Kopi TIMES Hari Santri Nasional 2017

Santri dan Atmosfer Keilmuan (Bagian ke-3)

Rabu, 11 Oktober 2017 - 17:07 | 52.21k
Muhammad Yunus, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris, Wakil Dekan III FKIP Universitas Islam Malang. (Grafis: TIMES Indonesia)
Muhammad Yunus, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris, Wakil Dekan III FKIP Universitas Islam Malang. (Grafis: TIMES Indonesia)
FOKUS

Hari Santri Nasional 2017

TIMESINDONESIA, JAKARTAWARGA NU seakan mendapat perhatian khusus dengan adanya Hari Santri Nasional (HSN) ini. Wajar karena santri adalah entitas yang diberikan pada pencari ilmu di lembaga pendidikan pesantren. 

Sebuah lembaga pendidikan yang berkembang ditengah-tengah masyarakat oleh masyarakat itu sendiri (ulama). Konon lembaga pesantren ini dianggap pendidikan tradisional karena tidak jarang pendidikan ini mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.

Dalam perkembangannya, pesantren dapat dibedakan dalam berbagai tipe; salaf, khalaf, dan modern. Apapun tipenya pesantren adalah kawah condrodimuka pembelajaran dan pengamalan ilmu agama Islam. Kader agama, kader ulama, lahir dari pendidikan pesantren ini.

Pesantren mempunyai keunggulan keilmuan di bidang agama. Keunggulan keilmuan ini saat ini sedang diadopsi oleh pemerintah Indonesia melalui progran keunggulan perguruan tinggi. Di pesantren sudah menjadi kesepahaman bahwa pendidikan pesantren mempunyai kekhasan sendiri. Biasanya kekhasan itu terbentuk atas penguasaan bidang ilmu agama oleh pengasuh (kiai pondok).

Misalnya, Pesantren Tebuireng, Jombang terkenal dengan ilmu hadistnya karena KH. Hasyim Asyari sangat menguasai bidang ilmu ini. Pesantren Bangkalan, Madura asuhan KH. Holil terkenal dengan penguasaan ilmu baca kitab kuningnya. Dan sebagainya di setiap pesantren yang ada di Nusantara ini mempunyai keunggulan masing-masing. 

Hebatnya, pengakuan atas penguasaan keunggulan keilmuan alumni pesantren tidak dibuktikan dengan selembar ijazah melainkan peran nyata ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat.

Mengapa kemudian santri mempunyai kekuatan keilmuan seperti itu. Hal ini tidak terlelas dari kehidupan santri di pesantren. Mereka melaksanakan keseimbangan hidup dalam proses belajarnya. Yaitu, doa dan ridha dari guru.

Ya, para santri terbiasa bangun jam 3 dini hari. Mereka melaksanakan shalat malam (tahajud) dan dzikir malam. Dilanjut dengan shalat subuh berjemaah. Selepas dzikir shalat shubuh dilanjut dengan kajian kitab kuning (kitab klasik berbahasa arab tanpa tanda harkat). 

Selesai syuruk dan dilanjut dengan ritual shalat dhuha. Waktu pagi sampai siabg melaksanakan kegiatan pembelajaran di sekolah. Sore harinya mengaji lagi sampai masuk waktu magrib. Antara magrib dan isya biasa dipakai untuk mengaji Al Quran. Selepas isya diisi dengan kegiatan khitobah. Selepas khitobah tidak jarang para santri mengaji di makam kyai yang sudah meninggal. 

Inilah yang mengantarkan kehidupan mereka kuat dari sisi kemandirian dan kesuksesan penguasaan ilmu pengetahuan baik umum ataupun agama.

Selain itu, santri untuk melatih kecerdasan hatinya biasa melakukan pengabdian kepada gurunya. Mereka mencuci pakaian, membersihkan halaman rumah sekedar untuk mendapatkan ridha guru (kiai).

Sungguh model pendidikan yang tidak dapat ditemui pada pendidikan umum. Santri dengan berbagai gemblengan mencari ilmu dipesantren tersebut siap menghadapi hidup dalam kehidupan ini ketika mereka menjadi seorang alumni pesantren.

Ditengah-tengah kehidupan masyarakat, proses mencari ilmu mereka lanjutkan dengan mendidik masyarakat dan menyelenggarakan majlis ilmu. Santri menganggap tidak mengamalkan ilmunya berarti ilmunya tidak manfaat. Dan ini sangat ditakutkan santri.

Santri seperti yang pernah penulis jabarkan senantiasa mempunyai panca kesadaran: kesadaran berilmu, kesadaran beragama, kesadaran bernegara, kesadaran berorganisasi, dan kesadaran bermasyarakat. 

Santri adalah budaya nasional kita. Dengan kesederhanaan dalam penampilan, selalu bersarung, bukan berarti terbelakang dalam adab dan ilmu pengetahuan. Santri boleh saja mempunyai posisi startegis, tapi sikap mereka akan selalu tawadhu. Otak santri boleh Eropa, tapi hatinya senantiasa serambi Mekkah. 

Nusantara dengan beragama yang damai ini tidak terlepas dari cara beragama kaum santri. Mereka menguasai agama yang tidak bersumber dari 'google', tapi guru mereka sambung sampai Rasulullah SAW. Sungguh wajar dan mafhum jika Jokowi dengan keberaniaanya menetapkan 22 Oktober, mengambil momentum resolusi jihad sang Kiai, sebagai Hari Santri Nasional.(*)

* Muhammad Yunus, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Islam Malang (Unisma)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES