Kopi TIMES

Belajar Introspeksi Diri

Kamis, 21 September 2017 - 15:58 | 105.44k
Hayat, Dosen Ilmu Administrasi Publik Universitas Islam Malang dan Peneliti Kaukus Penulis Aliansi Kebangsaan. (Grafis: TIMES Indonesia)
Hayat, Dosen Ilmu Administrasi Publik Universitas Islam Malang dan Peneliti Kaukus Penulis Aliansi Kebangsaan. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANG – Hari ini tepat tanggal 1 Muharam 1439 Hijriyah. Kemeriahan tahun baru islam dapat dirasakan di seluruh belahan dunia dengan berbagai kegiatan perayaan keagamaan. Kemeriahan itu ditandai dengan sujud syukur dan doa bersama, tidak lupa membaca doa akhir tahun dan awal tahun agar dapat menjadi manusia yang lebih baik. 

Di samping itu, awal tahun sudah seharusnya dijadikan sebagai ajang untuk belajar introspeksi diri untuk meningkatkan kualitas ibadah dan keimanan kita kepada Allah swt. Apa yang sudah dilakukan pada tahun kemaren tidak akan kembali dan apa yang akan dilakukan pada tahun berjalan belum diketahui. 

Oleh karena itu, dalam rangka untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita, maka terus melakukan muhasabah atas apa yang sudah dilakukan dan belum dilakukan, serta memperbaikinya menjadi lebih baik. Memang tidak mudah untuk mengimplementasikannya. 

Introsepeksi diri adalah berkaca kepada diri sendiri dengan tidak membanding-bandingkan dengan orang lain. Acapkali kecenderungan manusia adalah lebih banyak melihat tentang orang lain daripada melihat dirinya sendiri, sehingga mengunggulkan diri sendiri lebih sering dilakukan daripada merendahkan orang lain, sekali pun kenyataannya tidak demikian. 

“Rumput orang memang lebih indah dari rumput sendiri”. Pepatah lama itu menjadi sebuah sumber perenungan bagi diri sebagai manusia kita menjalani kehidupan yang semakin kompleks. Kadangkala kita lupa bahwa diri ini sering menyahkan rang lain, sering menjelek-jelekan orang lain, sering menghinakan orang lain, namun tidak sadar bahwa hal itu merupakan perbuatan yang tidak baik. 

Memberikan nilai negatif terhadap orang lain serasa mudah dilakukan. Mengoreksi orang lain seringkali terjadi tanpa mengakuinya. Pepatah di atas menjadi gambaran bagi diri yang sering dilanda dengan kesombongan. Menyombongkan diri atas apa yang dimilikinya, atas kelebihan yang melekat dalam dirinya, padahal sesungguhnya itu dilarang dalam agama.

Bukankah kesombongan dapat menjadikan manusia congkak dan tidak tahu diri. Bahkan dapat mengakibatkan penyakit hati yang merusak pada sikap dan perilaku. 

Seringkali menyalahkan orang lain itu lebih mudah dari pada kita menyalahkan diri sendiri, sekecil apapun persoalannya. 

Kebenaran seolah milik kita sendiri, sementara orang lain adalah timbunan kesalahan. Padahal kesadaran psikologi menunjukkan bahwa sejatinya setiap manusia menyadari akan kesalahan dan kebenaran terhadap dirinya atau orang lain. Hanya kecenderungan nafsu yang mengantarkan manusia saling menyalahkan yang berdampak pada sebuah konflik, sekalipun konflik itu hanyalah konflik batin bagi dirinya sendiri. 

Kesalahan atau keburukan diri menjadi aib bagi dirinya, dan tidak pantas untuk disampaikan kepada orang lain, itu lumrah. Namun demikian, ketika koreksi dari orang lain kepada kita, bukan malah menjadi sebuah keberuntungan dan kemanfaatan bagi diri kita untuk introspeksi dan mengoreksi diri, tetapi kebanyak hal itu menjadi sebuah ancaman bagi dirinya. 

Sesungguhnya koreksi dari orang lain adalah pengingat bagi diri untuk terus menjadi insan yang lebih baik, berkualitas, dan terus belajar dari sebuah penilaian orang lain menjadi semakin baik. 

Keteguhan mental dan keberanian hati bukan terletak pada kekuatan otot dan fisik, namun terletak pada kekuatan dan keberanian hati untuk menerima segala kekurangan kita, menerima kritikan dan masukan untuk dijadikan sebagai sebuah preferensi introspeksi diri. 

Introspeksi diri sebagi media penguat batin dan sarana penunjang menjadi manusia yang lebih baik dan bermanfaat. Mengaca kepada diri sendiri memang lebih sulit dari pada menilai orang lain. 

Bukankah manusia itu tempat salah dan lupa? Sehingga kesalahan dan lupa itu membutuhkan orang lain untuk dikoreksinya, baik secara langsung atau tidak langsung, baik cepat atau lambat, melalui media apapun dan dengan instrument apapun. Tentunya atas kehendak Allah SWT hal itu terjadi karena saking lalainya kita sebagai manusia terhadap kesalahan dan kealpaan dalam dirinya, namun peka terhadap keburukan dan kejelekan orang lain.

Oleh karena itu, diperlukan sebuah proses belajar menjadi lebih baik, yaitu belajar kepada orang lain untuk kebaikan diri sendiri. Manusia sebagai mahluk yang paling mulia dan paling sempurna diantara mahluk Allah swt., bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di muka bumi. 

Mengurus, mengatur dan mengelola serta menjaga alam menjadi amanah yang harus dipertanggungjawabkan kelak. Menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya adalah sebuah kewajiba. Nikmat Tuhan mana yang kalian dustakan? Anugerah dan nikmat-Nya terlimpahkan kepada kita, siang maupun malam, namun kadangkala kita tidak menyadarinya dan menganggap semua itu adalah kuasa dirinya dan atas usahanya. 

Padahal Allah maha agung dan maha kaya serta kuasa atas apa yang dikehendaki-Nya. 
Atas keagungan-Nya lah Dia menciptakan manusia dengan segala kerumitan yang ada dalam organ manusia, hingga akal dan pikiran yang terintegrasi dengan seluruh anggota badan dengan cara berfikir. 

Itulah yang membedakan manusia dengan ciptaan yang lain. Manusia diberikan akal dan pikiran untuk selalu tafakkaru atas segala ciptaan-Nya. Berfikir secara mendalam, dan memahami atas makna yang tersirat maupun tersurat dalam ciptaan itu, sehingga dapat diamalkan dalam kehidupan dan menjadi bekal kelak di akhirat Nya. (*)

Hayat, Dosen Universitas Islam Malang dan Peneliti Lakpesdam NU Kota Malang

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES