Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Bangun Jiwa Inteletualitas yang Humanis

Kamis, 12 Oktober 2017 - 21:52 | 55.22k
Penulis Akhmad, Mahasiswa Semester V FKIP Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang. (FOTO: AJP TIMES Indonesia)
Penulis Akhmad, Mahasiswa Semester V FKIP Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang. (FOTO: AJP TIMES Indonesia)
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANGIntelektual akan tiada guna, tanpa ada rasa humanis, hanya menciptakan kebobrokan dalam kepintaran manusia yang apatis terhadap realita manusia, yang menganggap manusia intelektual berkuasa akan manusia yang lagi menderita, sehingga  manusia bisa menunjukan integritas sebagai manusia dengan rasa humanisme.

Pada zaman modernitas manusia akan lupa akan realitas kehidupan lupa akan dirinya, jika ada oknum manusia yang hanya mengasah inteletual dan membaca buku-buku yang sangat banyak, mempercerdas diri dan menjadikan manusia yang hanya bisa memperkaya dirinya sendiri tanpa memperkaya orang lain, “kita katakan manusia itu keliru”. 

Sehingga manusia hanya mampu berpikir yang sangat jenius tanpa melakukan tindakan secara serius, kepintaran manusia kadang hanya menjerumuskan pada jurang-jurang yang meluturkan rasa humanisme serta hakikat dharma di Indonesia yang dicita-citakan para pahlawan yang telah mendahului kita. 

Menjadi manusia yang gotong royong, namun kadang menjadi kebobbrokan dalam kecerdasaan pada generasi bangsa, serta hanya memiliki pemikiran idealis, yang hanya bisa memikirkan  akan dirinya untuk mencapai perayaan hidup yang dicita-citakan, tanpa memiliki rasa kemanusiaan.

Jika kita arif dalam memperhalus pendidikan bisa melihat Kota Metropolitan Ibu Kota Indonesia Jakarta, Indek Kemiskinan di Indonesia Badan Pusat Statistik BPS Indonesia semakin dalam dan semakin parah selama Periode September 2016- Maret 2017. 

Kepala BPS Suharyanto mengatakan, Indeks kedalaman kemiskinan pada Maret 2017 mencapai 1,83, naik dari September tahun lalu yang hanya 1,47. Jakarta Kompas.com (17/7/2017). 

Hal ini terjadi tidak kestabilan antara kehidupan manusia yang menjadikan diri manusia kurang rasa sadar dan tidak peka terhadap sesama manusia, banyak problematika yang menjadikan semuanya itu mengalami penurunan. Akan tetapi manusia yang ada di atas yang memiliki amanah meminpin yang lemah, terkikisnya rasa simpati manusia disebabkan manusia yang hanya memikirkan intelektualitas dan integritas dirinya sendiri, dan melupakan akan siapa dirinya sendiri.

Hakikat manusia sebagai makhluk sosial human socity, seharusnya tidak lepas berpikir siapa akan dirinya sebenarnya dan akan kemana dirinya untuk hidup? jika materialisme yang telah diberikan oleh Tuhan telah lebih dari cukup, harus benar-benar ingat, itu bukan sebuah kesuksesan manusia mencapai hidup di bumi.

Esensial manusia di bumi sebagai khalifah sebagai pemimpin, seorang pemimpin harus mampu memberikan sumbang asih terhadap manusia yang lain dan merasuki pada setiap sektor apa yang menjadikan dirinya sebagai bagian dari manusia itu, bukan sebagai apa yang akan dituntut dari manusia itu. Sehingga manusia akan senantiasa berusaha, untuk bisa menjadikan dirinya bagian darinya, dan berpikir apa kontribusi pada manusia yang lain. 

Bukan hanya apatis akan dirinya pada manusia yang lain. Kesuksesan manusia hidup yang memiliki intelektualitas dan integritas tinggi dapat memecahkan setiap problematika dirinya sendiri dan membantu menyelesaikan problematika kehidupan orang lain. Sehingga perspektif kita bukan dari materialis ataupun dari yang ada di dirinya, akan tetapi ketika manusia itu mampu berdikari dengan caranya yang dimiliki, tanpa merepotkan orang lain.

Kita bisa menyalurkan segala ide dan insprasinya seorang intelektual dapat menyelesaikan akan permasalahan yang ada pada dirinya dan pada problemtika orang lain. Maka terciptalah sebuah tindakan yang terlahir dari ide manusia yang hebat dan memfungsikan pikiran dirinya untuk oang lain, dan membuktikan bahwa manusia yang terlahir dengan kodrat memiliki kelebihan dan kekurangan.

Dan dari kelebihan itu manusia mampu menciptakan sebuah pemikiran yang sangat membantu orang banyak, dikarenakan transformasi intelktualitas manusia difungksikan pada kepentingan orang banyak. 

Selaras dengan tujuan negeri kita Indonesia yang memiliki dharma kita gotong royong, bersama-sama dalam melakukan sebuah hal, yang akhir-akhir ini tidak terlihat aromanya, hanya dengan menyatukan segala pemikiran, sehingga bertindak menciptkan sebuah revolusioner secara signifikasi.

Jika kita refleksikan segala fenomena yang ada dalam dunia nyata, terutama tentang Indonesia tercinta ini seorang Proklamator Kita Sukarno dalam melakukan segala hal untuk menciptakan sebuah tindakan revolusi yang dituggu oleh rakyat Indonesia dan para anak bangsa Indonesia yang masih dalam penjajahan Belanda dan Jepang. 

Semenjak, sebelum reformasi maka ada dari Guru Sukarno, HOS Cokroaminoto dan para pahlawan yang telah gugur mendahuli kita, yang bercita-cita ingin memerdekakan Nusantara muda ini menjadi Indonesia yang bebas dari penjajahan yaitu merdeka.

Akan tetapi semuanya gagal akan segala percobaan karena masih belum bisa menyatukan segala suku, budaya, dan agama yang ada di Indonesia. Namun kita bisa melihat kesuksesan tersebut hanya pada diri Sukarno. 

Dengan jiwa yang memiliki idealisme dan membaca realisme yang nyata dikehidupan pada masa 1945, ide itu sangat memberikan pengaruh besar dalam mencapainya kemerdekaan Indonesia ini. Caranya menggabungkan segala suku, dan etnis, serta Agama-agama yang berbeda di Indonesia tidak memilah dan milih, Ulama, Kiyai, Pendeta, Atheis, dan sebagainya, dalam mencapai sebuah kesuksesan cita-cita rakyat Indonesia untuk merdeka, dan mencapai revolusi. 

Serta mengumpulkan serta meminta segala masyrakat untuk saling menyatu dalam mencapai sebuah tujuan yang satu yaitu MERDEKA. Hal itu sebuah bukti idealisme yang bisa menciptakan sebuah revolusi sangat besar dengan mentransferkan segala idenya pada kepentingan bersama dengan tujuan sama.

Sehingga pada hari ini kaum intelektual manusia muda dan generasi bangsa bukan hanya bisa berfungsi pada dirinya sendiri, harus berjiwa menjadi bagian darinya, untuk bisa menyuarakan akan pengetahuannya. 

Dengan cara bercita-citalah yang tinggi hingga kelak bisa menggantikan pahlawan yang telah tiada nanti, tetap dengan idealisme yang humanis, karena manusia pada dasarnya tidak hidup secara individu, banyak hal yang menjadikan refleksi diri. 

Sebagai manusia yang bisa memberikan manfaat pada orang lain, sehingga tidak apatis terhadap apa yang ada dalam realita dan fenomena alam, kaum intelektual sebagai tolok ukur manusia untuk bisa lebih peka terhadap apa yang terjadi pada saudara-saudara kita terutama pada saudara muslim.

Dalam AlQuran dijelaskan bahwa dalam syariat Islam ajaran yang mengandung mempererat persaudaraan dan solidaritas, hal ini membuktikan edukasi dalam islam telah ada “Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara. (QS. Al-Hujarat:10).

Jika mengaku Islam haram baginya seorang tetangga mencium aroma makanan kita, tapi kita tidak memberikan cicipan masakan yang kita masak, pada tetangga yang mencium aroma apa yang kita masak. Sangatlah jelas Islam telah memberikan edukasi tentang hidup yang memanusiakan manusia (Humanisme).

Sehingga apa yang menjadikan manusia itu akan lupa dengan esensi manusia, intelektual yang tidak didasari dengan rasa humanisme sehingga kesombangan manusia dalam melakukan segala hal tidak memiliki rasa yang halus terhadap manusia yang lain (apatisme), dan menjadi manusia idealis tanpa melihat realisme sosialis. (*)

Penulis Akhmad
Mahasiswa Semester V FKIP Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES