Kopi TIMES

Akhlak Berpolitik ala Kiai Suhaimi

Jumat, 22 September 2017 - 12:34 | 43.15k
Ayung Notonegoro, penggiat di Komunitas Pegon yang bergerak dalam meneliti, mendokumentasi, dan mempublikasi sejarah dan hal ihwal tentang pesantren dan NU. (Foto : Dokumentasi TIMES Indonesia)
Ayung Notonegoro, penggiat di Komunitas Pegon yang bergerak dalam meneliti, mendokumentasi, dan mempublikasi sejarah dan hal ihwal tentang pesantren dan NU. (Foto : Dokumentasi TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dewasa ini, dunia politik merupakan dunia yang penuh dengan intrik. Berbagai kepentingan saling sikut dan tumpang tindih. Satu pihak dengan pihak yang lain tak jarang saling jegal. Berbagai cara dilakukan untuk meloloskan kepentingan. Propaganda, fitnah dan caci maki pun mereka halalkan.

Celakanya, carut marut di dunia politik itu, tak hanya berhenti di kalangan politisi saja. Tapi, merambat ke berbagai lapisan masyarakat luas. Fitnah dan caci maki politisi diadopsi oleh sebagian masyarakat. Maraknya media digital dan masifnya pengguna media sosial menjadi ladang subur untuk menyebar luaskan kebencian yang dilatar belakangi fenomena politik.

Namun, di tengah kemelut politik yang tak sehat seperti itu, menjadi seorang politisi sehat merupakan tuntutan zaman yang tak boleh diabaikan. Sekeruh apapun harus ada yang tetap berpikir jernih. Mengembalikan marwah politik tidak sebatas kepentingan pribadi dan golongan, tapi berdiri tegak di atas kepentingan bersama. Yakni, kepenting seluruh rakyat bangsa Indonesia.

Untuk bisa menjadi politisi yang sehat dan tetap berpikir jernih di tengah situasi politik yang penuh intrik dan persaingan, tak ada salahnya jika kita meneladani kisah KH Suhaimi Rafiudin, asal Kelurahan Kampung Melayu, Banyuwangi. Ulama dan politisi Nahdlatul Ulama (NU) itu, mengajarkan bagaimana menjalankan politik dengan sehat. Ketegangan politik tak harus menyisihkan persaudaraan dan sikap toleran di tengah masyarakat.

Kiai kelahiran Galis, Pamekasan, Madura, tahun 1919 (Jumat Wage, 29 Syaban) itu, mengajarkan tentang toleransi dalam bidang politik. Suatu sikap yang tak mudah di tengah gelora politik tahun 1955 yang panas. Tak seperti sekarang yang serba dilarang, saat itu kampanye hitam menjadi instrumen halal dalam kampanye-kampanye terbuka.

Saat itu, suasana menjelang Pemilu 1955 amat panas. Persaingan antar partai begitu kuat. Terutama empat partai besar kala itu, yakni NU, masyumi, PNI, dan PKI. dalam tiap kampanye, satu sama lain saling menghujat demi merebut suara rakyat. Sebagaimana direkam oleh MC Ricklef. “Disana (rapat umum partai), partai-partai lawan dikecam.” (Mengislamkan Jawa, 2013, 175-176).

Meski persaingan antar partai begitu dahsyat, Kiai Suhaimi yang saat itu menjabat sebagai Bagian Dakwah Pengurus Ranting NU, Kelurahan Kampung Melayu, Banyuwangi, menyerukan hal yang berbeda. 

Dalam sebuah maklumat tertanggal 20 Mei 1955, Kiai Suhaimi menyerukan beberapa hal. Pertama soal kampanye, yang mana saat itu sudah mulai beredar gambar partai beserta nomor urut dan banyak ditempelkan diberbagai tempat sebagai alat peraga kampanye. 

Selain mewanti-wanti untuk tidak melakukan pencemaran dengan memasang gambar sembarangan serta senantiasa mentaati aturan hukum yang berlaku, Kiai Suhaimi juga berpesan kepada warga Nahdliyin Kampung Melayu.

“Harus kita bertoleransi (bersikap baik) terhadap lain golongan dengan menggunakan kebidjakansanaan jang sepenuh-penuhnja," tulisnya kala itu.

Kemudian dia juga mengutip ayat 108 Surat al-An'am:

“Djanganlah sekali-kali kamu suka maki-maki akan orang-orang jang mengadja' (berpropaganda) kelain Allah, djikalau kamu memaki-maki, maka mereka pasti memaki-maki memusuhi Allah sonder berpengetahuan (sonder : aturan)."

Kedua, maklumat yang ditulis Kiai Suhaimi, masih dalam suasana menjelang pemilu namun berkaitan dengan hari raya Idul Fitri 1374 H.

Berkaitan dengan hal itu, Kiai Suhaimi menulis:

"Maka kami andjurkan kepada segenap warga NU rtg (ranting) Kampung Melaju, agar dapat bersilaturahmi, terutama kepada para tua-tua dengan tidak memandang serta tidak membeda-bedakan golongan-golongan, untuk menambah dan mempereratkan tali persaudaraan diantara kita dengan kita."

Demikianlah fastun politik Kiai Suhaimi. Meski intrik dan suhu politik begitu panas, toleransi dan akhlaqul karimah tak pernah dikesampingkan. Sebuah fastun politik yang patut diteladani bukan? (*)

Penulis : Ayung Notonegoro, penggiat di Komunitas Pegon yang bergerak dalam meneliti, mendokumentasi, dan mempublikasi sejarah dan hal ihwal tentang pesantren dan NU

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rochmat Shobirin
Sumber : TIMES Pasuruan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES