Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Ancaman Pendidikan Era Millenial “Generasi Micin”

Jumat, 20 Oktober 2017 - 17:20 | 178.57k
Akhmad, Mahasiswa Semester V Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Malang
Akhmad, Mahasiswa Semester V Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Malang
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Pribahasa yang familiar akhir-akhir ini “Generasi Micin”, analogi saya jangan hanya menjadi generasi micin, yang hanya menyedapkan diri, memperindah diri, mencerdaskan diri, tanpa memperhalus perasaan diri untuk lebih peduli.

Keindahan, kemewahan kadang menjerumuskan pada  kebobrokan sebagai manusia, sehingga akan melupakan yang namanya proses. Sebagaimana esensial manusia hidup di bumi bukan hanya untuk memberikan makna tapi bisa menciptakan keindahan dengan landasan dasar-dasar rasa tulus yang ada dalam diri manusia. 

Yaitu cinta akan dirinya, dan mampu menaklukan diri kita, perang terbesar manusia bukan perang badar, tapi perang melawan diri sendiri (Jihad yang paling utama adalah seseorang berjihad [berjuang] melawan dirinya dan hawa nafsunya), maka hadits ini derajatnya shahih. 

Diriwayatkan oleh Ibnu An-Najjar dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu. Juga diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dan Ad-Dailami. Hadits ini juga dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami’ush-Shaghîr, no 1099, dan beliau menjelaskannya secara rinci dalam Silsilah Ash-Shâhihah, no. 1496.).

Sehingga keberhasilan dari pendidikan ialah integritas dan intelektualitas manusia, yang  mampu mengontrol secara individualis. Dengan adanya sejarah yang lampau terjadi, dan menjadikan sejarah sebagai reflektif, (historis refleksi), sebagaimana manusia berpendidikan tidak jatuh pada lubang yang sama.

Moderinasi ini menjadikan sebuah ancaman jika hanya mampu memperharum diri dan memperhias diri, manusia yang hanya bisa menikmati tanpa melakoni apa yang pasti untuk dirinya, ada istilah generasi micin yang hanya sedap dimakan, otak kanan dan kiri pintar, cerdas. Tapi tidak memperhalus perasaaan, apatis akan keadaan, pendidikan bukan hanya butuh kecerdesaan, kualitas, berbahasa, di Indonesia banyak banyak orang-orang seperti itu.

Akan tetapi bertanggung jawab atas keadaan merasakan penderitaan sesama manusia bagian dari manusia yang berpendidikan, pembelajaranku adalah penderitaan sesami, kelasku alam semesta (fenomena), guruku diri sendiri, (RMP. Sosrokarotono).

Pendidikan era melineal ini bukan hanya butuh cerdas otak kanan dan otak kiri akan tetapi perlu kepekaan serta memperhalus perasaan, Indonesia Negara yang sangat asing saat kita dengar untuk mengenali, dari segi antropologi, sosial, kosmologi, suku, sangat sulit untuk dipahami setidaknya mengetahui. 

Walaupun tidak memahami, syukur-syukur dapat ber-evolusi menjalani apa yang baik yang telah terjadi, meninggalkan yang negatif telah terjadi, jangan sampai sejarah enggan dipelajari. Jika kita hidup dan lahir dari sejarah, karena sejarah bagaikan cermin, hal yang telah terjadi yang sudah ada di depan manusia materialis, masa lalu ada di belakang manusia, sejarah bukan hanya bahan untuk diceritakan kembali. Akan tetapi menggali kembali hal yang negatif untuk tidak dapat terjadi untuk kedua kalinya.

Sejarah kita yang terdiri dari, kearifan local,  yang 100% belum memahami penuh oleh kita kaum muda milenial, bahkan yang terfatal telah enggan mempelajari kembali, karena pergeseran antropologi paradigma mengarah pada Eropa yang memiliki pemikir rasional, logis, yang dianggap magis dan dipandang benar kelogisannya. 

Refleksi substansi Indonesia ialah pulau Jawa yang dipandang, budaya yang memiliki perbedaan dari beberapa wilayah, ataupun negara lain, budaya Jawa pun luntur dalam pemahamannya, pelestarian. Salah satunya ajaran jawa yang masih ada akan tetapi nyaris telah luntur yaitu perimbon Jawa, bahkan ajaran ini masih relevan dengan kehidupan modern ini, yang tersial rumah sendiri tidak tahu tempat dapur, kamar mandi dan sebagainya.

Semua serasa sangat baru walaupun sudah beberapa lama menjadikan diri bagaiaan dari Indonesia, tak merasakan kebanggaan dari apa yang dipersembahkan semuanya terasa sangat tidak memahami akan semua, karena rasa syukur yang sangat lemah dalam apa yang kita punya.

Kolaborasi pendidikan dalam ajaran-ajaran kuno dengan merelevansikan dengan pendidikan modern akan lebih baik, bukan hanya menciptakan integritas, kualitas, tenaga pendidik, akan tetapi melestarikan pendidikan tempo dulu dengan mengambil kebaikan untuk menjadikan generasi penerus sebagai penebus apa yang telah kelam. 

Maka dalam pengalaman manusia bukan hanya pandai dalam mengkritis, mistis yang logis dapat menjadikan media pembelajaran pada generasi agar tercipta manusia yang memanusiakan manusia, dengan intelektualitas yang humanis, serta tidak hanya bisa memberikan perlawanan akan tetapi dengan tindakan bisa membuktikan.

Reflkesi Kehidupan Manusia Dalam Perjalanannya

Sebagai generasi bangsa dalam rezim yang sangat penuh kenyamanan kemewahan dalam menentukan  hidup, manusia apapun bisa ditentukan apa yang akan dirayakan dalam dunia, bahwa ada orang yang hanya bermimpi indah bersama cita-citanya. Ada yang penuh dengan rasa kesengsaraan dalam menentukan akan siapa dirinya dalam menentukan hidup, perjalanan di dalam dunia yang luas, ada yang berjalan dengan tujuan untuk menggapai cita-citanya.

Setelah sampai dengan apa yang diharapakan akan berhenti pada saat itu pula, merasakan dan menikmati, kodrot manusiawi, ada manusia yang sangat puas akan pencapaiaannya, akan merasa kurang dalam pencapaiaannya. Sangatlah tidak tahu menahu akan semua yang terjadi dan semuanya hanya ada dalam satu bahasa dalam menikmati dan merayakan hidup lupa akan esensi dari kehidupan dan bernegara, yang luka di luar sana.

Ada yang berjalan dengan bangga, ada pula yang membenci pada sebuah perjalanan makhluk kecil pada setiap perjalanannya dapat menemukan apa yang menjadikan dirinya memiliki tandingan.

Dengan realita dan menemukan hal yang baru dalam kehidupan sehingga tidak menemukan kegersangan dalam hidup yang sangat sempurna, dan menjadikan dirinya sebagai pejuang dalam dirinya dalam negerinya sendiri tanpa ada, apa yang terjadi dengan apa yang telah dialami sehingga yang menjadikan dirinya manusia yang lebih manis dari madu, dalam siangnya, jadikan pagi, malam dijadikan siang, untuk menemukan sebuah pemcarahan dalam kehidupan manusia dalam meranacanakan. 

Segala wacananya serta menjalaninya dalam menentukan bagaimana  akan dirinya bertindak, siapa dirinya untuk melakukan, di mana dirinya berperan, bukan hanya memperharum diri akan tetapi memberikan keindahan dengan rasa cinta untuk dunia dan Indonesia.

Telah terlihat banyak rakyat-rakyat asia terutama Indonesia yang telah tidak cinta terhadap nasibnya ekonominya, Zaman senang apa adanya sudahlah berlalu, zaman baru, zaman muda sudahlah datang sebagai fajar yang terang (soekarno, 1, dibawah bendera revolusi).

Maka sebagai manusia tidak hanya pasrah dan memperindah dengan apa yang ada, hidup manusia bisa memberikan manfaat dan faidah bukan hanya di dunia, tetapi setelah tiada, samahalnya dengan keberadaanya, sehingga manusia tercipta karena pendidikan yang visioner, dapat berguna, bukan hanya disaat hari ini namun ketika mati.

Pedidikan apakah yang akan menjadikan pertanyaan manusia, pendidikan yang membuat pendidikannya merasakan kehidupan dengan penerapan dan pelatihan hidup secara displin serta menganalisis tentang dunia, sehingga manusia dilatih peka dan menjadikan dirinya sebagai manusia yang bijak love is wisom.  

Sehingga dalam pendidikan akan menemukan segalanya hal-hal yang sederhana bahwa manusia belum bisa menciptakan keharuman, jika tidak melakukan keindahan. Jika penderitaan masyrakat masih terbentur dengan kegelisahan pendidikan yang lemah, mereka yang bertanggung jawab akan tetapi tak sadar akan dirinya, masyarakat masih belum terbentuk dalam tatanan pendidikannya, kegagalan dibidang pendidikan sangat signifikan.

Pelajaran yang sesungguhnya dalam hidup ialah, bukan hanya bisa mencerdaskan otak kanan dan otak kiri, kelas bukan tempat menentukan kita sebagai manusia, kelas hanya tempat kita diskusi menemukan apa yang tidak kita temukan. 

Sedangkan pelajaran yang terbaik adalah kehidupan, dengan memahami, merasakan, penderitaan sesama maka manusia itu sampai di mana dirinya hidup, serta akan memahami bagaimana merayakan hidup, memperjuangkan hidup, keberhasilan dunia pendidikan bisa mampu mencetak sutu generasi emas yang berintelektual, visioner, humanis, nasionalis, Agamis. (*)

 

Akhmad

Mahasiswa Semester V

Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Islam Malang

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES