Kopi TIMES Hari Santri Nasional 2017

Santri dan Atmosfer Keilmuan (Bagian 2)

Rabu, 11 Oktober 2017 - 08:35 | 44.87k
Muhammad Yunus, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Islam Malang. (Grafis: TIMES Indonesia)
Muhammad Yunus, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Islam Malang. (Grafis: TIMES Indonesia)
FOKUS

Hari Santri Nasional 2017

TIMESINDONESIA, MALANG – Sebagai seorang santri, saya menyambut baik dan riang gembira perayaan Hari Santri 22 Oktober 2017. Tahun ini memasuki tahun ke-3 sejak Kepres Nomor 22 Tahun 2015. Artinya adalah secara seremonial Hari Santri Nasional ini-pun masuk pada HUT ke-3. Memang masih sangat dini tapi gelora perayaan sungguh terasa.

Hari Santri Nasional bukanlah semata milik organisasi NU semata. Hal ini perlu saya sampaikan mengingat persepsi masyarakat yang notabene berasal dari kalangan non-NU acuh tak acuh bahkan menganggapnya tidak sepantasnya menjadi perayaan nasional. 

Yang perlu diluruskan adalah ketika pemerintah telah menetapkan sebagai hari penting nasional maka sebagai warga Negara Indonesia yang baik haruslah menghormati. Layaknya peringatan Hari Buruh yang jatuh pada 1 Mei. 

Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada 2 Mei. Hari Batik yang jatuh pada 2 Oktober, dan lain sebagainya. Maka dalam tulisan ini perlu sekali lagi diingatkan mereka yang cenderung mencibiri peringatan hari santri ini untuk menghormati dan jika perlu menjadi ‘santri’ guna merasakan bagaimana senangnya momentum tanggal 22 Oktober tersebut.

Seperti disampaikan pada tulisan sebelumnya bahwa santri adalah label yang melekat pada diri seseorang yang mengenyam pendidikan di lembaga Pondok Pesantren. Namun demikian makna ini berkembang menjadi siapa saja yang mempunyai ketakdziman terhadap ilmu dan gurunya, serta memiliki perilaku yang terpuji maka orang tersebut juga mendapatkan gelar santri meskipun belum pernah menempuh jalur formal kesantrian. 

Yang terakhir ini kemudian dikenal dengan proses akulturasi santri. Hal ini sering terjadi pada mereka yang secara formal belum pernah mondok tetapi dalam pergaulan kesehariannya tidak terlepas dari interaksi dengan para santri.

Momentum yang paling berharga selain pada sikap heroik santri pada momentum mempertahankan NKRI dan berjuang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia adalah semangat yang tinggi mencari ilmu dan hormat yang luar biasa pada ilmu itu sendiri. 

Jika kita amati tidak sedikit mereka yang nyantri di pondok pesantren dalam kurun waktu yang lama. Dan tidak jarang para santri berpindah dari pesantren satu ke pesantren yang satunya hanya sekedar untuk memperdalam keilmuan serta kehausan akan ilmu agama. 

Dalam benak seorang santri mecari ilmu adalah kebahagian tersendiri. Dari sini kemudian seorang santri mempunyai kejiwaan yang luar biasa karena mereka sudah terlatih untuk hidup mandiri dalam mengarungi hidup dan tidak jarang sudah ‘lepas’ dari berkumpul dengan keluarga.

Jika pada akhir-akhir ini pemerintah gencar memperjuangkan revolusi mental dan pentingnya pendidikan karakter, maka sejatinya para santri sudah melakukan hal tersebut sejak dulu. Bahkan sebelum isu full day school berhembus, para santri sudah melakukan full 24 hours school karena mereka berinteraksi dengan sesama dalam pantauan ustadz. 

System pendidikan ala santri inilah yang mengantarkan santri memperoleh kematangan dalam hal olah rasa, olah hati, olah akal, dan olah raga. Pendidikan olah rasa yang paling tinggi adalah ketika seseorang mampu melepaskan penyakit hati yang ada pada dirinya. 

Mereka yang mempunyai rasa yang tinggi akan terhidar dari sifat sirik, iri, dan dengki. Melalui kebersamaan, mengusung semangat senasib dan seperjuangan maka ikatan emosi santri sangat terjalin dan terbentuk dengan baik. Rasa solidaritasnya terbentuk dengan baik, dan saling menghormati satu sama lain serta membantu kesulitan satu dengan lainnya sungguh terbentuk dengan baik.

Dalam hal olah akal, santri dibimbing langsung oleh guru dan santri senior. Sistem pendidikan langsung melalui proses pembelajaran di dalam kelas (masjid) dan di luar kelas (masjid) dengan Kyai misalnya sangat tinggi intensitasnya. 

Mereka para santri bukan hanya mendapatkan pemahaman akan ilmu agama (kognitif) saja tetapi santri mampu melaksanakan dan merasakan pengamalan agamanya tersebut melalui bimbingan guru, ustadz, dan Kyai.

Pembelajaran sebaya atau peer teaching yang dianggap efektif karena komunikasi terjalin dengan mudah sudah dilaksanakan santri sejak dulu. Diskusi pasca pembelajaran dengan membentuk halaqoh-halaqoh senantiasa dilaksanakan dalam kegiatan santri. Jika mereka menemukan jalan buntu dari diskusi maka tidak sulit untuk mendapatkan jalan keluar karena interaksi mereka 24 jam. Disinilah tradisi keilmuan itu sangat terawat. 

Untuk menambah kenangan akan santri dan agar tidak alergi dengan peringatan Hari Santri Nasional serta bagaimana atmosfer keilmuan itu ada, sejenak kita bernyanyi ‘Suasana di Kota Santri’ ciptaan Suhaemi asal Kendal, Jawa Tengah yang dibawakan oleh group qasidah Nasida Ria asal semarang dengan vocal Nurain.    

Suasana di kota santri
Asik senangkan hati
Suasana di kota santri
Asik senangkan hati
Tiap pagi dan sore hari
Muda mudi berbusana rapi
Menyandang kitab suci
Hilir mudik silih berganti
Pulang pergi mengaji
Duhai ayah ibu berikanlah izin daku
Untuk menuntut ilmu pergi ke rumah guru
Mondok di kota santri banyak ulama kiai
Tumpuan orang mengaji, mengkaji ilmu agama
Bermanfaat di dunia menuju hidup bahagia
Sampai di akhir masa.
(*)

Muhammad Yunus, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Islam Malang

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES