: Istimewa)
FOKUS

Gus Ipul Vs Khofifah

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dua kader terbaik NU, Saifulah Yusuf (Gus Ipul) dan Khofifah Indar Parawansa, hampir bisa dipastikan bakal berhadapan dalam gelaran Pemilihan Gubernur Jatim 2018.  NU dihadapkan dengan NU, bisa dipandang hampir sama dengan kondisi Perang Paregreg yang terjadi era Majapahit.

Pada Perang Paregreg, terjadi perseteruan antara Bhre Wirabumi melawan Kusumawardhani/Wikrama Wardhana. Perang antar sesama anak kandung Hayam Wuruk tersebut, pada akhirnya justru membawa kemunduran bagi kekuasaan Kerajaan Majaphit.

Sementara, pada Pilgub Jatim 2017, beberapa waktu lalu publik disuguhi perang statemen antara Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB) dan Khofifah yang notabene sesama NU. Baku kritik antara Kiai Mutawakil dipihak Gus Ipul dan Kiai Asep di pihak Khofifah dan perang ujaran antara Prof A'la dan Kiai Muhklis serta haru biru perang ujaran antara forum Kiai Kampung dan Kiai pendukung Khofifah juga dengan mudah ditemukan di berbagai media.

Perang tersebut, menurut para pengamat politik,  justru dapat membawa kemunduran bagi Jawa Timur ke depannya. Berangkat dari keresahan tersebut, Kaukus Politik Cerdas dan Bermartabat pada Jumat (17/11/2017) mengadakan Diskusi Panel "Perang Paregreg di Pilgub Jatim". Acara tersebut di selengarakan di Hotel Narita, Surabaya.

Pada kesempatan tersebut, pengamat politik asal Universitas Trunojoyo Madura Mochtar W. Oetomo memaparkan bahwa perang statement antara para kiai dan antar pendukung tersebut adalah pemicu dari kemunduran bagi Jawa Timur. Terlebih lagi, jika hal tersebut berkepanjangan dan tidak dikelola dengan dewasa. 

"Bisa saja dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu hingga bisa memicu Perang Paregreg di Pilgub nanti. Perang sesama anak kandung NU," ungkap pria yang juga Direktur Surabaya Survey Centre tersebut. 

Meski demikian, menurut Mochtar, polarisasi pada Pilgub Jatim 2018 bakal kecil kemungkinan menyentuh wilayah SARA.

"Polarisasi yang terjadi mungkin hanya sebatas antara NU struktural dengan NU kultural dalam hal dukungan ke kedua kandidat. Tetapi, jika perang ujaran itu berlarut bisa saja pertentangan itu akan melebar ke polarisasi antar wilayah, antar banom NU, antar pondok dan Kyai yang pada gilirannya akan melebar ke santri sebagai akar rumput pendukung. Jika sudah begini potensi konflik horizantal bisa semakin memuncak," tegasnya.

Senada, pakar komunikasi politik senior asal Unair Suko Widodo juga memiliki anggapan yang sama. Terjunnya kiai dalam praktek politik dengan dua poros yang sudah ada adalah kader terbaik NU, menurutnya dapat memicu perang ala perang Paregreg. 

"Meskipun peribaratannya agak sedikit salah, tetapi ini yang paling mendekati pas. Karena perang Paregreg, Majapahit langsung mengalami kemunduran. Jangan sampai ke depannya ketika para kiai mulai melupakan khitahnya sebagai Begawan di tengah masyarakat, nanti Jawa Timur juga mengalami kemunduran," kata pria yang baru saja dikukuhkan menjadi Doktor oleh Unair tersebut.

Menurut Suko, kiai seharusnya menjadi penengah. "Bukan larut dalam praktek politik praktis. Isu SARA memang selalu ampuh, tapi sangat tidak pas untuk diletakkan dalam bentuk komunikasi politik," tegasnya.

Sementara itu, pengamat politik asal Universitas Dr Soetomo, Redi Panuju memandang bahwa pamer sumber dukungan ataupun legitimasi primordial merupakan dinamika kontestasi pilkada yang tidak sehat. Hal tersebut, menurutnya merupakan pengingkaran mutlak terhadap Bhineka Tunggal Ika. 

"Sekarang sudah masuk ke Merit System. Ini dimana lebih dibutuhkan profesional, rasional, kritis, inovatif. Agak naif juga kalau Jatim yang dominan NU maka otomatis Gubernurnya juga harus NU. NU itu adalah identitas kultural. Identitas kultural ini sangat berbeda dengan identitas politik" jelas Redi.

Redi, lebih lanjut menjelaskan bahwa dua poros yang sudah ada terlalu menonjolkan kekuatan primordial. "Itu adalah bentuk kemunduran. Karena isu yang muncul pasti SARA dan soal agama. Seolah-olah agama adalah sumber legitimasi," jelasnya.

Hal tersebut, menurut Redi sedang dihindari oleh jargon-jargon NKRI dan Pancasila. Sehingga, kondisi demikian dipandang menjadikan munculnya poros tengah pada Pilgub Jatim menjadi perlu.

"Poros tengah ini untuk menguji, apakah dengan dominasi NU lalu politik Jatim akan monoton atau tidak. Gerindra, PAN, dan PKS ini seharusnya pede dengan Poros Emas yang mereka gagas untuk kepentingan pluralisme. Kalau menyerah dan ikut arus, berarti dari segi perspektif politik Jatim bakal monoton," kata Redi. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rizal Dani
Sumber : TIMES Surabaya

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES