Politik

Memilih ‘Nanda’ atau Abah…

Selasa, 14 November 2017 - 16:51 | 74.73k
ILUSTRASI - Pilkada Kota Malang 2018 (Grafis: TIMES Indonesia)
ILUSTRASI - Pilkada Kota Malang 2018 (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – “Di generasi Zaman Now, kaum muda jelas memilih yang muda, kreatif, inovatif, cerdas dan berpendidikan, merakyat,” begitu celetuk, Fikri Ahmad Zarkazi, seorang mahasiswa semester tujuh, di Universitas Brawijaya (UB) Malang, saat ditemui TIMES Indonesia, Selasa (14/11/2017).

Dalam esai berjudul "The Problem of Generation", seorang sosiolog asal Amerika, Mannheim mengenalkan teorinya tentang aneka macam generasi. Salah satunya menjelaskan soal generasi milenial.

Menurut Mannheim, membagi manusia menjadi sejumlah generasi: Generasi Era Depresi, Generasi Perang Dunia II, Generasi Pasca-PD II, Generasi Baby Boomer I, Generasi Baby Boomer II, Generasi X, Generasi Y alias Milenial, lalu Generasi Z atau yang popular disebut generasi zaman Now.

NandaSyd1r.jpg

Pembagian tersebut biasanya berdasarkan rentang tahun kelahiran. Namun, rentang tahun didefinisikan berbeda-beda menurut sejumlah pakar, tapi tak terlalu jauh perbedaannya.

Definisi rentang umur Generasi Z, misalnya. Ia menjabarkan sangat bermacam-macam. Menurutnya, pada 2012, ketika jurnalis Bruce Horovitz mengenalkan Generasi Z, rentang umur yang digunakan masih belum jelas.

Tapi, istilah itu mulai sering dipakai usai presentasi dari agen pemasaran Sparks and Honey viral pada 2014. Di sana, rentang umur yang dipakai mendeskripsikan Generasi Z adalah anak-anak yang lahir 1995 hingga 2014.

Dalam pesta demokrasi, lokal maupun nasional, keberadaan generasi zaman Now atau anak muda yang sudah memiliki hak suara, tak bisa diabaikan. Karena juga sangat menentukan. Dan pilihannya, cenderung berbeda dengan kalangan tua.

“Kota Malang saatnya dipimpin oleh sosok muda. Zamannya sudah berbeda. Kemampuan intelektualnya juga menjadi penilaian tersendiri bagi kaum muda. Mbak Nanda, saya lihat banyak disukai kaum muda saat ini,” aku Fikri.

Sementara itu, soal dukungan dari generasi milenial untuk Pilkada Kota Malang, memang harus menjadi wilayah tersendiri yang harus diperhatikan. Karena dunia anak muda saat ini, dekat dengan digital atau teknologi.

“Kaum muda energik atau yang ramai disebut generasi zaman Now saat ini, sangat potensi sekali dalam Pilkada. Pilihan mereka sosok yang perannya banyak muncul di media social atau dunia maya. Namun, saya melihat, pilihan kau muda di Kota Malang, masih cenderung ikut pada orang tuanya,” jelas pengamat komunikasi politik Universitas Brawijaya (UB) Malang, Dr Bambang Dwi Prasetyo, Senin (13/11/2017) malam.

Untuk di Kota Malang jelas Bambang, pilihan anak muda sedikit berbeda dengan daerah lainnya. Misalnya, kaum muda akan memilih pada sosok yang terbukti memiliki peran dan sumbangsih kepada Kota Malang.

“Kalau tidak begitu, biasanya mencari alternatif pilihan sosok muda yang cocok dan sesuai dengan seleranya. Generasi muda bisa ada alternatif sendiri. Kecenderungan generasi zaman Now begitu,” bebernya.

Soal sosok bakal calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Malang, yang mulai bermunculan, Bambang menjabatkan kini yang mulai ada kejelasan yakni H Muhammad Anton dan Ya’qud Ananda Gudban, untuk di bakal calon Wali Kota Malang.

Analisis dia, bahwa Abah Anton  masih memiliki kekuatan penuh dan dukungan luar biasa dari masyarakat Kota Malang.

“Yang Nampak akan maju, baru Abah Anton, Nanda dan Sutiaji. Yang lainnya belum mengarah akan naik,” katanya.

Jika dilihat kondisi yang ada katanya, memang ada tiga sosok yang berpeluang dan kuat. Namun, dua bakal calon yakni Nanda dan Sutiaji, masih sangat berat untuk mengalahkan Abah Anton. “Karena memang lawan politiknya tidak semenonjol Abah Anton,” terangnya.

Mislanya, sosok Nanda, yang secara garis politik adalah Ketua DPC Partai Hanura Kota Malang, hanya punya kursi sangat sedikit.

“Harus ada koalisi dengan partai lain. Abah Sementara, sosok Abah Anton gebrakannya sudah terus dilakukan, karena ia petahanan,” katanya.

Warga Kota Malang, masih ‘setia’ kepada Abah Anton, karena melihat keberhasilannya secara fisik. Seperti aneka taman yang dibangunnya dengan indah dan pembangunan fisik lainnya.

“Masyarakat sangat sederhana memikirnya. Pembangunan fisik berhasil, sudah dinilai sosok berhasil. Jika saya tanya ke masyarakat langsung masih banyak yang suka Abah Anton, karena banyak bangun taman bagus,” rinci Bambang.

Namun, pilihan akan berubah, tidak lagi memilih Abah Anton, jika ia tersandung kasus korupsi dan kasus lainnya. Dan hal itu bisa saja terjadi.

“Karena ini persoalan politik. Jika terjadi demikian, pupus sudah harapan Abah Anton, dan calon lain yang akan menikmatinya,” jelasnya.

Kondisi basis di Kota Malang, selama ini kata dia, PDI Perjuangan masih sangat kuat. PDI Perjuangan kalah dalam Pilkada sebelumnya, karena suaranya pecah. Jika solid PDI Perjuangan yang akan menjadi pemenangnya.

“Saat ini menurut saya, PDI Perjuangan tak akan mengeluarkan calon untuk posisi N 1 atau Wali Kota Malang. Ia akan ambil diposisi Wakil Wali Kota. Hal itu banyak penyebabnya. Pertama, karena diakui atau tidak, PDI Perjuangan belum punya kader yang siap bersaing dengan Abah Anton. Belum percaya diri akan melawan Abah Anton,” katanya.

PDI Perjuangan jelas dosen FISIP UB itu, akan mendampingi Abah Anton. Hal itu sangat realistis. “Jika koalisi itu solid, akan menambahk kekuatan besar utnuk Abah Anton dan sy yakin akan jadi pemenang. Karena kader PDI Perjuangan memiliki loyalitas tinggi pada parta. Jika gabung dengan Abah Anton, akan berjalan mulus,” terangnya.

Untuk calon lainnya, tidak akan semulus demikian. Berbeda jika Arief Wicaksono tidak tersandung kasus dugaan korupsi, jelas akan berbeda kondisinya. “Bisa saja Arief gandeng dengan Sutiaji. Karena diakui atau tidak, sosok Sutiaji tetap memiliki kekuatan diarus bawah,” katanya.

Jika dibandingkan antara sosok Abah Anton dan Sutiaji analisis Bambang, diarus bawah, lebih kuat dan lebih mengakar Sutiaji. Baik dari kader PKB ataupun warga NU. “Pendukung Abah Anton sebenarnya tidak mengakar. Karena dia awalnya, berangkat dari Partai Gerindra, bukan dari PKB,” jelasnya.

Sementara itu, untuk sosok Nanda, jika strategi dan timnya jeli dan jitu, sangat berpeluang akan menang. Sosok pemimpin perempuan di Kota Malang memang masih ada yang mempersoalkan. Tapi, tidak banyak mempengaruhi.

“Faktor perempuan masih agak berat. Tapi tak menjadi soal. Kelebihan Nanda menurut saya, akan mampu mewakili kaum muda zaman Now atau generasi milenial. Tapi dukungan itu masih belum begitu kuat,” ujarnya.

Nanda akan mampu melawan Abah Anton tegas Bambang, harus ada trek atau strategi baru yang kekinian. Harus ada terobosan dan kekuatan baru. Misalnya kata dia, bisa menggandeng Sutiaji atau kader PDIP.

“Karena di Kota Malang masih basisnya PKB dan PDI Perjuangan. Jika Nanda akan maju, menurut saya, harus mencari tokoh dari PDI Perjuangan atau bahkan kader PKB. Jika tidak demikian, bisa cari sosok independen yang pengaruhnya jelas ketingkat bawah,” katanya.

Jika tetap memaksakan akan ambil sosok non partai katanya, terlihat sangat berat. “Kecuali, tokoh yang memang punya pendukung real yang bisa memecah suara Abah Anton,” akunya.

Untuk sosok Nanda, jika sudah siap maju melawan Abah Anton, masukan Bambang, komunikasi politiknya harus menyentuh betul kelevel bawah. Turun langsung dan melakukan hal nyata di masuyarakat. “Kegiatan yang betul-betul menyentuh ke hati masyarakat,” katanya.

Artinya, Nanda masih sangat berpeluang untuk mengalahkan Abah Anton di Pilkada Kota Malang 2018 mendatang. “Popularitas Nanda sudah luar biasa. Tinggal tim yang kuat dan strategi yang mapan dan tepat sasaran. Anak muda zaman now yang kreatif harus dilibatkan,” usul Bambang.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES