Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Tes yang Berkualitas Sama Dengan Tes yang Dapat Dikerjakan

Rabu, 15 November 2017 - 12:05 | 85.47k
Abdul Halim Fathani (Grafis: TIMES Indonesia)
Abdul Halim Fathani (Grafis: TIMES Indonesia)
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, JAKARTAADA pemandangan menarik di kebanyakan kelas pembelajaran yang sering kita jumpai. Misalnya, pada suatu kesempatan ketika seorang guru (sebut saja Pak A) mengajar matematika di kelas X-B. Setelah masuk kelas, Pak A mengucapkan salam dan menyapa semua siswa yang telah duduk tenang di bangkunya masing-masing. 

Spontan, seluruh siswa kelas X-B menjawab salam dan merespons sapaan yang disampaikan Pak A, hatinya senang bahagia karena akan belajar dengan Pak A yang dikenal enjoi dalam mengajarnya.

Tidak lama kemudian, setelah itu, Pak A menginstruksikan kepada semua siswa kelas X-B, agar menyiapkan selembar kertas kosong, “Anak-anak, sekarang tolong siapkan satu lembar kertas kosong, dan jangan lupa diberi identitas, nama dan nomor induk siswa ya?, begitulah perintah dari guru Pak A.

Namun, anehnya, bukan jawaban “ya” yang menunjukkan tanda setuju, tetapi justru suara penolakan yang muncul. Siswa satu kelas “sepakat” berkata: “Duuuuuuuhhhhhh paaaak!” atau “belum siaap paaak!” atau “jangan sekarang paaaakk, tadi malam belum belajar!” atau “buka buku ya paaaaak!” dan beragam jawaban penolakan yang lain. 

Hampir tidak pernah instruksi –sebagaimana yang dilakukan Pak A- tersebut mendapat respons berupa dukungan dari siswa, seperti: “Siap pak!” atau “Oke pak, ini yang saya tunggu-tunggu”, atau yang lain. Mengapa demikian yang sering terjadi?

*

Ketika ada seorang guru (apalagi guru yang mengajar beberapa matapelajaran yang seringkali dikategorikan matapelajaran sulit) menyuruh siswa untuk menyiapkan kertas kosong, maka siswa seringkali mengasosiasikan akan ada tes “dadakan”. 

Dan, biasanya siswa selalu panik, karena tidak siap, belum belajar, takut soalnya sulit-sulit sehingga tida bisa mengerjakan, takut nilainya nanti jelek, dan berbagai alasan kepanikan yang lain.

Fenomena kepanikan tersebut tidak hadir secara tiba-tiba, namun kepanikan tersebut, lahir karena –seolah-olah- sudah menjadi tradisi turun-temurun yang terjadi di kebanyakan sekolah. Padahal bisa jadi, lembar kosong tersebut bukan untuk ulangan atau ujian, namun sang guru ingin menyuruh siswa untuk menuliskan identitas pribadinya sebagai data untuk pengisian buku induk siswa.

Kembali pada cerita di atas, seandainya, sesaat setelah intruksi Pak A yang “ditolak” para siswa tersebut, kemudian Pak A menambahkan, “Anak-anak, pak guru hari ini ingin mengetes kemampuan saudara. Bukan ketidakmampuan. Silahkan dikerjakan di mana saja, di dalam kelas, di perpustakaan, di taman, di dekatnya kolam, atau di kantin juga boleh, atau di mana saja, silahkan. Terus silahkan buka bukunya masing-masing, dan kalau ada pertanyaan yang belum jelas silahkan didiskusikan dengan teman atau tanya ke saya. Nanti kalau sudah dikumpulkan ke ketua kelas”. 

Mungkin saja, setelah mendengarkan instruksi lanjutan dari Pak A tersebut, semua siswa satu kelas akan sepakat dengan jawaban, “yaaa paaaak” atau “asyiiiiiik” atau “Okeee kami senang”, dan seterusnya.

*

Belajar dari fenomena di atas, kita perlu merefleksikan terkait bagaimana kita melakukan tes kepada siswa selama ini. Kaitannya dengan ini penulis sepakat dengan apa yang diuraikan Munif Chatib dalam bukunya, yang berjudul Sekolahnya Manusia pada halaman 156-157, yang diterbitkan KAIFA, tahun 2009. 

Chatib menegaskan bahwa Tes yang berkualitas adalah tes yang dapat dikerjakan oleh siswa. Jika soal tes yang dibuat oleh guru diujikan kepada siswa dan kebanyakan siswa tidak berhasil mengerjakannya sesuai dengan standar ketuntasan, dapat diartikan bahwa soal yang dibuat guru tersebut berkualitas rendah. 

Selama ini masih ada sebagian guru yang memiliki anggapan keliru. Ialah soal yang berbobot adalah soal yang sulit. Pandangan ini harus diluruskan.

Lebih lanjut, Chatib menyarankan bahwa cara tepat untuk membuat tes berkualitas adalah model open book. Dengan model ini, guru akan mengubah isi soal dari soal yang sulit menjadi soal yang menantang. 

Dengan open book, tidak mungkin guru akan membuat soal seperti ini: Tahun berapa Indonesia merdeka?, Sebutkan nama-nama Presiden RI!, Siapa nama gubernur Provinsi Jawa Timur sekarang?, dan seterusnya.

Jika soal-soal seperti tersbeut diberikan kepada siswa dengan model open book, dapat dipastikan semuanya akan menjawab dengan benar dan memperoleh nilai seratus. 

Namun, dengan model open book, maka guru akan membuat soal dengan pendekatan konsep taksonomi bloom, seperti: Bagaimana usaha bangsa Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaanya?, Ceritakan biografi singkat Presiden RI dan karakter apa saja yang bisa diambil pelajaran?, Program-program apa saja yang dicanangkan oleh gubernur Jawa Timur dan bagaimana saudara menyikapinya?

Dari soal di atas, terlihat jelas perbedaan model soal yang pertama dan kedua. Model soal kedua sangat menantang bagi siswa untuk dikerjakan. Meskipun dengan open book, daya kritis dan analisis akan sangat berperan dalam mencari jawabannya. 

Mari kita bayangkan, kalau soal yang kita berikan kepada siswa adalah soal-soal yang sulit, maka dapat dipastikan nilai siswa akan jelek-jelek. Karena, dalam kondisi ini, soal yang diujikan adalah soal untuk menguji ketidakmampuan siswa. 

Sebaliknya, soal yang berkualitas adalah soal yang mudah yang bertujuan untuk menguji kemampuan siswa. Sebagaimana firman Allah swt dalam al-Qur’an: ”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS Al Baqarah [2] : 286).

Kalau kita belajar kepada orang yang belajar mengemudi sopir. Ada instruktur (si A) dan ada anak yang baru mau belajar mengemudi (si B). Si A berkata kepada si B, “Ayo silahkan dikemudikan, ini kuncinya, silahkan dicoba berjalan ke depan, saya nilai dari sini!” Apa yang terjadi? Si B tidak akan bisa menjalankan instruksi tersebut, karena instruksi ini jelas-jelas akan menguji ketidakmampuan si B dalam mengemudi, dan yang jelas Si B akan dapat nilai jelek.

Sekarang mari kita bandingkan, ada isntruktur (si A) dan ada anak yang sudah pernah kursus mengemudi dan sudah pernah praktik mengemudikan mobil di jalan raya (Si C). Si A berkata kepada Si C, “Ayo, silahkan dikemudikan, ini kuncinya”. 

Apa yang terjadi? Saya yakin, Si C akan dengan senang hati melaksanakan instruksi tersebut, karena memang Si C sudah pernah kursus, dan karena instruksi ini jelas mengandung tujuan untuk menguji kemampuan bukan ketidakmampuan. 

Dalam hal ini, Sang instruktur (Si A) menguji Si C, adalah ingin mengetahui seberapa kemampuan Si C dalam mengemudikan mobilnya? Jelas terlihat, perlakuan Si A kepada Si B dan Si C.

Dengan demikian, sekali lagi kita para guru, perlu mengubah paradigma dalam hal pemberian tes kepada siswa. Tes untuk melihat keberhasilan siswa dalam belajar berarti tes itu diadakan setelah siswa mempelajari materi tertentu. 

Dan, tes yang berkualitas adalah tes yang dapat dikerjakan oleh siswa. Sebagaimana contoh dari tes mengemudi di atas. Tes mengemudi dilakukan, ketika siswa sudah pernah belajar mengemudi. Semoga bermanfaat.(*)

ABDUL HALIM FATHANI, Dosen Pendidikan Matematika FKIP Universitas Islam Malang. Anggota Sahabat Pena Nusantara (SPN).

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Ahmad Sukmana

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES