Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Hakim dan Sandal

Minggu, 22 Oktober 2017 - 23:34 | 50.46k
Abdul Wahid
Abdul Wahid
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Salah satu aparat penegak hukum yang menjadi sorotan dewasa ini adalah hakim. Hakim distigma publik bukan menjadi “pengatur” yang berkeadilan dalam memimpin jalannya persidangan, melainkan menjadi obyek yang diatur atau karya judisialnya masih “ditentukan” oleh kekuatan lain yang mencengkeramnya.

Atmosfir seperti itulah yang membuat publik memberi stigma kalau di dunia peradilan terjadi darurat integritas hakim. Hakim dinilai oleh publik sedang atau telah kehilangan komitmennya dalam menegakkan kejujuran dan kebenaran hukum

Menilai kinerja elemen peradilan dengan memosisikan peran hakim itu tidaklah salah, pasalnya apa yang dilakukan hakim adalah faktor kunci yang menentukan warwah peradilan.  Ketika hakim menjatuhkan vonis menguntungkan seseorang, bukan memberikan keadilan atau kebenaran, publik mesti menilainya sebagai hakim yang  tersesat jalan.

Selain perkara yang melibatkan elitis politik itu, hakim juga berkali-kali membuat gempar peradilan. Hakim pernah menjatuhkan putusan bersalah seorang bocah bernama AAL (15) di Palu, yang bocah ini terbukti mencuri sandal. Hakim digugat publik, tepatkah hakim memutusnya demikian?

Nabi Muhammad sudah mengingatkan, hakim itu terdiri dari tiga golongan. Dua golongan hakim masuk neraka dan segolongan hakim lagi masuk surga. Yang masuk surga ialah hakim yang mengetahui kebenaran hukum dan mengadili dengan hukum tersebut. Bila seorang hakim mengetahui yang benar (haq), tapi tidak mengadili dengan hukum tersebut, bahkan bertindak zalim dalam memutuskan perkara, maka dia masuk neraka. Yang segolongan lagi hakim yang bodoh yang tidak mengetahui yang benar dan memutuskan perkara berdasarkan kebodohannya, sehingga dia juga masuk neraka. {HR. Abu Dawud dan Ath-Thahawi}

Hadis itu menunjukkan, bahwa salah satu doktrin fundamental yang dipercayakan pada hakim untuk ditegakkan adalah hukum yang benar, bukan hokum yang direkayasa atau diperjualbelikan. Dari hukum yang ditegakkan ini, otomatis keadilan terwujud dan bisa dirasakan oleh masyarakat.

Di tangan hakim tersebut, nasib keadilan ditentukan, termasuk nasib pencuri yang masih berusia dibawah umur. Hukum yang diproduk sebagai instrumen keadilan, merupakan obyek yang dipahami dan meregulasi kinerja hakim, sehingga di tangan hakim pula, keadilan bisa dikalahkan dan dihancurkan, di samping bisa dimenangkan.

Untuk melihat kinerja hakim sudah terbilang menegakkakan keadilan atau tidak, maka setidaknya bisa menggunakan dua parameter, pertama, kondisi kesejahteraan masyarakat. Kalau kehidupan masyarakat jauh dari keejahteraan atau masih berkutat dalam kemiskinan seperti mengalami ketidakberdayaan ekonomi (economical empowerless), maka ini menandakan bahwa keadilan masih terpasung. Dalam kondisi demikian, idealnya hakim mempertimbangkan kondisi AAL.

Kondisi realitas 35 juta lebih masyarakat Indonesia yang masih berkutat dibawah garis kemiskinan, dapat dijadikan tolok ukur, bahwa konstitusi (UUD 1945) hingga produk hukum dibawahnya belum bisa disejarahkan sebagai “ayat suci”  negara yang mempercepat, memeratakan, dan menciptakan keadilan di masyarakat.

Kedua, banyaknya sikap dan perilaku sewenang-wenang yang bersemai di tengah masyarakat, yang embrio kriminalisasi dan diskriminasinya tak lepas dari putusan hakim yang yang tidak benar, terkooptasi rekayasa, atau mengeliminasi nilai-nilai kebenaran, kepatutan, dan kemanusiaan. Ini dapat dikaitkan dengan  problem kenakalan hakim yang hingga sekarang masih memprihatinkan.

Dalam ranah yuridis, banyak kewenangan yang diberikan oleh negara kepada hakim untuk jadi pemutus perkara atau pemegang kunci “pro-justitia”, yang justru menghadirkan kesewenang-wenangan, yang dengan palu hakim yang dipercayakan padanya guna menegakkan keadilan, justru digunakan untuk melahirkan dan memperbanyak ketidak-adilan.

Ketidakadilan tersebut bisa disebabkan oleh paradigma, sikap, dan sepak terjang hakim yang kehilangan jiwa moral-teologis dan humanisasinya saat menjatuhkan vonis. Tendensi pada kepentingan mendapatkan suap, upeti atau iming-iming dari orang-orang yang bermasalah secara hokum, serta formalisasi hukum,  merupakan salah satu akar penyebab terpasungnya atau termarjinalkannya keadilan.

Ketidakpintaran atau kelemahan intelektualitas hakim dalam menalar dan menginterpretasikan kasus yang ditangani, juga bisa mengakibatkan keadilan gagal diperoleh dan dinikmati para pencari keadilan.  Pencari keadilan seperti AAL  atau masyarakat memang layak mengajukan upaya hukum atau melaporkan balik bukan hanya pada polisi, tetapi juga hakim, pasalnya putusan hakim yang tidak didasari proses ijtihad, merupakan pintu pembuka terjadinya ketidak-adilan.

Kinerja hakim seperti Itu dikritik oleh Allah dalam surat Al-Nisa' (4): 135, “wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak    al-qisth (keadilan), menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri”, yang meminta pada setiap pilar peradilan, khususnya hakim untuk menjadi penegak keadilan. Jadi hakim bukan untuk memenuhi dan memuaskan kepentingan diri dan koleganya, tetapi memuaskan dahaga masyarakat terhadap keadilan. Ia punya peran membumikan “keadilan untuk semua” (justice for all).

Ketiga, bekerjanya norma hukum di masyarakat. Ketika kondisi riil yang terbaca dalam dunia peradilan menunjukkan karut marut, maka ini menandakan, bahwa kinerja hakim belum menyuarakan dan membumikan keadilan.

Kelemahan penegakankan keadilan meniscayakan melakukan rekonstruksi dan pembumian keadilan dengan dasar-dasar etika-moral yang kokoh dan pemaknaan yang holistik. Rekonstruksi ini menjadi kondisi tidak terelakkan. Etika moral yang harus dikembangkan adalah moralitas transformatif yang dapat menyantuni masyarakat lemah dan tertindas, terutama dari sisi hukum. Apalagi pada dasarnya agama hadir untuk menghilangkan ketertindasan, dan keterkorbanan. (A’la, 2011)

Apa yang ditulis A’la tersebut sejatinya dimaksudkan untuk menggugah atau membangkitkan kesadaran agung pada setiap elemen penegak hukum  (hakim) supaya  terus menunjukkan peran progresifitasnya dalam menegakkan hukum. Kalau kesadaran ini ditunjukkan, bukan hanya pencari keadilan di ranah hukum yang bisa menikmati kinerjanya, tetapi masyarakat yang sudah lama merindukan kesejahteraan dan kedamaian pun akan bisa menikmatinya.

Dalam suatu Hadis disebutkan “barangsiapa diangkat menjadi hakim maka dia telah disembelih tanpa menggunakan pisau”, yang sebenarnya mengajarkan dua aspek, pertama, profesi hakim merupakan profesi mulia, yang kemuliaannya terletak pada kasus yang ditangani dan diselesaikan. Ketika profesinya mengabdi pada kebenaran atau benar-benar diabdikan demi menjaga dan menyelamtkan “orang benar” tidak kehilangan hak-haknya, maka hakim ini tak berlebihan untuk disebut sebagai sosok pembumi keadilan.

Kedua, tantangan yang dihadapi oleh hakim tidaklah ringan, yang jika tantangan ini gagal dilawan atau sebatas setengah hati dijadikan obyek jihad profetisnya, maka ia bukan hanya akan tersungkur dalam peradilan Tuhan kelak, tetapi juga dijadikan obyek pelecehan, kriminalisme, dan radikalisme publik. (*)

 

Abdul Wahid, 

Wakil Direktur I program pascasarjana Unisma, serta Penulis Buku dan Pengurus Pusat APHTN-HAN.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES