Peristiwa

Pengamat: KPK Jangan Sampai Blunder Sikapi Kasus Setnov

Rabu, 08 November 2017 - 13:27 | 39.09k
ILUSTRASI: Setya Novanto (FOTO: Istimewa)
ILUSTRASI: Setya Novanto (FOTO: Istimewa)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta hati-hati dalam menyingkapi tuntutan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada lembaga antirusuah tersebut terkait pemanggilan Ketua DPR Setya Novanto alias Setnov terkait kasus korupsi berjamaah e-KTP.

Pengamat Hukum Pidana dari Fakultas Hukum Universitas Jember Fiska Maulidian Nugroho mengatakan, kubu DPR melalui suratnya kepada KPK beberapa waktu lalu menyatakan ijin presiden adalah hal yang wajib dikantongi KPK agar dapat memeriksa ketuanya itu. Sementara KPK sendiri berpendapat perlu mempelajari surat tersebut.

Fiska mengatakan bahwa momentum tarik ulur antara DPR dan KPK saat ini terkait dengan bocornya surat perintah penyidikan (sprindik) oleh KPK terhadap Setnov pada Jumat (3/11/2017) kemarin di media sosial. Sebagaimana telah diketahui, sprindik tersebut menyebut status Setnov sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP.

"Inilah yang menjadikan peristiwa hukum yang kembali menjerat kubu Setnov oleh KPK, bahkan lebih hebatnya lagi menyeret presiden pula terkait prosedur hukum pidananya," kata Fiska kepada TIMES INDONESIA (timesindonesia.co.id), Rabu (8/11/2017).

Dia menuturkan bahwa ada kejanggalan terkait isi sprindik itu. Menurutnya, status tersangka tidak dapat dikeluarkan begitu saja tanpa didahului oleh pemeriksaan sebagai saksi. "Kecuali kalau kena OTT (operasi tangkap tangan) sudah pasti langsung jadi tersangka," ujarnya.

Fiska mengatakan, dalam masalah ini tampak ada kekuatan politik yang mempengaruhi hukum. Menurutnya determinasi politik terhadap hukum sangat kuat seakan-akan diperlihatkan pada kasus tersebut hukum sudah menjadi tumbal politik.

"Seakan-akan mata tertuju pada kejadian Ketua DPR Setnov tidak memenuhi panggilan KPK adalah salah, ini juga belum tentu salah. Karena, pada Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang MD3 yang pada intinya adalah menegaskan ijin presiden memang perlu diberlakukan apa adanya," terangnya.

Meski pada surat tuntutan DPR kepada KPK tidak mencantumkan Pasal 245 Ayat (3) UU MD3, namun Fiska mengatakan bahwa KPK maupun publik harus paham bahwa dalam pasal tersebut seseorang akan dikecualikan tanpa izin presiden jika yang bersangkutan telah ditetapkan sebagai tersangka, bukan sebagai seorang saksi.

"Kalau saksi dengan tersangka adalah hal yang berbeda, namun memiliki hubungan yang erat dalam penegakan hukum pidana," tukas Fiska.

Namun amat disayangkan, menurutnya mekanisme hukum pidana saat ini telah bercampur baur dengan mekanisme politik. "Ini yang sering dipertontonkan oleh lembaga-lembaga hukum di Indonesia, ketika kita belajar Integrated Criminal Justice System masih pula ada perlu integrasi dengan lembaga-lembaga yang lain bahkan ijin presiden juga dituangkan dalam klausul pasal tersebut," terangnya.

Karena itu, Fiska berharap agar semua proses penegakan hukum pidana oleh lembaga penegak hukum, khususnya oleh KPK, jangan sampai menegasikan bahwa orang yang belum bersalah di muka hukum atas putusan yang in kracht (berkekuatan hukum tetap) dibuat seakan-akan sudah bersalah. "Sehingga saya berharap pada KPK, jangan sampai blunder lagi ke depannya," imbuh Fiska. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Sukmana

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES