Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Membibit Anak Perempuan Anti Korupsi

Kamis, 16 November 2017 - 23:09 | 58.45k
Ana Rakhmatussa’diyah, Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis Buku, Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang (Grafis: Cq / TIMES Indonesia)
Ana Rakhmatussa’diyah, Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis Buku, Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang (Grafis: Cq / TIMES Indonesia)
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, JAKARTASALAH satu titah sang perempuan pejuang Indonesia bernama R.A. Kartini bisa diajukan sebagai modal melawan penyakit modern di lingkaran kekuasaan atau kehidupan bangsa saat ini.

Titahnya berbunyi: barangsiapa tidak berani, dia tidak bakal menang, itulah semboyanku! Maju!  Semua harus dimulai dengan berani! Pemberani pemberani memenangkan tiga perempat dunia .

Ajaran yang sekaligus sebagai ajakan Kartini itu sebagai “doktrin” supaya setiap elemen bangsa ini, khususnya kalangan perempuannya yang dimulai pada saat usia anak-anak, punya keberanian dan terus menerus menunjukkan mental kepejuangan.

Perempuan dimintanya untuk tidak bermental penakut. Perempuan harus maju demi memenangkan pertarungan. Salah satu obyek yang diperjuangkan di negeri ini adalah korupsi.

Sangat nyata dalam kehidupan di negeri ini, bahwa korupsi sebagaimana pernah disebut Bung Hatta telah mengultur, sehingga sejak masih berstatus anak sekalipun harus dipupuk mentalnya supaya tidak boleh takut bertarung dengan koruptor. 

Mereka (anak-anak perempuan) harus membentuk mentalnya supaya gigih melawan korupsi.

Jika belakangan ini perempuan disebut sebagai salah satu akar primer terjadinya dan tumbuh suburnya korupsi di negeri ini, maka ia harus marah. Dan menyebut tesis tentang perempuan ini dusta sambil menunjukkan fakta, bahwa penjahat krah putih atau white collar crime (WCC) yang paling banyak jadi penghuni penjara atau sekarang sedang diperiksa sebagai pesakitan. Mulai dari tingkat penyidikan hingga pengadilan, adalah laki-laki (Marwiyah, 2016).

Tesis semacam itu bahkan bisa distigmatisasi oleh perempuan sebagai politik pembudayaan dan perluasan misoginisme (kebencian) yang dilancarkan pihak tertentu pada perempuan, yang menempatkan perempuan sebagai akar “penyakit” serius di tengah masyarakat.

Kalau dilihat dari kalkulasi angka-angka atau jumlah tersangka, terdakwa, terpidana, hingga narapidana kasus korupsi. Memang laki-laki merupakan elemen gender yang paling banyak mengisi ranah embrio dan diversifikasi sengkarutnya korupsi di Indonesia. Akan tetapi akar problem  penyebab terjadinya korupsi yang dilakukan oleh laki-laki tidaklah terlepas dari pengaruh yang “dibentuk” oleh perempuan?

Perempuan tidak perlu tergesa-gesan berapologi apriori terkait tuduhan ikut menggiring dan mendesak laki-laki (suami) menjadi terjerumus atau terlibat korupsi. Pasalnya dalam paradigma kriminologis yang berhubungan dengan WCC ini,  perempuan dinilai ikut menjadi segmentasi yang menentukan berbagai bentuk pilihan hidup laki-laki. Termasuk pilihan yang bermodus penyimpangan kecil-kecilan hingga kelas “pembusukan” amanat seperti penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) atau praktik korupsi tingat macan (grand corruption).

Lelaki memang tetap bersalah jika sampai terpengaruh atau “dicondongkan” oleh perempuan sehingga menjatuhkan pilihan salah dan bercorak kriminalisasi dalam pelaksnaan tugas dan jabatannya. Sebab sebagai lelaki, (seperti halnya perempuan), ia mempunyai hak menolak, membantah, atau melawan godaan yang bermaksud mengajaknya ke jalan kejahatan seperti desakan melakukan korupsi.

Selain itu, lelaki punya kewajiban mendidik isteri dan anak-anak perempuannya untuk menjadi elemen bangsa yang mengerti makna tanggungjawab atau amanat saat menjadi  pemimpin. Dalam ranah agama ini sudah jelas, bahwa “lelaki itu adalah pemimpin atau penanggungjawab perempuan”

Lelaki ini dituntut menunjukkan mobilitas edukatifnya untuk membentuk kepribadian setiap elemen bangsa, khususnya elemen keluarganya supaya menjadi anggota keluarga atau anak-anak perempuan yang bermental pejuang anti korupsi.

Dalam ranah itu, anak-anak perempuan jangan diseret dalam penahbisan status sosial, karena pesona status  sosial memang selama ini terbukti menjadi akar utama terjadinya korupsi. 

Seseorang ingin kaya mendadak atau memenuhi kepuasan biologisnya, bisa saja secepatnya terpenuhi ketika menduduki jabatan, yang kemudian jabatan ini disalahgunakannya.

Kita bisa membaca fenomena, bahwa perempuan yang dipersalahkan atau memang terlibat dalam skema korupsi seringkali diposisikan punya andil, baik kecil maupun besar. Sehingga harus diingatkan supaya ”merestorasi” sikap dan perilakunya, khususnya saat berstatus ibu supaya dalam mendidik anak-anak perempannya, dinjeksikan norma etik bersikap dan berperilak korupsi.

Jika perempuan masih juga tidak menyadari kalau apa yang duperbuatnya dapat berpengaruh besar atau kecil dapat mendatangkan keuntungan. Meski dengan jalan melakukan penyalahgunaan jabatan, maka perempuan ini perlu mendapatkan atensi yang lebih serius lagi.

Jika sudah begitu, posisi perempuan ikut menentukan peta korupsi di negeri ini. Saat korupsi yang dilakukan lelaki bertambah marak dan mengerikan, maka kegagalan penegak hukum yang berasal dari yang beridentitas perempuan bisa ditafsirkan sebagai kegagalan mengimplementasikan penegakan hukum (law enforcement) yang berbasis egalitarian dan berkeadaban.

Law enforcement hanya bisa ditunjukkan, salah satunya  oleh perempuan pejuang yang berkarakter egalitarnisme dan keadilan. Di tangan perempuan seperti ini, konstruksi negara bisa menjadi lebih kuat. Konstruksi ini dapat terbaca lewat penyelenggaraan pemerintahannya yang bersih dan berwibwa yang ditunjukkannya ketika dirinya jadi pemimpin privat (domestik) maupun publik.

Realitas itu memang menunjukkan kalau perempuan sekarang harus punya sikap militansi untuk membangun masyarakat steril dari anomali kekuasaan atau rajin mengawal penegakan hukum. Namun supaya negeri ini makin kuat, maka diperlukan kehadiran banyak anak perempuan yang mau menjadi pejung anti korupsi.

Anak-anak peremuan yang terbentuk menjadi pejuang anti korupsi, hanya bisa dibentuk salah satunya melalui gerakan edukasi prioritas yang dilakukan oleh orang tuanya yang tidak kenal henti mengajarkan pola hidup dan komitmen kecintaaan pada negeri ini secara etik dan nasionalistik.(*)

*Penulis, Ana Rakhmatussa’diyah, Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis Buku, Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang , Ketua Club Socialita Malang

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES