Kopi TIMES Hari Santri Nasional 2017

Saatnya Jihad Ekonomi

Kamis, 12 Oktober 2017 - 15:27 | 69.48k
Noor Shodiq Askandar (Grafis: TIMES Indonesia)
Noor Shodiq Askandar (Grafis: TIMES Indonesia)
FOKUS

Hari Santri Nasional 2017

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dua belas hari lagi kita akan memperingati Hari Santri Nasional (HSN), persisnya tanggal 22 Oktober 2017. Tanggal yang diadopsi dari peristiwa besar dan penting bagi perjalanan negeri yang kita cintai ini, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Tanggal tersebut ditandai dengan munculnya “Resolusi Jihad” yang memerintahkan kepada ummat Islam untuk terus berjuang bagi Negara Indonesia, dan kemudian menjadi pemicu bergeloranya semangat perjuangan, khususnya di kalangan santri di seantero negeri. 

Pasukan Hisbullah dan Sabilillah mendapat dukungan dari segala penjuru tanah air untuk turut berjuang melawan setiap ancaman bagi negeri yang cantik dan menarik hati karena tanahnya yang subur, pemandangan yang elok, lautnya yang kaya, dan berbagai keunggulan lainnya.

Sayangnya masih banyak yang hanya ramai untuk kegiatan seremonial dan berbagai kegiatan jangka pendek. Gerak jalan, upacara, pawai, apel, dan sejeninya yang masih marak saat ini. 

Hampir di seluruh pelosok negeri, kegiatan ini ramai dijalankan oleh semua lapisan masyarakat  Bukannya tidak bagus, karena kegiatan ini juga dapat menumbuhkan peningkatan kecintaan kepada tanah air. 

Tetapi dampak yang diperoleh bisa jadi sementara, sehingga kurang memberikan dampak jangka panjang.

Seharusnya, kita yang meneruskan perjuangan ini juga memikirkan untuk mengisi kemerdekaan ini, dengan karya nyata yang berdampak jangka panjang dengan mengutamakan aspek peningkatan manfaat bagi warga bangsa Indonesia secara keseluruhan. 

Dengan demikian, tidak hanya berfikir membuat acara seremonial, akan tetapi juga sumbangkan karya untuk Indonesia yang lebih baik dalam jangka panjang.

Jihad Ekonomi Nahdlatul Ulama

Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peringatan Hari Santri Nasional (HSN), Nahdlatul Ulama’ juga harus menunjukkan peran besarnya dalam membangun negeri ini.

Hal ini terlihat dari tokoh perjuangan dari Islam yang sebagian besar dari kalangan nahdliyin. KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, Pangeran Diponegoro, KH. Maskur, KH Syaifudin Zuhri, dan masih banyak para ulama dari Nahdlatul Ulama yang tidak bisa disebutkan satu persatu menjadi bagian tak terpisahkan dari kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Seperti kita tahu semua, Nahdlatul Ulama’ mempunyai empat pilar perjuangan : dakwah, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Namun demikian, di bidang ekonomi NU masih lumayan ketinggalan. Tidak hanya NU saja sebetulnya, akan tetapi juga ummat Islam pada umumnya. 

Penguasaan ekonomi ummat Islam di Indonesia belum sampai pada angka dua puluh persen (20 persen), berbanding terbalik dengan jumlah penduduk muslim Indonesia yang mencapai delapan puluh lima persen (85 persen). 

Sungguh kondisi yang memprihatinkan dan layak atau harus diperjuangkan oleh seluruh kaum santri dimanapun berada.

Jihad ekonomi sepertinya sudah menjadi keharusan kalau kita ingin mengambil peran yang berarti bagi negeri tercinta ini. 

Umat harus mulai diberdayakan dan tidak hidup dalam ketergantungan. Hidup mandiri harus mulai menjadi gerakan yang massif di masyarakat. Apalagi jika dapat ditingkatkan dengan membuat  karya yang bermanfaat bagi orang lain. 

Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah saw “orang yang paling baik itu adalah yang bermanfaat bagi orang lain”.

Sudah saatnya juga kita mengambil peran aktif dan berarti dalam perjalanan menuju kehidupan yang lebih sejahtera melalui gerakan ekonomi kerakyatan.

Membuat produk yang bermanfaat, bersama sama saling bertransaksi, saling membantu dan bersinergi, adalah salah satu yang harus segera diupayakan.

Termasuk juga mengurangi ketergantungan dalam bidang keuangan, dengan membuat Lembaga Keuangan yang kredibel dan bisa bersaing dengan lembaga keuangan lainnya. 

Hal lain yang tidak kalah penting adalah penguasaan media, sebagai jalur komunikasi seluruh produk dan gerakan ekonomi berbasis keummatan. 

Seorang ekonom senior mengungkapkan: jika kita ingin sukses, maka mau tidak mau harus kuasai tiga sektor yaitu ekonomi sektor riil, ekonomi sektor keuangan, dan sektor informasi. 

Kalau ketiga sektor ini bisa dikuasai, insyaallah gerakan ekonomi berbasis keummatan ini bisa dimenangkan.

Kini kita juga harus gembira. Setidaknya dalam tiga sektor ini sudah dimulai dikembangkan di kalangan Nahdlatul Ulama. 

Berdirinya ratusan lembaga keuangan terutama yang berbasis syari’ah, munculnya Nusantara Mart, beragam produk yang dihasilkan dan berbagai media baik cetak maupun elektronik juga sudah mulai bermunculan. 

Pelan tapi pasti embrio ini akan terus berkembang dan keberadaannya juga telah memperoleh pengakuan masyarakat.

Sekali lagi, momentum Hari Santri Nasional harus menjadi tonggak kebangkitan kaum santri (baca Nahdlatul Ulama’) untuk lebih menunjukkan peran besarnya di masyarakat dan negeri tercinta dalam kerangka NKRI. 

Santri turut andil besar atas perjalanan sejarah negeri ini dan turut memperjuangkannya sampai titik darah penghabisan. Dan kini sebagai kader penggerak, kitapun harus ada didalamnya. Bagaimana dengan anda?

*Penulis adalah Noor Shodiq Askandar, Wakil Rektor 2 Unisma yang juga menjabat Ketua PW Lazisnu Jatim

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Sukmana

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES