Kopi TIMES

Kiai Abbas, Bangsawan Keraton yang Memilih Jadi Ulama

Jumat, 17 November 2017 - 11:37 | 717.00k
Ayung Notonegoro, penggiat di Komunitas Pegon yang bergerak dalam meneliti, mendokumentasi, dan mempublikasi sejarah dan hal ihwal tentang pesantren dan NU di Banyuwangi. (Foto : Dokumentasi TIMES Indonesia)
Ayung Notonegoro, penggiat di Komunitas Pegon yang bergerak dalam meneliti, mendokumentasi, dan mempublikasi sejarah dan hal ihwal tentang pesantren dan NU di Banyuwangi. (Foto : Dokumentasi TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Namanya tak asing lagi di kalangan warga Nahdliyin Banyuwangi, Jawa Timur. Sebagai pemangku salah satu pondok sepuh dan besar, Pesantren Al-Azhar Sempu, nama KH R Abbas Hasan begitu tersohor. Keilmuwan dan karomah turunan kedelapan Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung itu telah diakui oleh para santri dan umatnya. 

Kiai Abbas terlahir pada tahun 1853 M di tengah keluarga Keraton Yogyakarta yang religius. Akan tetapi,  ayahandanya, Raden Hasan Munadi, tak kerasan tinggal di lingkungan keraton. Ia menganggap banyak hal dari kebiasaan keraton yang tak sesuai dengan prinsip keagamaan yang diyakininya. 

Tumbuh di keluarga yang religius, Abbas belia pun akrab dengan dunia pesantren yang menjadi kawah candradimuka pendidikan agama. Pesantren yang pertama kali menjadi tempat belajar Kiai Abbas adalah Pesantren Lirab, Kebumen, Jawa Tengah. Kemudian ia melanjutkan ke Pesantren Bendo, Pare, Kediri. Selang beberapa waktu, ia berpindah ke Pesantren Kademangan, Bangkalan dibawah asuhan Syaikhona Kholil. 

Di pesantren yang terakhir ini, Kiai Abbas dinikahkan dengan Hafsatun oleh Syaikhona Kholil. Setelah menikah, Syaikhona Kholil menyuruh Kiai Abbas untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu di Hijaz, Saudi Arabia.

Konon, dalam perjalanan ke Timur Tengah itu, Kiai Abbas menyempatkan diri untuk belajar di Al-Azhar, Kairo. Kelak, dari nama itulah, Pesantren Tugung ia berinama Al-Azhar. 

Seusai menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu di tanah Arab, Kiai Abbas kembali lagi ke Madura untuk menemui gurunya dan istrinya. Betapa kagetnya Kiai Abbas sesampainya di Bangkalan. Guru yang amat ia patuhi, Syaikhona Kholil, menyuruhnya untuk menceraikan istrinya yang terlanjur ia cintai itu. Tak hanya itu, Syaikhona Kholil juga mengusir Kiai Abbas. 

Meski secara logika perintah tersebut memberatkan, Kiai Abbas tetap mematuhinya. Ia yakin perintah gurunya yang dikenal waliyullah itu memiliki rahasia tersendiri. Akhirnya Kiai Abbas menceraikan Hafsatun dan minggat dari Madura menuju ke Banyuwangi, sebagaimana yang diisyarahkan oleh gurunya ketika mengusir. 

Sesampainya di Banyuwangi, Kiai Abbas diambil menantu oleh Kiai Hafidz, pendiri Pesantren Tugung, Sempu. Ternyata di pesantren yang didirikan pada 1891 itu, kebesaran nama Kiai Abbas bersinar terang. 

Kemasyhuran Pesantren Tugung yang kemudian berganti nama menjadi Al-Azhar tersebut tak hanya berada di tlatah Jawa, bahkan tersiar ke pulau sebrang, Sumatra dan pulau-pulau lainnya. 

Ada cerita menarik tentang hal ini. Di penghujung dekade 70-an, datanglah seorang santri asal Sumatera. Konon, ia diutus oleh gurunya untuk menimba ilmu kepada Kiai Abbas di Banyuwangi. Berhari-hari, pemuda itu menelusuri jalan. Ia mengambil jalan Pantura. Masuk Banyuwangi lewat alas Baluran.

Awalnya, si santri itu menuju ke pesantrennya Kiai Abbas Canga'an Genteng. Sekitar 20 KM dari pesantren Tugung. Setelah mengetahui kesalahannya, si santri melanjutkan perjalanannya. Menuju Tugung.

Sementara itu, Kiai Abbas yang sudah sepuh itu memanggil seorang santrinya. Beliau memerintahkannya untuk bersiap menyambut tamu dari jauh. Sesampainya di Tugung, santri asal Sumatra itu pun disambut oleh santri yang ditunjuk oleh Kiai Abbas. Lalu, diantar ke ndalem untuk menemui Kiai Abbas.

Dari percakapan awal tersebut, diketahui bahwa, dulu, guru si santri asal Sumatra tersebut adalah teman seperguruan Kiai Abbas. Entah di pesantren Jampes, Pare atau Bangkalan.

Semenjak pertemuan di ndalem Kiai Abbas itu, si santri asal Sumatera itu tak lagi tanpak batang hidungnya di pesantren. Bahkan, sejak awal ia tak terlihat keluar dari ndalem.

Hingga titi mangsa sudah bergulir sekira setahun, santri misterius itu muncul lagi di pesantren. Kini, dengan penampilan berbeda. Dulu, rambutnya pendek, namun saat dia datang lagi, rambutnya sudah gondrong.

Saat kemunculannya kembali itulah, ia disuruh pulang ke Sumatera oleh Kiai Abbas.

"Pulanglah, ilmumu sudah cukup," tutur Kiai Abbas.

Santri itu pun patuh. Meski tak memiliki bekal sepeser pun, ia pulang ke Sumatera. Sebagaimana pesan dari Kiai Abbas, santri itu naik kereta api dari Stasiun Sempu. Tak jauh dari pesantren Kiai Abbas. 

Saat pemeriksaan tiket, santri tersebut tertangkap petugas. Karena kedapatan tak memiliki tiket, ia diturunkan di stasiun berikutnya, di Wadung, Glenmore. Sekitar 30 KM dari Tugung.

Santri itu pun kembali ke Tugung. Mengadu perihal ditolaknya menaiki kereta api oleh petugas kepada Kiai Abbas. Setelah menerima laporan, Kiai Abbas memerintahkan santri tersebut.

"Ikat roda kereta api itu dengan benang," perintahnya.

Santri itu pun menyanggupi. Ia kembali ke stasiun untuk menjalankan perintah Kiai Abbas. Seutas benang yang ia ambil dari sarungnya yang mulai pudar tenunannya itu, yang dipakai untuk mengikat roda kereta api.

Bi'idznillah, hanya dengan seutas benang sarung itu, kereta api yang berbobot ribuan ton itu mogok. Tak bisa dijalankan. Selama tiga hari para mekanik berjibaku mencari penyebab teknis kemacetan, tak kunjung berhasil. Semua mesin kereta tanpak normal-normal saja.

Saat itu, si masinis kereta menyadari akan sebuah keganjilan pada kemacetan kereta. Ia teringat peristiwa beberapa hari lalu, telah menurunkan seorang penumpang yang tampaknya dari kalangan santri. Mungkin, gara-gara itu, kereta mendapat tulah dan tak bisa bergerak.

Saat itu pun, para kru kereta api mencari santri yang diturunkan beberapa hari lalu itu. Santri yang tak lain pemuda asal Sumatera itu, akhirnya ditemukan oleh petugas di pesantrennya Kiai Abbas.

Santri itu pun dipersilakan untuk naik kereta dengan gratis asal bisa memperbaiki kereta api yang macet itu. Santri itu pun berjalan santai mendekati kereta. Kemudian ia berjongkok untuk melepas ikatan benang yang melilit di roda kereta tersebut.

Tak butuh waktu lama, seketika itu pula kereta api yang macet berhari-hari itu, mulai menderu. Siap untuk berangkat.

Sebab kejadian di luar nalar itulah, kepala stasiun Setail Sempu memutuskan untuk menggratiskan tiket kereta bagi santrinya Kiai Abbas, Tugung. Selama bertahun-tahun, para santri bisa menikmati kereta dengan gratis. (*)

Penulis adalah Ayung Notonegoro, penggiat di Komunitas Pegon yang bergerak dalam meneliti, mendokumentasi, dan mempublikasi sejarah dan hal ihwal tentang pesantren dan NU di Banyuwangi.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Sukmana
Sumber : TIMES Banyuwangi

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES